Anomali Daya Beli
Kondisi anomali dikaitkan dengan pemahaman terjadinya penyimpangan atau kejanggalan dan ketidaknormalan dari yang selayaknya. Dalam perekonomian saat ini, penurunan daya beli masyarakat disebut sebagai anomali. Berdasarkan pernyataan pejabat Kementerian Keuangan, kondisi perekonomian Indonesia janggal; Ekonomi RI Janggal, Sektor Ritel Lesu Tapi Setoran PPN Naik. Kutipan pernyataannya : "Pasalnya, menurut data Kementerian Keuangan, perolehan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga semester I-2017 tumbuh 13,5%.
Tingkat perolehan PPN merupakan cermin tingkat transaksi yang terjadi di masyarakat. Artinya, semakin tinggi perolehan PPN, semakin tinggi pula transaksi belanja yang terjadi di masyarakat. "PPN Semester I dibanding 2016 (yoy) naik 13,5%. Artinya transaksi naik enggak tuh? Naik. Kalau enggak ada transaksi enggak naik PPN," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (31/7/2017).
Jika dicermati penjelasan tersebut, seakan tidak benar telah terjadi kelesuan; tetapi peraga berikut ini memberikan gambaran penerimaan PPN dengan waktu 6 (enam) tahun.
Peraga-1 : Penerimaan PPN
Penurunan daya beli secara tidak langsung dapat dilihat pada penurunan tingkat inflasi. Tetapi dapat juga merupakan implikasi dari kondisi eksternal serta dampak dari kebijakan domestik. Deflasi komoditas global yang telah berlangsung sejak 2011 memberikan tularan pada penerimaan negara dan dunia usaha. Sementara, normalisasi kebijakan The Fed US menimbulkan gejolak dan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika hingga hampir 50%. Faktor domestik yang menurunkan daya beli adalah kebijakan Tax Amnesty.Â
Paradoks Inovasi
Inovasi tidak hanya milik teknologi tetapi berkaitan juga dengan proses bisnis dan produk. Dalam dunia finansial, "inovasi" muncul pada institusi yang melakukan praktek mirip perbankan atau "Shadow Banking"; serta produk berbasis teknologi digital yang dikenal sebagai "FinTech". Kehadiran "shadow banking" semula dianggap akan memberikan dukungan bagi pertumbuhan ekonomi; tetapi beberapa kajian menunjukkan bahwa penyebab krisis finansial 2008 bermula pada pelanggaran dan ketidakdisiplinan dalam "ethics & practices conduct shadow banking"; dan diprakirakan akan berulang (lihat kajian di sini). Berbagai produk FinTech walaupun menjanjikan kemudahan dalam transaksi finansial tetapi masih sarat resiko terutama ancaman "fraud & security".
Pertumbuhan inovasi yang berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi, sangat kental dengan era Ekonomi Digital dan "Sharing Economy" yang dikemas dalam jargon "Disruptive Innovation". Berbagai produk dan model bisnis dalam industri terutama berbasis layanan, berkembang pesat dan saling bersaing untuk dapat bertumbuh dalam semangat kebebasan berkreasi.
Inovasi pada layanan publik (public utilities atau infrstruktur) hadir melalui pola kemitraan dan semangat inklusif serta menjadi tema dalam pembangunan dan operasionalisasi infrastruktur. Dengan model kemitraan pemerintah yang sebelumnya mendominasi peran penyediaan infrastruktur mengundang pihak non pemerintah dan swasta untuk bekerjasama dengan retang waktu panjang (umumnya di atas 10 tahun).
