Jika sebelumnya terbiasa dengan depresiasi yang melekat pada mata uang Rupiah (IDR), saat membaca "Apresiasi Rupiah" yang merupakan lawannya, akan menimbulkan sedikit rasa aneh. Apresiasi rupiah bermakna penguatan kurs (nilai tukar) nominal terhadap mata uang asing (valas), umumnya dengan mata uang utama (major currency) seperti Dolar Amerika (USD), Euro, Yen (Jepang).
Selain kurs nominal yang umumnya berfluktuasi berdasarkan "permintaan dan persediaan" (demand - supply); juga ada Indeks Kurs Efektif (Real Effective Exchange Rate); dengan penentuan indeks yang memperhatikan tingkat inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index) serta neraca perdagangan (Trade Balance) yang melibatkan mata uang utama, Indeks kurs efektif lebih mencerminkan kondisi negara terhadap perekonomian global yang mencakup pasar barang dan jasa, pasar finansial beserta aliran dana.
Gambaran kurs nominal dan indeks efektif IDR untuk masa Mei 2015 hingga Mei 2016 diberikan pada Peraga-1.
Dalam masa tersebut, kurs tukar IDR terhadap USD menunjukkan tren menurun (garis putus biru) atau IDR berapresiasi terhadap USD. Sementara garis putus merah menunjukkan tren naik (apresiasi) indeks IDR; ini selaras dengan tren inflasi yang turun dan surplus neraca perdagangan Indonesia.
Untuk masa yang sama, pergerakan indeks beberapa mata uang diberikan pada Peraga-2.
Dari tabel dapat dilihat kinerja mata uang dari beberapa negara dan selain USD, yang masih mengalami fenomena "USD Strong", IDR dan INR (India) mengalami apresiasi (kenaikan indeks); sedangkan mata uang Real (Brazi), Renminbi (China), Ringgit (Malaysia), Rubel (Rusia), Baht (Thailand), dan Lira (Turki) sebaliknya. Menarik untuk diperhatikan bahwa apresiasi indeks IDR terjadi dalam tren suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) turun.Â
Penurunan suku bunga acuan memberikan indikasi kebijakan moneter yang longgar ("easy money policy") dan implikasinya akan memicu inflasi serta kenaikan nilai depresiasi). Tetapi dengan tren indeks naik menggambarkan inflasi dalam negeri yang sudah lebih terkendali juga kurs; sehingga mengindikasikan kondisi moneter yang lebih stabil. Indikasi ini tidak berarti bebas dari riak atau gejolak kecil inflasi dan kurs. Khususnya saat hari raya dan akhir triwulan serta masa liburan dengan permintaan valas yang meningkat baik untuk keperluan pribadi seperti perjalanan liburan ke luar negeri dan terutama peningkatan kebutuhan sektor publik (pemerintah) dan private untuk memenuhi kewajiban pinjaman dalam valas.Â
Arnold Mamesah - Masyarakat Infrastruktur Indonesia dan Laskar InitiativesÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H