Penyusunan APBN 2017 antara Pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) dan Dewan Perwakilan Rakyat mulai bergulir dengan menetapkan asumsi dasar yang salah satunya pertumbuhan ekonomi 5,1%. Bagaimana mengupayakan pencapaian target pertumbuhan tersebut ?
Peraga-1 memberikan gambaran faktor-faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi.
Dari grafik dan pengujian statistik didapatkan bahwa faktor penting dan utama pertumbuhan ekonomi yang diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB) adalah Pertumbuhan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) yang sejalan dengan pertumbuhan kredit investasi dan konsumsi rumah tangga.
Pertumbuhan ekonomi tidak semata bergantung pada kebijakan fiskal yang berkaitan dengan Penerimaan dan Belanja negara, tetapi juga memerlukan kondisi pasar yang beraktivitas secara dinamis (sektor riil) untuk mendorong investasi dan dukungan kebijakan moneter bank sentral (BI : Bank Indonesia).
Dalam mendorong sektor riil khususnya menarik investasi, sudah diupayakan dengan 13 (tiga belas) paket kebijakan yang diluncurkan sejak September 2015 hingga Agustus 2016. Terlalu naif berharap dampak dari 13 paket tersebut akan langsung dirasakan. Faktanya pertumbuhan investasi baik dari luar (asing) dan domestik diprakirakan pada 2016 turun dibandingkan investasi 2015. Dengan demikian, reformasi struktural melalui berbagai paket kebijakan dan kemudahan investasi belum dapat diharapkan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi.
Sejak awal 2016 Bank Indonesia mengkoreksi BI Rate dari 7,5% menjadi 6.5%; dan saat ini menggunakan BI 7-day (Reverse) Repo Rate 5,25%. Dengan langkah ini diharapkan akan meningkatkan kredit khususnya untuk investasi. Faktanya, berdasarkan prediksi pada pertumbuhan kredit 2016 hanya 7%-9%. Sementara pertumbuhan utang eksternal swasta turun yang maknanya swasta lebih mementingkan pembayaran pokok utang daripada melakukan investasi. Kondisi rendahnya investasi, turunnya minat berutang dan lebih mengutamakan pembayaran utang, serta menghindari pemanfaatan pinjaman merupakan indikasi Jebakan Likuiditas. Dalam situasi demikian, kebijakan moneter mandul; karena ekspansi kredit investasi rendah tidak dapat mendorong permintaan serta inflasi berlanjut dengan pertumbuhan ekonomi tertekan.
Dengan penjelasan di atas, pilihan yang tersisa hanya pada Ekspansi Fiskal maksimum. Kebijakan ini manfaatkan ambang batas defisit anggaran hingga 3% (sesuai UU No. 17/2003); dan mengutamakan atau Fokus Infrastruktur Domestik yang menciptakan banyak lapangan kerja serta mendorong permintaan. Sejalan dengan kebijakan tersebut peningkatan penerimaan tetap berlangsung bersama dengan upaya reformasi pajak (PINTAR : Project for Indonesia Tax Administration Reform).
Gambaran defisit anggaran maksimum dan implikasinya pada pinjaman diberikan pada Peraga-2.
Dengan menggunakan defisit maksimum dan meningkatkan rasio penerimaan pajak, PDB meningkat 75% dari USD 870 Miliar menjadi USD 1.500 Miliar pada 2025; sementara rasio pinjaman terhadap PDB turun dari 28% pada akhir 2016 menjadi 24.8% akhir 2025.Â