Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Orkestra Infrastruktur dalam Dekade Suram Global

25 Juli 2017   22:48 Diperbarui: 25 Juli 2017   22:53 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lightning Storm At Sea - source : http://pcwallart.com

Dekade Suram Global

Dalam satu dekade terakhir, perekonomian global mengalami tekanan besar akibat Krisis Finansial yang melanda negara maju. Bermula dari pasar finansial US tularannya berlanjut ke kawasan Uni Eropa dan Jepang; yang paling terdampak adalah keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. Dengan sistem perekonomian global yang sudah saling terhubung, perdagangan merupakan faktor penting bagi penerimaan negara yang mengandalkan komoditas ataupun produk. Penurunan penerimaan dari perdagangan akan berdampak pada permintaan ataupun belanja domestik serta antar negara.

Gambaran perdagangan global dalam satu dekade (2006 - 2016) terakhir diberikan pada Peraga-1.

Peraga-1 : Trend Perdagangan Global 2006 - 2016

Sumber informasi : World Trade Organization.
Sumber informasi : World Trade Organization.
Setelah sempat mengalami pertumbuhan positif, sejak 2012 perdagangan global tumbuh di bawah 2,5%; bahkan negatif pada 2015 dan 2016. Pertumbuhan perdagangan ini lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi global yang besarnya pada kisaran 3%. Kondisi ini berkaitan erat dengan penurunan harga komoditas seperti digambarkan pada Peraga-2

Peraga-2 : Trend Indeks Harga Komoditas (Energi dan Non Energi) 2007 - 2017

Sumber Informasi : World Bank - Commodity Markets
Sumber Informasi : World Bank - Commodity Markets
Peraga-2 menunjukkan indeks harga energi sejak pertengahan 2015 berada di bawah indeks 2009; demikian juga komoditas non energi. Penurunan harga energi berkaitan dengan fenomena Oil Glut yaitu produksi meningkat sementara permintaan menurun. Turunnya permintaan merupakan implikasi tekanan pertumbuhan yang terjadi pada negara maju dan industri sebagai efek lanjutan Krisis 2008; dan kondisi ini terus berlanjut walaupun sudah dilakukan upaya melalui kebijakan stimulus. Penurunan harga minyak bumi dan gas alam sangat berdampak pada perekonomian negara produsen seperti Venezuela, Nigeria, Rusia; bahkan Arab Saudi yang harus mengalami defisit anggaran sejak 2015.

Dalam kondisi perdagangan dan pertumbuhan global yang tertekan, sulit bagi perekonomian Indonesia bertumbuh dengan mengandalkan perdagangan global. Sehingga pilihannya pada pasar domestik melalui peningkatan konsumsi dan investasi.

Gejolak Nilai Tukar dan Dampak Lanjutan

Pada sisi lain, lonjakan nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika sejak pertengahan 2013 hingga triwulan-3 2015 menyebabkan peningkatan beban utang bagi korporasi yang pinjamannya dalam valuta asing. Gambaran lonjakan diberikan pada peraga berikut ini.

Peraga-3 : Lonjakan Kurs Tukar Rupiah - USD

Sumber Informasi : Bank Indonesia - Kalkulator Kurs
Sumber Informasi : Bank Indonesia - Kalkulator Kurs
Dengan lonjakan hampir 50% berimplikasi nilai pinjaman meningkat sehingga korporasi berupaya mengurangi beban pinjaman dengan berhemat dan mengurangi pinjaman baru termasuk untuk investasi serta perluasan usaha. Sikap dan keputusan demikian justru akan menekan pertumbuhan dan pendapatan korporasi.

Menghadapi kondisi korporasi yang mengurangi investasi dan melakukan penghematan sehingga berdampak pada tekanan lapangan kerja serta pendapatan, sulit berharap dorongan pertumbuhan melalui konsumsi.

Orkestra Infrastruktur dalam tema "Small is Beautiful"

Demi mempertahankan pertumbuhan yang berkelanjutan, pemerintah perlu mengambil inisiatif menggiatkan investasi untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan perekonomian dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur. Pilihan tersebut akan berdampak langsung pada peningkatan lapangan kerja juga meningkatkan kualitas agar dapat mendukung pengembangan industri. Gambaran kondisi infrastruktur Indonesia dengan pembanding dari negara lain diberikan pada peraga berikut ini.

Peraga-4 : Logistic Performance Index (LPI) - World Bank

Sumber informasi : World Bank - Logistic Performance Index (Indonesia dan Pembanding).
Sumber informasi : World Bank - Logistic Performance Index (Indonesia dan Pembanding).
Berdasarkan posisi 2016, skor dan peringkat LPI Indonesia setara dengan Vietnam; untuk infrastruktur Indonesia berada di bawah Vietnam, sementara logistik Indonesia sedikit lebih baik. Tetapi dibandingkan dengan Thailand, India, Turki, dan Malaysia skor dan peringkat Indonesia berada pada posisi bawah.

Pilihan infrastruktur ibarat menampilkan orkestrasi yang megah. Memang keputusan yang tepat tetapi akan berhadapan dengan kendala kemampuan finansial. Berdasarkan identifikasi kebutuhan infrastruktur masa 2015 - 2019, diperlukan anggaran sekitar 4.700 Trilyun Rupiah. Mengutip penjelasan Menteri Negara PPN / Kepala Bappenas : "Dari Rp4.700-an triliun hanya dapat dipenuhi pemerintah sebesar 33% atau sekitar Rp1.551 triliun. 

Kemudian, sebanyak 25% atau Rp1.175 triliun akan diperoleh dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan sisanya sebesar 42% atau Rp1.974 triliun dari swasta.". Pada Indonesia Infrastructure Finance Forum, 25 Juli 2019 di Jakarta, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) menyebutkan bahwa ada 245 Proyek Stratejik Nasional (PSN) dan berharap untuk dapat berkerjasama dalam kemitraan dengan pihak non pemerintah. Pesan ini senada dengan pernyataan SMI, saat menjabat Managing Director World Bank, dalam pertemuan Bretton Woods Committee, 26 Juni 2016 : "In everything we do, we partner. We can not do it alone." (lihat speech SMI di sini).

Ajakan kemitraan tersebut memang bijak dan baik; tetapi kondisi gejolak global dan domestik kurang mendukung. Rentang waktu proyek infrastruktur stratejik dan besar akan dikategorikan beresiko tinggi dengan proses panjang serta lama. Perlu diidentifikasi dan didefinisikan stimulus atau insentif bahkan "teaser" secara tepat dan tajam untuk membuat proyek menjadi menarik. Sementara kondisi domestik sangat membutuhkan lapangan kerja. 

Sehingga wawasan "Small is Beautiful" layak menjadi dasar pertimbangan. Dengan demikian, proyek yang tidak membutuhkan dana besar dan memberikan dampak langsung terhadap bangkitan perekonomian menjadi pilihan; proses berjalan singkat dan cepat sehingga kegiatan pembangunan dapat segera berlangsung. Untuk pilihan ini, inisiatif dan pembiayaan bersumber dari pemerintah dengan berbagai implikasi pada anggaran.

Arnold Mamesah - 25 Juli 2017

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun