Dengan berbagai inovasi yang telah dan akan hadir baik dalam lingkup domestik ataupun global, satu hal yang tidak dapat disangkal bahwa pertumbuhan ekonomi global rendah. Pertumbuhan negara maju (advanced economics) masih pada rentang tidak lebih dari 2%; dalam kelompok negara G20 (Group of Twenty) hanya India, Tiongkok, dan Indonesia yang bertumbuh di atas 5%. Kondisi ini merupakan paradoks dari inovasi yang belum berhasil meningkatkan pertumbuhan tetapi menghadirkan krisis finansial.Â
Mungkin masih dibutuhkan berbagai transformasi dan waktu yang panjang agar dapat ditunjukkan keberhasilan serta dampak positif "Disruptive Innovation". Tentunya tidak bijak jika langsung membandingkan "Disruptive Innovation" dengan "Creative Desctruction" pasca Perang Dunia-II yang memberikan dampak pada peningkatan pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan.
Prinsip Ekonomi
Para pembantu Presiden dalam bidang perekonomian tentu sangat paham dengan sistem perekonomian terbuka yang dianut Indonesia; gejolak global yang timbul pasti akan berdampak pada domestik. Penurunan daya beli masyarakat sangat berkaitan dengan penerimaan negara dan dunia usaha. Spiral deflasi komoditas global berimplikasi pada penerimaan negara dan dunia usaha (yang langsung misalnya sektor perkebunan, pertambangan, migas). Situasi ini selanjutnya menekan pendapatan tenaga kerja pada sektor tersebut; juga menular pada sektor lainnya yang secara agregasi mengakibatkan penurunan permintaan.
Depresiasi Rupiah terhadap Dolar Amerika (USD) hingga 50% berdampak sisi kewajiban (liability) pada neraca korporasi (yang berutang dalam USD) bertambah besar; sementara hasil usaha kian tertekan sehingga timbul resesi (dikenal sebagai Balance Sheet Recession Problem). Kewajiban "upeti" Tax Amnesty yang menyedot lebih dari 100 Triliun Rupiah dari para peserta menyebabkan gangguan pada pasar dan perekonomian secara keseluruhan. Sementara akumulasi masalah pada daya beli masyarakat akan mempengaruhi keputusan dalam investasi baik pihak domestik maupun asing.
Berbagai paket kebijakan ekonomi telah diterbitkan demi meningkatkan aliran masuk dana investasi tetapi hasilnya masih jauh dari harapan; sehingga dalam dua pekan ke depan masih akan diterbitkan paket kebijakan baru. Perlu diperhatikan pertimbangan dalam keputusan investasi seperti hasil survei Firma A.T. Kearney yang disajikan pada peraga berikut ini.
Ada pemahaman yang kurang tepat dalam melihat permasalahan investasi dan masalah utang yang selalu dikaitkan dengan peningkatan beban anggaran pemerintah. Dalam mendorong pertumbuhan, faktornya pada konsumsi (K), investasi (I), dan perdagangan global (M). Dalam situasi perdagangan global bertumbuh sangat rendah (2016 : 1,3% - lihat WTO Report di sini) dan persaingan harga ketat, sulit berharap dorongan pertumbuhan melalui perdagangan. Sementara peningkatan konsumsi sangat terbatas karena penurunan daya beli; sehingga tinggal mengandalkan investasi. Korporasi yang masih berkutat dengan Masalah Resesi Neraca enggan berinvestasi; aliran masuk FDI masih tersendat, juga pola kemitraan dalam infrastruktur. Sehingga inisiatif dan terobosan pemerintah merupakan pilihan utama.
Selalu muncul sanggahan dengan berbagai retorika terhadap kebijakan pemerintah untuk meningkatkan utang; seperti ungkapan "utang akan membebani anak-cucu" atau "tidak perlu utang karena memiliki sumber daya yang berlimpah". Munculnya sikap anti utang untuk membangun infrastruktur lebih banyak akibat kurangnya pemahaman dan wawasan terhadap masa depan. Sementara para pembantu presiden masih berpikir FDI tidak membebani anggaran; namun kurang paham bahwa FDI dicatat sebagai kewajiban pada Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Inilah anomali pemikirannya.
Arnold Mamesah - 2 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H