Potret Global dan Kondisi Perdagangan
Tidak dapat disangkal bahwa kondisi perekonomian global semakin tertekan. Wajar jika World Bank dalam Global Economic Prospect edisi Juni 2016 menurunkan target pertumbuhan global dari 2,9% menjadi 2,4%. Sementara IMF dalam World Economic Outlook edisi Juli 2016 melakukan koreksi pertumbuhan global menjadi 3,1%.Â
Gejolak global tidak lepas dari "Norma Baru" dalam perekonomian dan finansial. Selain Tekanan Pertumbuhan Global, kondisi faktual yang dihadapi antara lain Spiiral Deflasi harga komoditas, Suku Bunga (sangat) rendah yang diberlakukan Bank Sentral. Peningkatan Defisit Fiscal (Pendapatan turun, belanja tetap atau harus naik), Himpitan Utang, dan Ketimpangan Kesejahteraan (Lihat : Menunda Adalah Ancaman Mesin Perekonomian).
Potret global erat dengan kondis perekonomian Amerika (US). Tekanan USD Strong (nilai tukar Dolar Amerika yang menguat) sudah mulai berkurang, tetapi masih terasa aroma "Currency Wars" (melemahkan nilai tukar demi meningkatkan ekspor); khususnya negara yang mengandalkan penerimaan pada ekspor seperti China dan negara-negara berkembang. Walaupun USD Strong mengalami penurunan tetapi defisit neraca perdagangan global USA masih terus berlangsung dan meningkat dan berdampak pada penurunan pertumbuhan pendapatan dan tentunya pertumbuhan ekonomi US.
Peraga-1 memberi gambaran hubungan USD Strong yang turun tetapi defisit perdagangan US (garis biru pada) trend-nya naik.Â
Dari Peraga-1, trend Trade Weighted Currency Exchange (Major) Index turun (garis putus), tetapi defisit perdagangan malah meningkat Selayaknya, dengan index turun akan mengurangi defisit perdagangan. Hal ini mengindikasikan penurunan ekspor produk US atau permintaan global dalam tekanan.
Dalam tekanan pertumbuhan, neraca perdagangan global Indonesia dapat bertahan dan pada Juli 2016 mengalami surplus sekitar USD 600 Juta. Gambaran Neraca Perdagangan secara Triwulanan (Quarterly) diberikan pada Peraga-2.Â
Terhadap 3 (tiga) poros perekonomian global yaitu US, China, dan Eropa, kondisi perdagangan Indonesia digambarkan pada peraga-peraga berikut ini.
Neraca Perdagangan Indonesia - USA diberikan pada Peraga-3 berikut.
Indonesia mendapatkan surplus setiap bulan pada kisaran USD 1 Miliar.
Gambaran perdagangan Indonesia dan European Union diberikan pada Peraga-4.
Indonesia mendapatkan surplus pada perdagangan dengan EU dan rerata 2016 sebesar Euro 850 Juta atau setara USD 1 Miliar.Â
Kondisi perdagangan dengan China diberikan pada Peraga-5.
Selama triwulan-1 dan triwulan-2 2016, Indonesia mengalami defisit bulanan secara rerata sebesar USD 1,3 Miliar.Â
Gambaran neraca perdagangan dengan negara di Asia Timur diberikan pada Peraga-6.
Surplus dengan Jepang turun, dengan Taiwan cenderung stabil; sementara defisit dengan Korea Selatan berkurang dan menuju seimbang.
Dengan mencermati kondisi surplus dan defisit yang terjadi selama triwulan-1 dan triwulan-2 2016, dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain :
1. Tekanan pertumbuhan global memang menekan nilai ekspor; secara umum Indonesia masih menikmati surplus seperti dengan US dan EU serta Negara Asia Timur; tetapi defisit dengan China sangat berarti.
2. Membandingkan data impor yang bersumber dari negara tujuan (US dan EU) dengan data ekspor, ada perbedaan. Hal ini mengindikasikan bahwa ekspor ke US dan Euro sebagian dilakukan melalui "third party" atau negara ketiga misalnya melalui Singapura.
