Berbicara tentang Migas, Mineral dan Batubara sebagai Sumber Daya Alam (Natural Resource), perlu ingat Paradox of Plenty atau Resource Curse. Limpahan minyak dan turunnya harga sangat berdampak pada perekonomian global (Lihat artikel Oil Glut : Kutukan atau Salah Urus?).Â
Sementara dalam 20 hari menjabat sebagai Menteri ESDM, Arcandra Tahar (AT) konon telah melakukan gerakan cepat dalam upaya pemangkasan biaya (cost cutting) beberapa proyek migas. Perlu memahami tindakan pemangkasan ini secara jernih dan utuh pada tatanan QCD (Quality, Cost, Delivery Time) serta manfaat yang kelak diperoleh. Pemahamannya sederhana bahwa Quality dan Cost berjalan seiring; dan keinginan High Quality Project akan berimplikasi pada biaya. Secara fair sulit berharap "High Quality" dengan "Low Cost" apalagi jika pelaksanaan pekerjaan (Delivery Time) mempunyai tenggat waktu tertentu. Formulasi QCD ini sederhana, tetapi sering yang ditonjolkan pada proyek adalah bahwa biaya harus rendah. Tindakan pemangkasan biaya selalu nyaman didengar dan dilakukan ex ante (sebelum proyek dimulai). Sebaliknya pembengkakan biaya (cost overrun) terjadi ex post (setelah diserahkan) yang dapat berakibat proyek molor. Dampaknya pada penundaan menikmati manfaat dan jika kelak dihitung ulang, jumlah biaya yang dipangkas lebih kecil daripada kerugian akibat terlambat menikmati manfaat. Pemahaman ini bukan hal baru tetapi sering diabaikan dalam pengambilan keputusan apalagi ada pengaruh politik dan kekuasaan yang cenderung bias dengan keputusan populis bertajuk pro-rakyat dan penghematan.Â
Pasca pengakhiran jabatan dengan hormat atas AT sebagai Menteri ESDM, beredar melalui media sosial berbagai testimoni, pro kontra bahkan karangan prosa bebas. Logika dan rasionalisasi yang disampaikan kental dengan bias negatif atau upaya menarik simpati dan membangun opini (bandwagon effect) pada sosok atau individu; namun tanpa melihat tantangan serta permasalahan energi secara utuh. Migas merupakan komponen bauran energi; sementara BBM sangat diperlukan dalam transportasi yang mendominasi konsumsi BBM hingga 90% dari persediaan. Penanganan "gap migas" yang mengancam, butuh pemahaman tidak semata soal kedaulatan dan ketergantungan (soverignty), juga keberlanjutan (sustainability) dan penyelesaian masalah (solvency). AT berikut segala "credentials" serta Kapasitas, Kompetensi dan Kualifikasi (yang konon memiliki patent namun belum proven), sepertinya belum dapat dikategorikan layak dan mumpuni apalagi dengan pola pikir yang kental "fossil energy".
Bagaimanakah selayaknya pengelolaan sektor energi Indonesia ? Tulisan dalam buku ini memberikan panduan.
Lantas teringat kembali rangkaian mutiara kata : "Aku tinggalkan kekayaan alam Indonesia, biar semua negara besar dunia iri dengan Indonesia, dan aku tinggalkan hingga bangsa Indonesia sendiri yang mengolahnya." (Sukarno - Presiden Pertama Republik Indonesia).
Arnold Mamesah - 22 Agustus 2016
Masyarakat Infrastruktur Indonesia - Laskar Initiatives
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H