Dengan berbagai inovasi yang telah dan akan hadir baik dalam lingkup domestik ataupun global, satu hal yang tidak dapat disangkal bahwa pertumbuhan ekonomi global rendah. Pertumbuhan negara maju (advanced economics) masih pada rentang tidak lebih dari 2%; dalam kelompok negara G20 (Group of Twenty) hanya India, Tiongkok, dan Indonesia yang bertumbuh di atas 5%. Kondisi ini merupakan paradoks dari inovasi yang belum berhasil meningkatkan pertumbuhan tetapi menghadirkan krisis finansial.Â
Mungkin masih dibutuhkan berbagai transformasi dan waktu yang panjang agar dapat ditunjukkan keberhasilan serta dampak positif "Disruptive Innovation". Tentunya tidak bijak jika langsung membandingkan "Disruptive Innovation" dengan "Creative Desctruction" pasca Perang Dunia-II yang memberikan dampak pada peningkatan pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan.
Prinsip Ekonomi
Para pembantu Presiden dalam bidang perekonomian tentu sangat paham dengan sistem perekonomian terbuka yang dianut Indonesia; gejolak global yang timbul pasti akan berdampak pada domestik. Penurunan daya beli masyarakat sangat berkaitan dengan penerimaan negara dan dunia usaha. Spiral deflasi komoditas global berimplikasi pada penerimaan negara dan dunia usaha (yang langsung misalnya sektor perkebunan, pertambangan, migas). Situasi ini selanjutnya menekan pendapatan tenaga kerja pada sektor tersebut; juga menular pada sektor lainnya yang secara agregasi mengakibatkan penurunan permintaan.
Depresiasi Rupiah terhadap Dolar Amerika (USD) hingga 50% berdampak sisi kewajiban (liability) pada neraca korporasi (yang berutang dalam USD) bertambah besar; sementara hasil usaha kian tertekan sehingga timbul resesi (dikenal sebagai Balance Sheet Recession Problem). Kewajiban "upeti" Tax Amnesty yang menyedot lebih dari 100 Triliun Rupiah dari para peserta menyebabkan gangguan pada pasar dan perekonomian secara keseluruhan. Sementara akumulasi masalah pada daya beli masyarakat akan mempengaruhi keputusan dalam investasi baik pihak domestik maupun asing.
Berbagai paket kebijakan ekonomi telah diterbitkan demi meningkatkan aliran masuk dana investasi tetapi hasilnya masih jauh dari harapan; sehingga dalam dua pekan ke depan masih akan diterbitkan paket kebijakan baru. Perlu diperhatikan pertimbangan dalam keputusan investasi seperti hasil survei Firma A.T. Kearney yang disajikan pada peraga berikut ini.
Ada pemahaman yang kurang tepat dalam melihat permasalahan investasi dan masalah utang yang selalu dikaitkan dengan peningkatan beban anggaran pemerintah. Dalam mendorong pertumbuhan, faktornya pada konsumsi (K), investasi (I), dan perdagangan global (M). Dalam situasi perdagangan global bertumbuh sangat rendah (2016 : 1,3% - lihat WTO Report di sini) dan persaingan harga ketat, sulit berharap dorongan pertumbuhan melalui perdagangan. Sementara peningkatan konsumsi sangat terbatas karena penurunan daya beli; sehingga tinggal mengandalkan investasi. Korporasi yang masih berkutat dengan Masalah Resesi Neraca enggan berinvestasi; aliran masuk FDI masih tersendat, juga pola kemitraan dalam infrastruktur. Sehingga inisiatif dan terobosan pemerintah merupakan pilihan utama.
Selalu muncul sanggahan dengan berbagai retorika terhadap kebijakan pemerintah untuk meningkatkan utang; seperti ungkapan "utang akan membebani anak-cucu" atau "tidak perlu utang karena memiliki sumber daya yang berlimpah". Munculnya sikap anti utang untuk membangun infrastruktur lebih banyak akibat kurangnya pemahaman dan wawasan terhadap masa depan. Sementara para pembantu presiden masih berpikir FDI tidak membebani anggaran; namun kurang paham bahwa FDI dicatat sebagai kewajiban pada Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Inilah anomali pemikirannya.
Arnold Mamesah - 2 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H