3. Kondisi surplus memang melegakan, tetapi pada sisi lain mengindikasikan impor barang modal (untuk investasi produksi dan infrastruktur) belum mengalir masuk. Hal ini mencemaskan karena menunjukkan kegiatan investasi (asing dan domestik) belum meningkat secara berarti.Â
Potret Finansial Domestik
Dengan kondisi surplus perdagangan dan tingkat inflasi yang terkendali serta meredanya tekanan USD Strong, nilai tukar Rupiah (IDR) terhadap mata yang utama khususnya USD menunjukkan apresiasi (meningkat) dan stabil. Gambaran nilai tukar (langsung), Real Effective Exchange Rate Index (REER Index), dan posisi cadangan devisa diberikan pada Peraga-6Â
Peraga-6 menunjukkan rerata bulanan nilai tukar IDR-USD (bar kuning) sejak Maret hingga Juni 2016 pada besaran di bawah IDR 13.400, bahkan Juli 2016 pada IDR 13.100. Angka nilai tukar ini lebih rendah dibandingkan target APBNP-2016 yang besarnya IDR 13.500. Indeks REER (garis putus merah) selama 2016 stabil dan selanjutnya naik pada Juni dan Juli 2016.Â
Hal ini mengindikasikan kondisi inflasi rendah terkendali dan perdagangan global tidak dalam tekanan defisit. Pada sisi lain, posisi cadangan devisa (garis biru) meningkat pesat sejak Mei hingga 2016. Ini menunjukkan aliran dana yang masuk dari luar (eksternal) tetapi lebih banyak dalam bentuk investasi porto folio (FPI : Foreign Portfolio Investment); dibiakkan pada pasar saham dan pasar modal. Kondisi FPI ini memberikan dampak pada penguatan nilai tukar IDR tetapi pada sisi lain rentan dan menimbulkan gejolak saat terjadi aliran dana keluar (capital flight) secara mendadak.
Potret Investasi, Income, dan Infrastruktur
Gambaran investasi dan pendapatan (income) domestik diberikan pada Peraga-7.
Posisi pinjaman perbankan secara tahunan pada Juni 2016 bertumbuh hanya "single digit" sebesar 8,5%; sedangkan simpanan bertumbuh sekitar 5,5%.
Aliran dana eksternal melalui pinjaman diberikan pada Peraga-8.
Berdasarkan Peraga-7 dan Peraga-8 dapat disimpulkan bahwa :
1. Pertumbuhan investasi sektor private sangat rendah
2. Pertumbuhan simpanan 5,5% dan pinjaman 8,5% menunjukkan pertumbuhan pendapatan lamban dan terjadi penumpukan dana (idle fund) perbankan.
3. Kondisi siklis timbul dengan akibat rendahnya ekspansi kredit akibatnya resiko masih tinggi sementara kondisi "idle fund" yang meningkatkan beban perbankan membuat penurunan suku bunga tertahan; serta semakin menurunkan minat sektor usaha untuk mengambil kredit.
Rendahnya minat investasi saat sekarang akan mengurangi pertumbuhan lapangan kerja yang selanjutnya menekan permintaan dan mengancam pertumbuhan masa mendatang. Tepat sekali upaya yang dilakukan pemerintah dengan fokus serta konsisten meningkatkan belanja melalui pembangunan infrastruktur domestik. Manfaatnya akan secara langsung meningkatkan serapan tenaga kerja dan bertambahnya jumlah peredaran dana yang secara langsung akan meningkatkan permintaan serta mendorong pertumbuhan.Â
Dengan porsi belanja APBN yang kurang dari 15% dari PDB (Produk Domestik Bruto), memang bangkitan permintaan tidak besar tetapi akan "menstimulasi dan menggoda" sektor non-pemerintah untuk ikut berinvestasi pada sektor yang mendukung pembangunan infrastruktur atau mengantisipasi ketersediaan sarana infrastruktur.Â
Peningkatan belanja yang belum besar dan hanya mengandalkan APBN serta rendahnya peningkatan pendapatan akan berdampak tekanan pada penerimaan pajak dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Kondisi ini akan membuat defisit anggaran bertambah sehingga harus ditutup dengan utang. Tetapi situasi ini jauh lebih baik daripada mengetatkan belanja yang akan membuat permintaan menurun dan perekonomian menyusut. Belajar dari kondisi pasca Krismon 1998, upaya memulihkan penyusutan perekonomian membutuhkan biaya besar dan waktu lama.
Arnold Mamesah - 20 Agustus 2016
Masyarakat Infrastruktur Indonesia - Laskar Initiatives
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H