Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Senjakala Migas

22 Agustus 2016   02:38 Diperbarui: 22 Agustus 2016   11:47 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : http://www.bloomberg.com/graphics/2015-whats-warming-the-world/

Senjakala Era Bahan Bakar Fosil

"The Stone Age did not end for lack of stone, and the Oil Age will end long before the world runs out of oil". 

Ungkapan yang bersifat prediksi ini muncul pada awal Milenium XXI dari dari mantan Menteri Perminyakan dan Sumber Daya Mineral Kerajaan Arab Saudi, Sheik Ahmad Zaki Yamani (SAZY) Tidak lebih dari 15 (lima belas tahun), negara-negara penghasil minyak dan anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) mengalami masa suram seperti yang terjadi di Venezuela, Nigeria, Irak, Iran, Libya, dan bahkan Kerajaan Arab Saudi yang konon harus mengalami defisit anggaran sehingga perlu berutang. Seakan terinspirasi dari prediksi SAZY, Arab Saudi pada penghujung April 2016 meluncurkan program transformasi "Saudi Vision 2030" saat senja era minyak.

Benarkah bahan bakar berbasis fosil (Fossil Energy) berada pada senjakala dan digantikan EBT (Energi Baru dan Terbarukan) ? Jika merujuk pada prediksi SAZY, pergeseran dari energi fosil bukan karena susutnya persediaan; tetapi dorongan diversifikasi untuk menggantikan dan membebaskan diri dari ketergantungan. Pengalaman saat terjadi Embargo Minyak 1973 yang berbaur dengan situasi politik dan kenaikan tinggi harga minyak mendorong inovasi dan teknologi baru termasuk kehadiran "shale oil".

Konsumsi BBM dan Defisit

Bagaimana membangun kedaulatan energi (soverignty) Indonesia serta benarkah krisis energi bakal menerpa pada 2020 ? Dalam artikel : "Krisis Energi Mengancam, Ini Langkah Antisipasinya" (Kompas, 25 September 2014), diberikan gambaran bahwa Indonesia akan menjadi "Nett Importer" energi fosil pada 2020. Pada satu bagian artikel dikutip pernyataan : "Di manapun, tak hanya di Indonesia saja, pertumbuhan produksi minyak tidak akan pernah bisa mengejar pertumbuhan konsumsi, begitu cadangan menurun. Oleh karena itu yang harus dilakukan Indonesia ada dua hal, yakni mendorong ekspansi cadangan minyak di luar negeri, atau memanfaatkan energi baru terbarukan."

Pernyataan tersebut selaras dengan fakta Peraga-1 yang memberikan gambaran sisi permintaan dan persediaan BBM (Bahan Bakar Minyak).

Sumber : http://www.migasreview.com/upload/d/c%7Bca%7DKondisiPasokandanPermintaanBBMdiIndonesiadanUpayaPertaminaDalamPemenuhanKebutuhanBBMNasional%7Bca%7D2015-02-04%7Bca%7D05-53-57%7Bca%7D1421138112.pdf
Sumber : http://www.migasreview.com/upload/d/c%7Bca%7DKondisiPasokandanPermintaanBBMdiIndonesiadanUpayaPertaminaDalamPemenuhanKebutuhanBBMNasional%7Bca%7D2015-02-04%7Bca%7D05-53-57%7Bca%7D1421138112.pdf
Berdasarkan Peraga-1, selisih konsumsi BBM dan produksi minyak nasional pada 2014 pada kisaran 750-800 ribu barel. Merujuk pada target lifting minyak APBNP 2016 besarnya 830.000 barel per hari (BOPD=Barrel Oil Per Day); sedangkan untuk APBN 2017 dipasang target 760 Ribu BOPD. Dengan demikian prakiraan penurunan produksi antara 9-10% per tahun. Sebaliknya jika pertumbuhan ekonomi diasumsikan pada rerata 5-6% sama dengan peningkatan konsumsi BBM, selisih konsumsi dan produksi (GAP) berada pada 15 -16%. Dengan demikian, pada 2020 akan terjadi defisit sekitar 1,5 juta barel. Dengan rerata harga minyak pada USD 50 per barel, perlu anggaran pada kisaran USD 50 * 360 * 1.500.000 atau USD 27 Miliar. Sebagai perbandingan, surplus neraca perdagangan 2015 sekitar USD 7,5 Miliar; sehingga beban defisit pada 2020 diprakirakan USD 20 Miliar dengan catatan tanpa perubahan pada neraca perdagangan. Apakah "dompet negara" mampu (solvency) menanggulangi kondisi tersebut.

Bagaimana kondisi pasokan energi fosil non batubara (migas) nasional ? Pada Peraga-2 diberikan gambaran berdasarkan posisi 2015.

Source : The 39th IPA Convention (koleksi pribadi)
Source : The 39th IPA Convention (koleksi pribadi)
Dari Peraga-2 dapat dilihat bahwa tingkat konsumsi (demand) bertambah; produksi yang sekarang ada berkurang dan tambahan produksi minimum. Gap atau defisit migas semakin lama melebar ibarat mulut buaya yang memangsa kelangsungan (sustainability) energi dan perekonomian Indonesia.

