Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Titip Pesan Buat SMI : "Reformasi Pajak dalam Kondisi Paradoksal"

29 September 2016   18:04 Diperbarui: 30 September 2016   02:05 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terjadi fenomena paradoksal atau bertentangan dalam perjalanan penerimaan negara melalui pajak. Pada 1995 tercatat Tax Ratio 15% dari PDB (Produk Domestik Bruto) dengan dukungan kapasitas komputer dalam sistem administrasi pajak. Setelah berjalan dua puluh tahun, pada 2015 dengan kapasitas komputer yang jauh lebih besar Tax Ratio hanya mencapai 10,9% dari PDB seperti dikutip dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI)

Tema dan upaya Reformasi Pajak sudah lama diupayakan sejak SMI menjadi Menteri Keuangan pada periode sebelumnya; dikenal dengan sebutan PINTAR (Project for Indonesia Tax Administration Reform); tetapi faktanya saat perekonomian bertumbuh trend Tax Ratio turun. Dengan metafora “koin”, penurunan Tax Ratio dapat dilihat dari sisi Wajib Pajak (WP) dan sisi lainnya berkaitan dengan “Fiskus” (atau pengumpul pajak) yang merupakan tanggung jawab Kementerian Keuangan dengan segenap jajaran Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) serta Petugas (Pelayan) Pajak (PP) serta tentunya tata kelola dan sistem pendukungnya. Secara utuh dua sisi koin ini secara bersama merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi dan sosial kemasyarakatan namun diatur dalam tatanan hukum, perundangan, peraturan dan kode etik.

Dalam pelaksanaan yang berdasarkan perlakuan, “Self Assessment” (Perhitungan sendiri), WP melaporkan dan membayar kewajiban pajak sesuai dengan hasil perhitungannya; fiskus atau petugas pajak sejalan dengan semangat “pelayanan”, memeriksa berdasarkan laporan WP. Tetapi fiskus dapat juga menjalankan pendekatan “penegakan hukum” (Law Enforcement) dengan berinisiatif melakukan pemeriksaan, menggali dan menggunakan informasi yang ada atau berbagai cara investigasi untuk “memaksa” WP memenuhi kewajiban pajak. 

Dengan pendekatan pelayanan, diperlukan sejumlah besar KP dan PP agar dapat mencakup segenap WP. Sebaliknya, dalam pendekatan “Law Enforcement”, diperlukan banyak PP untuk investigasi dan  pemeriksaan. Kedua pendekatan ini rawan penyimpangan dari masing-masing WP maupun PP karena interaksi atau pertemuan kedua pihak masih tinggi.

Satu pendekatan lain yang dapat digunakan bersifat “Simbiosis Mutualisme” (SM). Melalui mekanisme ini WP dan PP tidak perlu harus sering bertemu tetapi secara sistematis transaksi WP akan dicatat dan direkam melalui sistem administrasi pajak yang dapat dipantau dan diawasi masing-masing WP dan fiskus. Dengan demikian dapat dihindari godaan untuk melakukan penyimpangan dan pelanggaran termasuk penggelapan pajak. 

Secara holistik dan utuh, sistem ini memerlukan alur proses administrasi pajak yang terdefinisi lengkap (tax processing flow) dengan PP yang memiliki kemampuan melayani, memantau, dan melakukan analisis atau investigasi, serta dukungan sistem yang mencakup sisi layanan bagi WP (Front End and Service), sisi proses utama (Core System), dan sisi analisis (Intelligent System). Dengan pendekatan ini, dapat dipastikan cakupan pajak menjadi luas dan berkelanjutan serta memberikan peningkatan dalam penerimaan secara nominal ataupun berdasarkan rasio terhadap PDB. (Lihat artikel : Keliru dalam Kebijakan, Keuangan Negara Bukan Korporasi).

Untuk mewujudkan sistem administrasi pajak yang utuh ini, butuh motivasi tinggi dan dukungan pemerintah serta konsistensi dalam pelaksanaan pada rentang waktu tertentu; tetapi bukan suatu hal yang mustahil. Sejalan dengan perkembangan Ekonomi Digital yang bergulir pesat, fiskus khususnya Direktorat Jenderal Pajak (kecuali jika kelak dilakukan transformasi atau perubahan) perlu melengkapi diri dengan sistem yang dapat merespon perubahan termasuk peningkatan transaksi yang dilakukan secara elektronik tanpa menggunakan uang tunai tetapi ‘Non Cash” atau “mata uang digital”. Reformasi pajak bukan sekedar menambah penerimaan pajak agar tidak membuat defisit anggaran meningkat; tetapi berwawasan dan mengantisipasi masa depan.

Semoga relaksasi kegiatan Tax Amnesty dapat membuat SMI segera fokus melakukan Reformasi Pajak selaras dengan "speech" dalam Bretton Woods Committee, 26 Juni 2016 (video lengkap klik di sini); persis satu bulan sebelum SMI memangku tanggung jawab sebagai Menteri Keuangan RI.

S. Arnold Mamesah - 29 September 2016

Masyarakat Infrastruktur Indonesia - Laskar Initiatives

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun