Perdagangan Internasional dan Nilai Tukar Mata Uang
Setiap pertengahan bulan sejak Februari 2017 berita surplus perdagangan selalu muncul dari Badan Pusat Statistik (BPS). Pada 15 Mei 2017 BPS mengumumkan surplus perdagangan April 2017 sebesar USD 1.24 Miliar dan selama 2017 gambarannya diberikan pada Peraga-1.
Kondisi surplus tersebut didukung dengan trend indeks nilai tukar Rupiah berdasarkan Real Effective Exchange Rate (REER) seperti diberikan pada Peraga-2 beserta pembanding.
Dalam 24 bulan terakhir (April 2015 - April 2017) trend indeks Rupiah naik dan dalam masa tersebut kenaikan mencapai 6%; kondisi yang serupa juga terjadi pada India - Rupee sedangkan China - Renminbi turun hingga hampir 9%. Selayaknya dengan perdagangan China yang mengalami surplus, indeks mata uangnya naik.Â
Aliran Investasi
Dibalik berita suplus perdagangan tersebut tidak peningkatan yang berarti pada impor barang modal untuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan industri. Hal ini mengindikasikan aliran investasi asing belum menunjukkan peningkatan yang berarti; dapat dilihat pada Neraca Pembayaran Indonesia seperti pada Peraga-3.
Dalam 4 (empat) triwulan sejak triwulan-2 2016 hingga triwulan-1 2017, aliran dana investasi asing (net) yang masuk sebesar USD 3.9 Miliar; bandingkan dengan empat triwulan sebelumnya (triwulan-2 2015 hingga triwulan-1 2016) yang mencapai USD 17.31 Miliar. Sebagai catatan, pada triwulan-4 2016 terjadi arus keluar sebesar USD 9.53 Miliar; ini merupakan signal yang perlu mendapatkan perhatian dan memberikan kesan penurunan ekspektasi atau harapan penanamam modal di Indonesia.
Sementara pertumbuhan utang luar negeri menunjukkan bahwa sektor swasta cenderung lebih mengutamakan pembayaran utang daripada meningkatkan investasi. Gambaran pertumbuhan utang luar negeri diberikan pada Peraga-4.
Peraga-4 menunjukkan trend utang luar negeri pemerintah meningkat sementara swasta turun; kondisi ini mengindikasikan penurunan minat swasta berinvestasi dan selanjutnya akan menekan pertumbuhan usaha pada masa mendatang.Â
Peningkatan utang pemerintah tidak perlu dicemaskan karena sejalan dengan kebijakan stimulus dan perlu dana untuk pembangunan infrastruktur. Bahkan pertumbuhan utang pemerintah seharusnya lebih agresif untuk percepatan pembangunan; tetapi hal ini akan mendapat tentangan akibat pemahaman yang dangkal tentang utang. (Lihat artikel : "Saatnya Berutang" dengan klik di sini).
Kondisi surplus perdagangan memang bagus tetapi lebih menggembirakan jika terjadi defisit akibat peningkatan impor barang modal untuk infrastruktur dan pengembangan industri yang pada masa mendatang akan mendorong pertumbuhan. Seringkali muncul pemahaman bahwa kondisi defisit akan menimbulkan depresiasi nilai tukar mata uang Rupiah. Yang terjadi justru sebaliknya karena faktor aliran masuk dana investasi asing akan memperkuat nilai tukar (apresiasi) dan dalam kondisi tertentu dapat mengancam ekspor.i
Investasi bukan sekedar mendorong pertumbuhan masa kini tetapi mempersiapkan masa depan. Saat sumber dana untuk investasi tidak tersedia maka pilihannya adalah utang demi pertumbuhan dengan rentang waktu panjang bukan hanya 1-2 tahun.
Arnold Mamesah - 18 Mei 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H