Dampak Kecoak Trumponomics
Perjanjian kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan JP Morgan (JPM) berakhir dan efektif berlaku sejak 1 Januari 2017. Pertimbangan utama Menteri Keuangan dalam pengakhiran tersebut adalah publikasi kajian JPM atas ekspektasi perekonomian Indonesia; pasca terpilihnya Donald Trump (DT) sebagai Presiden USA dengan kebijakan ekonomi "Trumponomics". Sementara saat membuka transaksi perdagangan di Bursa Efek Indonesia pada 3 Januari 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) dalam pesannya mengajak masyarakat untuk berinvestasi demi mengantisipasi ketidakpastian global terutama faktor Donald Trump dan lagi-lagi Trumponomics.
Sebagai gambaran, Trumponomics intinya antara lain berupa Pemotongan Pajak (personal dan korporasi); Restrukturisasi Perdagangan US yang diprakirakan menjadi proteksionis; peningkatan perekonomian dengan stimulus fiskal yang fokus pada infrastruktur; dan peningkatan sektor pertahanan. Sementara pada pertengahan Desember 2016 saat mengumumkan kenaikan 25 basis poin Fed Fund Rate (Fed Rate), Chairwoman The Fed, Janet Yellen memberikan indikasi kenaikan Fed Rate sebanyak tiga kali selama 2017.Â
Agar dapat memprediksi implikasi dari Trumponomics dan kenaikan Fed Rate, perlu dipahami fenomena USD Strong; yang maknanya penguatan nilai tukar Dolar Amerika terhadap mata uang utama (major currencies) seperti Euro, Yen Jepang, Renminbi China, dan Pound Sterling UK serta mata uang lain (broad) (Peraga-1); neraca perdagangan global US (Peraga-2), posisi US Federal Debt (Peraga-3).Â
Peraga-1 : Fenomena USD Strong
Peraga-2 : Neraca Perdagangan USA
Peraga-3 : US Federal Debt
Bagaimana memahami dampak Trumponomics ? Dengan kebijakan perdagangan yang proteksinis, hampir dipastikan akan ada tindakan balasan dari mitra utama USA khususnya dari negara-negara G20 sehingga timbul "Trade Wars". Implikasi perang dagang ini pada perubahan "Global Supply Chain" dan akan merugikan USA. Sementara penguatan USD berdampak pada penurunan ekspor US; menyebabkan defisit perdagangan makin meningkat bahkan kembali seperti sebelum Krisis Finansial 2008.Â
Tekanan pada ekspor selanjutnya berdampak pada penurunan kinerja korporasi. Kondisi ini berimplikasi pada pendapatan tenaga kerja dan tekanan pada lapangan kerja serta tentunya penurunan penerimaan pajak. Tekanan pada penerimaan pajak membuat defisit anggaran semakin membesar. Dampak dari defisit tersebut akan meningkatkan pinjaman yang lantas memaksa US Treasury menambah jumlah surat utang (US T-Notes) yang diterbitkan.Â
Sementara, respon lain dari kebijakan Trumponomics dapat memicu negara pemegang surat utang US untuk mencairkan atau memindahkan investasinya ke tempat lain; keadaan ini memberikan tekanan berat bagi pasar uang USA. Jika terjadi secara berbarengan, situasi ini akan menyeret perekonomian USA kedalam resesi.Â
Pada sisi lain, kebijakan peningkatan sektor pertahanan akan mengingatkan pada catatan presiden USA lalu yang berasal dari GOP (Grand Old Party alias Partai Republik); antara lain Presiden Ronald Reagan dengan Operasi Grenada (Amerika Tengah), "Cold War" dengan blok USSR; Presiden George Bush dengan Koflik Teluk Persia dengan Irak; Presiden George W. Bush dengan penyerbuan Irak (Saddam Hussein), Perang di Afganistan. Potensi konflik pada masa presiden Donald Trump diprakirakan dapat terjadi di Midlle East & North Africa (berkaitan dengan ISIS), South China Sea dengan China, konflik perbatasan dengan Mexico, dan serial lanjutan Afganistan.
Rangkaian efek Trumponomics menuju resesi US dan ketidakpastian global serta konflik regional diberikan pada Peraga-4 : Trumponomics menuju Resesi USA.
Dalam konflik JPM dan SMI seputar kajian JPM, tidak lain berkaitan dengan gejolak global dan aliran investasi. JPM memprakirakan akan terjadi aliran dana ke pasar USA sebagai "safe haven investment country" yang menjanjikan stabilitas, imbalan dan aman gejolak. Sementara, akibat dana menuju USA akan berdampak "capital outflow" dari "Emerging Country & Developing Economies" seperti Indonesia, India. Tetapi jika melihat efek Trumponomics seperti diberikan di atas, konklusi kajian JPM sangat tidak tepat dan sangat subjektif; mungkin akibat asumsi yang digunakan atau "hidden interest" lain.Â
Tentang JPM sendiri, layak diingat Krisis Finansial 2008 dan kasus "rating" JPM pada surat utang (mortgage bonds) nan sarat "fake & fraud information". Kasus ini dianggap sebagai salah satu pemicu krisis finansial 2008; pada 2013 diputuskan JPM dikenakan penalti (lihat informasi di sini). SMI yang sebagai "inner circle" di World Bank tentu paham dengan perilaku JPM termasuk beberapa kasus "conflict of interest" lain yang melibatkan JPM pasca Finansial Krisis 2008. Konflik dengan JPM mungkin saja akan terjadi di negara lain ibarat kecoak yang diusir tetapi kemudian muncul kembali; tetapi gejolak yang akan timbul sepertinya minor dan pada tingkat global konflik SMI dan JPM sangat sumir mengingat "negative track record" JPM.
Dilema Investasi
Sangat tepat jika SMI mengingatkan pentingnya investasi; selain juga infrastruktur sebagai penunjang kegiatan perekonomian dan income atau penerimaan pemerintah (lihat artikel : Trilema Perekonomian Indonesia). Dalam kondisi global yang mengalami tekanan pertumbuhan dan gejolak nilai tukar, wajar jika pasar domestik dan konsumsi masyarakat mendapatkan fokus utama. (Lihat artikel : Fokus Domestik dalam Ancaman Gejolak Global).
Namun untuk mendorong investasi khususnya pada sektor swasta (private) akan berhadapan dengan kondisi resesi neraca korporasi yang masih sibuk mengupayakan pembayaran kewajiban dan pelunasan utang. Suku bunga pinjaman yang masih "double digit" sebenarnya bukan menjadi masalah utama jika memang ekspektasi terhadap imbalan investasi cukup meyakinkan. Hal lain adalah kebijakan yang tidak gampang berubah sehingga ada kepastian untuk jangka panjang. Dengan memahami kondisi demikian, peran aktif dan agresivitas pemerintah melalui fiskal untuk berinvestasi akan menjadi pendorong (teaser) bagi sektor swasta.
Trumponomics dan konflik dengan JPM adalah bagian dari volatilitas atau gejolak global; ibarat kecoak yang datang dan hilang silih ganti. Tetapi strategi fokus domestik dengan mendorong investasi, membangun infrastruktur, serta meningkatkan penerimaan pajak secara kesatuan harus menjadi bagian utama skenario opera perekonomian Indonesia.
Arnold Mamesah - 3 Januari 2017
Modifikasi : gambar dan judul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H