Tantangan Energi dan Minerba

Berbicara tentang Migas, Mineral dan Batubara sebagai Sumber Daya Alam (Natural Resource), perlu ingat Paradox of Plenty atau Resource Curse. Limpahan minyak dan turunnya harga sangat berdampak pada perekonomian global (Lihat artikel Oil Glut : Kutukan atau Salah Urus?). 

Sementara dalam 20 hari menjabat sebagai Menteri ESDM, Arcandra Tahar (AT) konon telah melakukan gerakan cepat dalam upaya pemangkasan biaya (cost cutting) beberapa proyek migas. Perlu memahami tindakan pemangkasan ini secara jernih dan utuh pada tatanan QCD (Quality, Cost, Delivery Time) serta manfaat yang kelak diperoleh. Pemahamannya sederhana bahwa Quality dan Cost berjalan seiring; dan keinginan High Quality Project akan berimplikasi pada biaya. Secara fair sulit berharap "High Quality" dengan "Low Cost" apalagi jika pelaksanaan pekerjaan (Delivery Time) mempunyai tenggat waktu tertentu. Formulasi QCD ini sederhana, tetapi sering yang ditonjolkan pada proyek adalah bahwa biaya harus rendah. Tindakan pemangkasan biaya selalu nyaman didengar dan dilakukan ex ante (sebelum proyek dimulai). Sebaliknya pembengkakan biaya (cost overrun) terjadi ex post (setelah diserahkan) yang dapat berakibat proyek molor. Dampaknya pada penundaan menikmati manfaat dan jika kelak dihitung ulang, jumlah biaya yang dipangkas lebih kecil daripada kerugian akibat terlambat menikmati manfaat. Pemahaman ini bukan hal baru tetapi sering diabaikan dalam pengambilan keputusan apalagi ada pengaruh politik dan kekuasaan yang cenderung bias dengan keputusan populis bertajuk pro-rakyat dan penghematan. 

Pasca pengakhiran jabatan dengan hormat atas AT sebagai Menteri ESDM, beredar melalui media sosial berbagai testimoni, pro kontra bahkan karangan prosa bebas. Logika dan rasionalisasi yang disampaikan kental dengan bias negatif atau upaya menarik simpati dan membangun opini (bandwagon effect) pada sosok atau individu; namun tanpa melihat tantangan serta permasalahan energi secara utuh. Migas merupakan komponen bauran energi; sementara BBM sangat diperlukan dalam transportasi yang mendominasi konsumsi BBM hingga 90% dari persediaan. Penanganan "gap migas" yang mengancam, butuh pemahaman tidak semata soal kedaulatan dan ketergantungan (soverignty), juga keberlanjutan (sustainability) dan penyelesaian masalah (solvency). AT berikut segala "credentials" serta Kapasitas, Kompetensi dan Kualifikasi (yang konon memiliki patent namun belum proven), sepertinya belum dapat dikategorikan layak dan mumpuni apalagi dengan pola pikir yang kental "fossil energy".

Bagaimanakah selayaknya pengelolaan sektor energi Indonesia ? Tulisan dalam buku ini memberikan panduan.

Nasionalisme Migas - Gde Pradnyana - Koleksi Arnold M.
Nasionalisme Migas - Gde Pradnyana - Koleksi Arnold M.
Kutipan dari buku Nasionalisme Migas (Hal. 3-4) : "Seiring makin langkanya ketersediaan sumber energi fosil (minyak bumi, gas alam, dan batubara) yang bersifat tak terbarukan maka perekonomian dunia mulai bergeser ke arah perekonomian energi. Peran energi sebagai komoditas yang diperdagangkan menjadi makin penting. Kecenderungan ini semakin diperkuat dengan belum tersedianya sumber nergi terbarukan (surya, angin, panas bumi, nuklir) dengan biaya produksi yang terjangkau. Agar tercipta pemanfaatan kekayaan alam secara berkelanjutan maka penyelenggaraan kegiatan usaha energi dan mineral ini tidak hanya untuk menyumbang kepada penerimaan negara tetapi juga harus dapat memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional; sehingga sejauh mungkin harus menghindari melakukan ekspor dalam bentuk bahan mentah. Hal ini tentunya diharapkan dapat membuat Indonesia mengurangi ketergantungannya pada kepada negara lain sekaligus meningkatkan daya saing Indonesia di percaturan dunia." 

Lantas teringat kembali rangkaian mutiara kata : "Aku tinggalkan kekayaan alam Indonesia, biar semua negara besar dunia iri dengan Indonesia, dan aku tinggalkan hingga bangsa Indonesia sendiri yang mengolahnya." (Sukarno - Presiden Pertama Republik Indonesia).

Arnold Mamesah - 22 Agustus 2016

Masyarakat Infrastruktur Indonesia - Laskar Initiatives

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun