Tema infrastruktur telah menjadi tajuk dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tetapi pada sisi lain, tema infrastruktur berdampak peningkatan defisit anggaran yang perlu ditutup dengan utang. Kondisi ini selalu mendapatkan tentangan publik (termasuk tentangan politik) akibat kurang memiliki pemahaman utuh akan kondisi global serta perlunya investasi demi peningkatan pertumbuhan masa mendatang.
Sistem Keuangan dan Pajak
Uang Kotor (Dirty Money) dapat dipahami sebagai uang yang dihasilkan melalui "Dirty Business" (bisnis kotor) atau transaksi ilegal yang "tidak tercatat secara sengaja" atau "pengelabuan dengan berbagai cara" termasuk "tax evasion" dan kegiatan seperti penyelundupan, perdagangan narkoba atau yang sejenisnya, "human trafficking", serta kegiatan yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan terorisme. Untuk melegalisasi atau melegitimasi uang tersebut, dilakukan melalui "money laundering"; sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.
Hampir serupa dengan uang yang dihasilkan "Fraudulent" atau pelaku melalui tindakan dan transaksi yang digolongkan sebagai "Fraud" (sering terjadi pada sektor keuangan termasuk perbankan, credit atau debit card, transaksi digital on-line, pemalsuan dokumen, serta uang palsu). Upaya dan tindakan meminimalkan "Dirty Money" dilakukan dengan meniadakan penggunaan "uang kertas" (bill note) dengan denominasi besar (misalnya Euro 500, USD 100) serta penggunaan "uang digital" atau "digital currency". Dalam perluasan "digital currency", sedang belangsung pengembangan arsitektur sistem keuangan global yang disebut "Blockchain".
"Bisnis kotor" merupakan sebagian dari "Underground Economy" yang tidak tersentuh PAJAK karena memang transaksinya tidak tercatat. Pada sisi lain, bisnis kotor, upaya pengelabuan pajak, serta "tindakan fraud" alias penggelapan yang terjadi akan mengurangi penerimaan pajak akibat tidak terkutip dan transaksi tidak tercatat; atau terjadinya "restitusi pajak" yang tidak semestinya. Upaya peningkatan pajak perlu dilakukan secara komprehensif menyeluruh berdasarkan tahapan pelaksanaan yang konsisten melalui perluasan pencatatan transaksi (khususnya transaksi penjualan dan yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN); dari pelaku yang belum terdaftar (misalnya usaha non formal atau home industry, electronic commerce atau bisnis melalui media digital). "Enforcement" melalui pemilikan identitas pajak (dikenal sebagai NPWP : Nomor Pokok Wajib Pajak).
Sementara, investigasi dan tindakan hukum harus diberlakukan pada tindakan "fraud" serta "dirty business". Dengan transaksi tercatat secara tertib dan konsisten akan berdampak pada penerimaan pajak, minimalisasi restitusi pajak, dan peningkatan PDB atau Produk Domestik Bruto. Sebagai gambaran, skala "underground economy" diprakirakan pada rentang 30%-40%, merujuk hasil penelitian dua ahli ekonomi UI, M. Chatib Basri dan Faisal Basri. Sebagai gambaran, jika 50% dari underground economy berhasil dicatat dalam masa 5(lima) tahun, berarti akan ada peningkatan PDB sebesar 15 % (catatan : 50% dari 30% skala Underground Economy), atau secara rerata setiap tahun akan ada pertambahan pada kisaran 3%.
Artikel ini berupaya memberikan gugahan untuk tidak terlalu melihat masa lalu yang beresiko jadi "Tiang Garam"(Pillar of Salt); tetapi memandang masa depan (foresight) agar tidak tertinggal tetapi mencapai keunggulan dan berkontribusi. Kondisi global sudah berwawasan "Partnering", tetapi banyak yang terbelenggu romantisme "self-sufficiency", atau bersikap anti akumulasi modal yang berkonotasi dengan mahzab kapitalisme; bahkan tercekam stigma kehancuran peradaban bangsa. Belum lagi obsesi dan impian penggunaan "Dirham dan Dinar" dalam transaksi serta menyimpan "Batangan Emas" sebagai cadangan.
Seorang pengarang era Pujangga Baru menulis novel : "Robohnya Surau Kami"; dalamnya terjadi dialog antara tokoh (rekaan) H. Saleh dengan Tuhan yang kutipannya seperti berikut ini.
" ... kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain yang mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak.”
Sang pujangga, A.A. Navis, telah tiada tetapi pesannya tetap menggugah dan menggugat kita !