Dekade Suram Global
Dalam satu dekade terakhir, perekonomian global mengalami tekanan besar akibat Krisis Finansial yang melanda negara maju. Bermula dari pasar finansial US tularannya berlanjut ke kawasan Uni Eropa dan Jepang; yang paling terdampak adalah keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. Dengan sistem perekonomian global yang sudah saling terhubung, perdagangan merupakan faktor penting bagi penerimaan negara yang mengandalkan komoditas ataupun produk. Penurunan penerimaan dari perdagangan akan berdampak pada permintaan ataupun belanja domestik serta antar negara.
Gambaran perdagangan global dalam satu dekade (2006 - 2016) terakhir diberikan pada Peraga-1.
Peraga-1 : Trend Perdagangan Global 2006 - 2016
![Sumber informasi : World Trade Organization.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/07/24/global-trade-2006-2016-5975fc74a6f46a045c30b922.png?t=o&v=770)
Peraga-2 : Trend Indeks Harga Komoditas (Energi dan Non Energi) 2007 - 2017
![Sumber Informasi : World Bank - Commodity Markets](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/07/24/energy-n-non-index-5975fd6dd2808b05234f1342.png?t=o&v=770)
Dalam kondisi perdagangan dan pertumbuhan global yang tertekan, sulit bagi perekonomian Indonesia bertumbuh dengan mengandalkan perdagangan global. Sehingga pilihannya pada pasar domestik melalui peningkatan konsumsi dan investasi.
Gejolak Nilai Tukar dan Dampak Lanjutan
Pada sisi lain, lonjakan nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika sejak pertengahan 2013 hingga triwulan-3 2015 menyebabkan peningkatan beban utang bagi korporasi yang pinjamannya dalam valuta asing. Gambaran lonjakan diberikan pada peraga berikut ini.
Peraga-3 : Lonjakan Kurs Tukar Rupiah - USD
![Sumber Informasi : Bank Indonesia - Kalkulator Kurs](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/07/24/kurs-tukar-59760cc0da1e4a4a7b348272.png?t=o&v=770)
Menghadapi kondisi korporasi yang mengurangi investasi dan melakukan penghematan sehingga berdampak pada tekanan lapangan kerja serta pendapatan, sulit berharap dorongan pertumbuhan melalui konsumsi.
Orkestra Infrastruktur dalam tema "Small is Beautiful"
Demi mempertahankan pertumbuhan yang berkelanjutan, pemerintah perlu mengambil inisiatif menggiatkan investasi untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan perekonomian dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur. Pilihan tersebut akan berdampak langsung pada peningkatan lapangan kerja juga meningkatkan kualitas agar dapat mendukung pengembangan industri. Gambaran kondisi infrastruktur Indonesia dengan pembanding dari negara lain diberikan pada peraga berikut ini.
Peraga-4 : Logistic Performance Index (LPI) - World Bank
![Sumber informasi : World Bank - Logistic Performance Index (Indonesia dan Pembanding).](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/07/24/logistic-performance-index-indonesia-and-compare-59760d2e880ecd6184565b92.png?t=o&v=770)
Pilihan infrastruktur ibarat menampilkan orkestrasi yang megah. Memang keputusan yang tepat tetapi akan berhadapan dengan kendala kemampuan finansial. Berdasarkan identifikasi kebutuhan infrastruktur masa 2015 - 2019, diperlukan anggaran sekitar 4.700 Trilyun Rupiah. Mengutip penjelasan Menteri Negara PPN / Kepala Bappenas : "Dari Rp4.700-an triliun hanya dapat dipenuhi pemerintah sebesar 33% atau sekitar Rp1.551 triliun.Â
Kemudian, sebanyak 25% atau Rp1.175 triliun akan diperoleh dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan sisanya sebesar 42% atau Rp1.974 triliun dari swasta.". Pada Indonesia Infrastructure Finance Forum, 25 Juli 2019 di Jakarta, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) menyebutkan bahwa ada 245 Proyek Stratejik Nasional (PSN) dan berharap untuk dapat berkerjasama dalam kemitraan dengan pihak non pemerintah. Pesan ini senada dengan pernyataan SMI, saat menjabat Managing Director World Bank, dalam pertemuan Bretton Woods Committee, 26 Juni 2016 : "In everything we do, we partner. We can not do it alone." (lihat speech SMI di sini).
Ajakan kemitraan tersebut memang bijak dan baik; tetapi kondisi gejolak global dan domestik kurang mendukung. Rentang waktu proyek infrastruktur stratejik dan besar akan dikategorikan beresiko tinggi dengan proses panjang serta lama. Perlu diidentifikasi dan didefinisikan stimulus atau insentif bahkan "teaser" secara tepat dan tajam untuk membuat proyek menjadi menarik. Sementara kondisi domestik sangat membutuhkan lapangan kerja.Â
Sehingga wawasan "Small is Beautiful" layak menjadi dasar pertimbangan. Dengan demikian, proyek yang tidak membutuhkan dana besar dan memberikan dampak langsung terhadap bangkitan perekonomian menjadi pilihan; proses berjalan singkat dan cepat sehingga kegiatan pembangunan dapat segera berlangsung. Untuk pilihan ini, inisiatif dan pembiayaan bersumber dari pemerintah dengan berbagai implikasi pada anggaran.
Arnold Mamesah - 25 Juli 2017
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI