Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tidak Dapat Melakukan Sendiri - Tax Perlu !

12 Juli 2016   19:36 Diperbarui: 13 Juli 2016   17:30 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="https://goo.gl/images/X3IBP7"]

Artikel ini naratif tanpa grafik atau chart.

Kemitraan Yang Utama

Dalam edisi Juni 2016, majalah Forbes menampilkan artikel dengan judul : "The World's 100 Most Powerful Women". Kanselir Jerman Anita Merkel pada peringkat pertama; dua dari peringkat Top-10 merupakan nama yang sangat dikenal dalam "Global Monetary and Finance" yaitu Janet Yellen (peringkat-3, Chairwoman The Fed USA) dan Christine Lagarde (peringkat-6, Chairwoman International Monetary Fund). Dalam artikel : Apa Kata Dunia kalau Cekcok dan Berkelahi Terus?, tiga nama tersebut sudah dijabarkan kiprahnya di tingkat global. Dari daftar, hanya 3(tiga) nama berasal dari negara anggota Asean; dua dari Singapore (peringkat-30 dan peringkat-100) serta pada peringkat-37 ada nama yang sudah sangat dikenal yaitu Sri Mulyani Indrawati (SMI) yang saat ini menjabat Managing Director and Chief Operating Officer, The World Bank Group (sebelumnya sebagai Menteri Keuangan RI). 

Menarik untuk memperhatikan kiprah SMI pada tingkat global; yang hangat adalah kaitannya dengan Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), juga transparansi informasi (Automatic Exchange of Information ) yang akan di-"enforce" dalam lingkungan OECD mulai 2018. SMI berkontribusi dalam bentuk pemikiran dan berperan walaupun tidak ditonjolkan. Dalam pertemuan tingkat global, Bretton Woods Committee, Washington, DC, United States, 27 Juni 2016, SMI menyampaikan sambutan dan dalam satu paragraf disebutkan : "In everything we do, we partner. We cannot do it alone"; bagian ini menjadi judul artikel.

Trend Baru Globalisasi

Fenomena "Leave EU" dalam opera Brexit, ibarat gugatan terhadap globalisasi perdagangan dunia. Demam Brexit masih terus melanda pasar saham dan pasar uang mengindikasikan kepanikan para "investor" (lebih tepat disebut spekulan) yang salah menduga hasil jajak pendapat Brexit. Kerjasama Ekonomi dan Perdangangan (Economic & Trade Partnership) ala European Union dianggap mengurangi bahkan menghilangkan kedaulatan dan kewenangan negara dalam menentukan strategi serta kebijakan. Sementara untuk lingkungan Asean, sejak 2016, Masyarakat Ekonomi Asean (Asean Economic Community) mulai bergulir. 

Dalam kunjungannya ke USA pada Oktober 2015, Presiden Jokowi mengungkapkan minat kuat (strong intention) Indonesia untuk bergabung dengan TPP atau Trans-Pacific Partnership; sementara saat bertandang ke Eropa pada April 2016, Presiden Jokowi mengupayakan percepatan implementasi Indonesia - European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Rangkaian langkah memperkuat kemitraan merupakan bagian dari "partnering strategy" yang dimulai dengan kehadiran dalam pertemuan APEC di Beijing pada 8-10 November 2014. Demi peningkatan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang tidak hanya mengandalkan kemampuan sendiri tetapi membuka peluang untuk investasi dan mengembangkan perdagangan global dengan peningkatan kemampuan produksi serta perluasan pasar.

Dalam "new wave" globalisasi, kerjasama ekonomi regional tidak hanya berbasis pada kedekatan wilayah (spatial proximity) tetapi juga pada sinergi kepentingan yang saling melengkapi (complementary). Era perdagangan internasional tidak lagi berbasis pada Model Adam Smith yang mengutamakan "Absolute Advantage" atau Model Ricardian yang berbasis pada "Comparative Advantage" yang mengembangkan produksi berbasis kekayaan sumber daya alam atau "raw material" yang dimiliki.  Sinergi dalam rangkaian "Supply Chain" produksi menjadi pertimbangan dalam mengembangkan produksi dengan memperhatikan Core-Periphery Model (yang diinisiasi Paul R. Krugman), diperkaya dengan pemahaman akan "Industrial Cluster" ala Michael Porter. (Lihat artikel : Ragu Atas TPP Bikin Tertinggal di Landasan). Dengan pola pemikiran demikian, bergabung pada salah satu "kerjasama ekonomi regional" menjadi keharusan dan pilihan terbaik adalah TPP.

Infrastruktur dan Finansial Global

Krisis Finansial 2008 sangat memukul perekonomian dan finansial global terutama pada negara maju. Pasca krisis memunculkan "norma baru" (New Norm) yaitu Zero Lower Bond atau (Very) Low Interest Rate; bahkan pada beberapa negara (Jepang, Swedia, Denmark) suku bunga negatif diberlakukan Bank Sentral negara demi mendorong kredit yang akan meningkatkan konsumsi. Kondisi tingkat inflasi rendah (atau bahkan deflasi) menjadi ancaman serius pertumbuhan usaha. Dalam trend kebijakan suku bunga (sangat) rendah dengan variasi Kebijakan Uang Mudah dan Murah, masih belum berhasil mengangkat konsumsi dan pertumbuhan dunia usaha. Sehingga pilihan lain atau alternatifnya investasi perlu diarahkan pada sektor yang berwawasan jangka panjang yaitu Infrastruktur (Lihat artikel : Cheap Money Talks - Paul Krugman). 

Tema infrastruktur telah menjadi tajuk dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tetapi pada sisi lain, tema infrastruktur berdampak peningkatan defisit anggaran yang perlu ditutup dengan utang. Kondisi ini selalu mendapatkan tentangan publik (termasuk tentangan politik) akibat kurang memiliki pemahaman utuh akan kondisi global serta perlunya investasi demi peningkatan pertumbuhan masa mendatang.

Sistem Keuangan dan Pajak

Uang Kotor (Dirty Money) dapat dipahami sebagai uang yang dihasilkan melalui "Dirty Business" (bisnis kotor) atau transaksi ilegal yang "tidak tercatat secara sengaja" atau "pengelabuan dengan berbagai cara" termasuk "tax evasion" dan kegiatan seperti penyelundupan, perdagangan narkoba atau yang sejenisnya, "human trafficking", serta kegiatan yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan terorisme. Untuk melegalisasi atau melegitimasi uang tersebut, dilakukan melalui "money laundering"; sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. 

Hampir serupa dengan uang yang dihasilkan "Fraudulent" atau pelaku melalui tindakan dan transaksi yang digolongkan sebagai "Fraud" (sering terjadi pada sektor keuangan termasuk perbankan, credit atau debit card, transaksi digital on-line, pemalsuan dokumen, serta uang palsu). Upaya dan tindakan meminimalkan "Dirty Money" dilakukan dengan meniadakan penggunaan "uang kertas" (bill note)  dengan denominasi besar (misalnya Euro 500, USD 100) serta penggunaan "uang digital" atau "digital currency". Dalam perluasan "digital currency", sedang belangsung pengembangan arsitektur sistem keuangan global yang disebut "Blockchain".

"Bisnis kotor" merupakan sebagian dari "Underground Economy" yang tidak tersentuh PAJAK karena memang transaksinya tidak tercatat. Pada sisi lain, bisnis kotor, upaya pengelabuan pajak, serta "tindakan fraud" alias penggelapan yang terjadi akan mengurangi penerimaan pajak akibat tidak terkutip dan transaksi tidak tercatat; atau terjadinya "restitusi pajak" yang tidak semestinya. Upaya peningkatan pajak perlu dilakukan secara komprehensif menyeluruh berdasarkan tahapan pelaksanaan yang konsisten melalui perluasan pencatatan transaksi (khususnya transaksi penjualan dan yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN); dari pelaku yang belum terdaftar (misalnya usaha non formal atau home industry, electronic commerce atau bisnis melalui media digital). "Enforcement" melalui pemilikan identitas pajak (dikenal sebagai NPWP : Nomor Pokok Wajib Pajak). 

Sementara, investigasi dan tindakan hukum harus diberlakukan pada tindakan "fraud" serta "dirty business". Dengan transaksi tercatat secara tertib dan konsisten akan berdampak pada penerimaan pajak, minimalisasi restitusi pajak, dan peningkatan PDB atau Produk Domestik Bruto. Sebagai gambaran, skala "underground economy" diprakirakan pada rentang 30%-40%, merujuk hasil penelitian dua ahli ekonomi UI, M. Chatib Basri dan Faisal Basri. Sebagai gambaran, jika 50% dari underground economy berhasil dicatat dalam masa 5(lima) tahun, berarti akan ada peningkatan PDB sebesar 15 % (catatan : 50% dari 30% skala Underground Economy), atau secara rerata setiap tahun akan ada pertambahan pada kisaran 3%.

Artikel ini berupaya memberikan gugahan untuk tidak terlalu melihat masa lalu yang beresiko jadi "Tiang Garam"(Pillar of Salt); tetapi memandang masa depan (foresight) agar tidak tertinggal tetapi mencapai keunggulan dan berkontribusi. Kondisi global sudah berwawasan "Partnering", tetapi banyak yang terbelenggu romantisme "self-sufficiency", atau bersikap anti akumulasi modal yang berkonotasi dengan mahzab kapitalisme; bahkan tercekam stigma kehancuran peradaban bangsa. Belum lagi obsesi dan impian penggunaan "Dirham dan Dinar" dalam transaksi serta menyimpan  "Batangan Emas" sebagai cadangan.

Seorang pengarang era Pujangga Baru menulis novel : "Robohnya Surau Kami"; dalamnya terjadi dialog antara tokoh (rekaan) H. Saleh dengan Tuhan yang kutipannya seperti berikut ini. 

" ... kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain yang mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak.

Sang pujangga, A.A. Navis, telah tiada tetapi pesannya tetap menggugah dan menggugat kita !

 

Arnold Mamesah - 12 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun