Sesi debat kedua calon presiden USA 2016 yang dilaksanakan di Washington University in St. Louis, baru saja usai. Dari beberapa topik dalam perdebatan tersebut, menarik untuk mengkaji tiga hal yaitu : depresi ekonomi, defisit anggaran, dan energi. Tri-masalah ini saling berkaitan dan menggambarkan kondisi global yang dipengaruhi fenomena "New Normal" (Lihat artikel : Anomali atau "Norma Baru" tetapi Faktanya Fenomenal). Berbagai upaya serta kebijakan telah dilakukan baik oleh masing-masing negara, juga dalam ikatan kerjasama ekonomi (misalnya APEC, G20) ataupun dalam kebersamaan multilateral (IMF, World Bank, Asian Development Bank) demi mengatasi trimasalah ini; tetapi hasilnya belum memberikan indikasi yang menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi global tetap dalam tekanan (Lihat laporan World Bank, June 2016).
Peraga-1 : New Norm Global
Peraga-2 : Pangsa GDP G20.
Untuk memahami posisi Indonesia terhadap G20 dan USA, Peraga berikut memberi gambaran pertumbuhan GDP dan defisit anggaran.
Peraga-3 : Pertumbuhan GDP Pra Krisis Finansial 2008 hingga 2021 (Proyeksi).
Memperhatikan Peraga-3 dan Peraga-4, dapat dilihat bahwa pertumbuhan GDP Indonesia di atas USA dan rerata G20 (walaupun di bawah India dan China); sedangkan defisit anggaran diproyeksikan hingga 2017 masih lebih rendah dibandingkan USA dan rerata G20. (Lihat artikel : Indonesia "Lokomotif Pemulihan Global" Ibarat Ripley's Believe It or Not!).
Siklus Super dan Entreprenurship
Depresi atau tekanan pertumbuhan pasca Krisis Finansial 2007-2008 ini tidak lepas dari kondisi spiral deflasi komoditas dan merupakan bagian dari siklus super (super cycles); dalam pemahaman gelombang Kondratieff (K-Waves). Secara sederhana, K-Waves mencakup gelombang Musim Semi, Panas, Gugur, Dingin (Spring, Summer, Autumn, Winter). Pasca boom (kenaikan) harga komoditas, tiba "musim dingin atau winter" dan muncul kondisi seperti tekanan pertumbuhan, peningkatan utang, tekanan pendapatan atau upah tenaga kerja, dan kemampuan tenaga kerja yang menjadi usang (obsolence). (Lihat : K-Waves and Greater Depression). Dalam situasi ini, sangat diperlukan inovasi dan kreativitas dalam kegiatan perekonomian serta perlu didorong kemunculan dan kehadiran "new entrepreneur" (wirausaha baru). Hal demikian sejalan dengan pemikiran Schumpeter yang mengusung tajuk Creative Destruction (Kreativitas dan Inovasi Baru akan menggantikan entitas, produk dan layanan dari yang ada dan akan jadi usang).
Energi dan Migas
Dalam masalah energi, tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu sebab berlebihnya pasokan minyak mentah (crude oil) adalah peningkatan produksi USA melalui "oil shale" dan pengendalian konsumsi USA yang beralih ke penggunaan "renewable energy". (Lihat artikel : "Oil Glut : Kutukan atau Salah Urus"). Sementara di Indonesia, supply energi terbelit pada penyediaan pembangkit (ingat proyek prioritas pembangkit listrik 35.000 Mega Watt) dan penurunan produksi migas (sekedar catatan, dalam RAPBN 2017 lifting minyak diprakirakan 780 Ribu Barel per hari). Kondisi siklus super global dan tekanan harga minyak dunia yang saat ini berkisar USD 50 Per Barel, memberikan dampak penurunan aktivitas pencarian sumber minyak baru (eksplorasi) yang kelak akan membuat produksi turun; sementara konsumsi global juga turun sejalan dengan depresi perekonomian.
Masalah energi di Indonesia khususnya minyak mentah, perlu dilihat secara utuh dengan pemahaman akan nilai "fossil dan hydro-carbon". Penggunaan energi "fossil" selama ini dijadikan bahan bakar; lebih dari 80% untuk transportasi. Harus dipahami "hydro-carbon" jumlahnya terbatas, perlu biaya serta resiko tinggi dalam pencarian. Sehingga produk utama dan turunannya harus digunakan secara bijak dan memberikan manfaat lebih daripada dibakar yang justru menghasilkan asap dan pencemaran udara (emisi karbon).Â
Dalam situs berikta : Energy World edisi Indonesia, dimuat bagian pertama dari serial artikel :"Prediksi Harga Minyak dan Gas Dunia 2017 dan Dampak untuk Indonesia" yang ditulis DR. Ardian Nengkoda (AN), Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Timur Tengah. Dengan latar belakang dan tempat kerja di lapangan minyak Middle East, DR. AN tentu akan sangat "concern" terhadap fluktuasi harga minyak, seperti halnya negara anggota OPEC (sebagian besar di Middle East, North Africa, dan di Latin America). Penurunan harga minyak pasti akan berdampak pada kinerja perusahaan minyak dan para penyedia jasa yang terkait. Permasalahan Indonesia yang sudah menjadi pengimpor minyak, tidak dapat diselesaikan hanya dari sisi penyediaan (supply) dan produksi. Tekanan yang menyebabkan defisit minyak makin besar ada pada sisi konsumsi BBM. Sehingga perlu pemahaman dan kemampuan holistik; bukan sekedar bicara produksi dan fluktuasi harga minyak; tetapi memformulasikan rangkaian langkah terobosan dalam bidang energi khususnya BBM saat migas Indonesia sudah memasuki masa senja kala (Lihat artikel : Senjakala Migas).Â
Arnold Mamesah - 10 Oktober 2016
Masyarakat Infrastruktur Indonesia - Laskar Initiatives
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H