Depresi Pasca Krisis Finansial
Berbagai upaya dan langkah dilakukan negara maju pasca Krisis Finansial 2008 untuk pemulihan perekonomian negara atau regional masing-masing serta mencegah tekanan perekonomian yang berkepanjangan atau dikenal sebagai siklus super (super-cycle) seperti yang terjadi pasca Great Depression 1929. Perekonomian US melalui The Fed memilih lebih dari stimulus moneter dengan kebijakan yang disebut "quantitative easing"; Uni Eropa melalui ECB (European Central Bank atau Bank Sentral Uni Eropa) menjalankan kebijakan "Asset Purchase Programmes" yang intinya merupakan kebijakan stimulus moneter untuk mendorong belanja dan meningkatkan permintaan (demand). Hal yang hampir serupa dilakukan Jepang dengan kebijakan stimulus dengan berupaya menurunkan suku bunga demi meningkatkan konsumsi. Tiongkok memilih stimulus dengan membelanjakan hampir USD 586 Miliar untuk ekspansi pembangunan termasuk infrastruktur.
Gambaran pertumbuhan perekonomian pra dan pasca Krisis Finansial 2008 diberikan pada Peraga-1.
Pasca 2008 tren pertumbuhan Amerika Serikat (US), Uni Eropa, (EU : European Union), Jepang (Japan), dan Tiongkok (China) turun; demikian juga dengan perekonomian dunia (World).Â
Upaya stimulus moneter yang dilakukan US, EU, dan Jepang menunjukkan bahwa "limpahan dana" (Glut of Fund) dengan suku bunga rendah tidak selalu memberikan efek positif yaitu peningkatan pertumbuhan. Fenomena ini dikenal sebagai Jebakan Likuiditas (Liquidity Trap). Sementara, upaya stimulus yang dilakukan Tiongkok memang dapat menahan penurunan pertumbuhan. Tetapi siklus natural perekonomian tidak dapat dihindari dan pertumbuhan Tiongkok mengalami tekanan penurunan. Sementara dampak dana stimulus yang telah dikucurkan masih membutuhkan waktu panjang untuk pemulihan dan berpotensi menimbulkan tekanan atau gejolak.Â
Terlepas dari tren turun pertumbuhan ekonomi yang dialami US, EU, Jepang, Tiongkok, dan dunia; ada satu hal yang menarik bahwa tren Indonesia naik (lihat garis merah dengan panah) dalam masa 2000 - 2017 walaupun dalam masa 2010 - 2015 mengalami penurunan dengan pertumbuhan 2015 hanya mencapai 4.9%. Apakah angka tersebut merupakan pertumbuhan terendah (trough) dalam siklus perekonomian ?
Potret Moneter
Tingkat inflasi merupakan fokus utama kebijakan moneter yang dikawal Bank Indonesia (BI); dan dalam kebijakannya akan berpengaruh pada nilai tukar, suku bunga, aliran dana serta cadangan devisa negara. Indikator yang dapat mewakili kinerja tersebut dapat dilihat dengan menggunakan Indeks Real Effective Exchange Rate (REER) karena memberikan gambaran perubahan nilai tukar mata uang, tingkat inflasi, kondisi perdagangan global, dan aliran dana yang masuk dan keluar. Gambaran Indeks REER Indonesia dengan pembanding India serta Tiongkok diberikan pada Peraga-2.
Peraga-2 menunjukkan dalam masa Mei 2015 - 2017 (24 bulan), tren indeks REER India dan Indonesia naik; sedangkan Tiongkok turun. Hal ini memberi makna bahwa nilai tukar mata uang Rupiah menguat, inflasi terkendali, perdagangan tidak mengalami defisit panjang, serta aliran dana masuk lebih besar daripada aliran keluar. Kondisi demikian didukung dengan gambaran inflasi serta cadangan devisa pada Peraga-3.
Tren inflasi dalam masa Mei 2015 - 2017 turun sedangkan cadangan devisa meningkat (posisi akhir Mei 2015 : USD 110.8 Miliar; akhir Mei 2017 : USD 124.9 Miliar; naik 12.8%). Indikator indeks REER, inflasi, cadangan devisa menggambarkan kondisi moneter Indonesia yang menguat serta kinerja yang mengesankan.
Siklus Ekonomi dan PotensiÂ
Dalam perekonomian dikenal siklus ekonomi (Economic Cycle) seperti pada Peraga-4.
Krisis Finansial 2008 ibarat "Black Swan" atau kejadian yang sangat diluar dugaan dan mengejutkan; walaupun pada 2000 - 2001 di US terjadi "Dotcom Bubble" yang melahirkan berbagai regulasi atau aturan untuk mengendalikan institusi keuangan. Bagaimana kondisi perekonomina global khususnya pada negara maju ? Diawali dengan Krisis Yunani, kebangkrutan bank di Spanyol dan Itali, kasus Brexit, serta pertumbuhan ekonomi yang rendah dalam masa panjang walaupun sudah melakukan stimulus moneter; merupakan indikasi awal perekonomian Uni Eropa akan mengalami masalah. Tiongkok rentan sebagai bagian dari upaya Rebalancing Perekonomian dari "Export Orientation" menuju "Consumption Base" serta dampak lanjutan kebijakan stimulus. IMF serta IIF telah memberikan "warning" permasalahan utang yang dihadapi State Owned Enterprise (SOE) Tiongkok juga pemerintah daerah yang kelak akan menimbulkan gejolak perekonomian dan berdampak "capital flight" atau pelarian modal dari Tiongkok (Lihat laporan IIF dengan klik di sini).Â
Perekonomian US dalam kondisi yang rentan gejolak sebagai dampak berbagai kebijakan dan ketidakkonsistenan Presiden Donald Trump (Trump Effect). Jepang masih berupaya untuk terus mendorong konsumsi untuk meningkatkan pertumbuhan yang masih berada pada rentang 1%-1.5%. India dalam kondisi rentan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di atas 7% tetapi tekanan mengalami defisit perdagangan dan anggaran yang mencapai 7% serta rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) yang berada pada kisaran 70%. Perekonomian negara maju dan besar mengandung "laten" (bermakna tersembunyi atau terpendam dan dapat tiba-tiba muncul), yang menghadirkan ketidakpastian yang tinggi dan menimbulkan krisis serta berdampak memperpanjang tekanan pertumbuhan.Â
Gambar "Rajawali terbang di langit yang diliputi awan" pada bagian atas merupakan representasi perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian global. "Black Swan" yang dapat tiba-tiba muncul atau letupan krisis seperti misalnya di Tiongkok, India atau bahkan Uni Eropa akan merupakan "potensi laten" bagi Indonesia karena menjadi pilihan utama migrasi investasi yang lantas menjadi pendorong pertumbuhan. Tetapi pada sisi lain, keraguan dan ketidakpastian dalam menjalankan stimulus perekonomian dalam pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan akan menjadi "ancaman laten" bagi kelanggengan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Laten perekonomian Indonesia ibarat dua sisi koin yang berseberangan maknanya.
Arnold Mamesah - 1 Juli 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H