Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kecoak Global dan Virus Ekonomi Indonesia

14 Juni 2016   14:16 Diperbarui: 14 Juni 2016   20:56 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena Kecoak

Kenapa kecoak yang dipilih sebagai judul? Kecoak selalu dianggap hewan yang menjijikan, sering muncul di tempat kotor dan jorok seperti tempat sampah yang tidak dijaga kebersihannya, tempat penyimpanan barang bekas, atau kakus (WC). Salah satu ciri kecoak adalah hewan ini akan muncul kembali walaupun telah diusir dan tempat sampah atau kakus dibersihkan.

Mirip dengan kecoak adalah kejadian yang dialami masyarakat Venezuela saat ini. Tidak terbayangkan sebagai negara yang memiliki cadangan terbukti minyak terbesar di dunia, masyarakat Venezuela mengalami kekurangan pangan. Dari diskusi bebas melalui media sosial, seorang rekan berlatar belakang industri migas nasional memberikan wawasan: Venezuela anggaran negaranya sangat tergantung dengan penerimaan dari produk dan penjualan minyak bumi. 

Juga, penguasa terdahulu (Presiden Hugo Chavez), saat harga minyak masih booming, memberlakukan kebijaksanaan subsidi untuk seluruh kebutuhan pokok masyarakat. Kini harga minyak jatuh dan masyarakat tidak mampu lagi membeli kebutuhan pokok yang harganya "melangit", akibat pemerintah Venezuela tidak mampu lagi memberikan subsidi. Inilah bahayanya kalau memberlakukan kebijakan subsidi kebutuhan pokok.

Mungkin sangat tidak sopan jika Janet Yellen (Chairwoman The FED USA) dan FOMC (Federal Open Market Committee) disamakan dengan kecoak. Tetapi setiap signal yang disampaikan Jenet Yellen berkaitan dengan kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (atau Fed Rate) akan menimbulkan gejolak pada pasar finansial dunia. 

Kondisi gejolak atau fluktuasi nilai tukar Rupiah (IDR) terhadap Dolar Amerika setiap akhir triwulan; usai pertemuan FOMC; kembali menghadirkan tudingan terhadap The Fed.

Tidak terbayangkan negeri Tirai Bambu dengan penduduk terbesar di dunia, digambarkan sebagai kumpulan kecoak; tetapi informasi penurunan pertumbuhan ekonomi (GDP : Gross Domestic Product) Tiongkok selalu membuat gejolak. Indikasi kemunculan kecoak di Tiongkok dapat dilihat dari indikator Cadangan Devisa (Foreign Reserve Exchange) seperti diberikan pada Peraga-1.

Sumber Informasi. China Forex Reserve : China SAFE; Real Effective Exchange Rate (REER) : Bank for International Settlement (Indeks Mei 2016 estimasi).
Sumber Informasi. China Forex Reserve : China SAFE; Real Effective Exchange Rate (REER) : Bank for International Settlement (Indeks Mei 2016 estimasi).
 

Dari Peraga-1 dapat dipahami bahwa cadangan devisa Tiongkok turun lebih 16% sejak Januari 2015 hingga akhir Mei 2016, dan indeks nilai tukar (Real Effective Exchange Rate) mata uang China Renminbi tertekan (tren turun).

Bagaimana dampak Tiongkok bagi perekonomian Indonesia sudah diberikan dalam artikel : "Nonsense - Faktor China Pada Pertumbuhan Indonesia" dan "Modal Tinggalkan China Pindah ke Indonesia"; dua artikel tersebut menunjukkan bahwa dampak kecoa China kecil. Bahkan pada sisi modal, aliran keluar dari China sebagian akan mengalir ke Indonesia.

Virus dan Gejala Demam

Bukan berbicara virus yang menyerang komputer; tetapi yang dikenal seperti virus influenza yang menimbulkan gejala demam dan suhu badan jadi tinggi. Dalam hal perekonomian Indonesia, virus yang muncul saat ini antara lain gejolak harga pangan menjelang hari raya, khususnya harga daging sapi; penerimaan negara melalui pajak dengan bumbu Tax Amnesty dan Dana Repatriasi; dan pemotongan anggaran belanja sejalan dengan pembahasan APBN Perubahan 2016 yang sedang dilakukan pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat.

Terlalu banyak pembahasan seputar harga pangan dan daging sapi yang menjadi konsumsi masyarakat khususnya menjelang hari raya dan kelak menjelang akhir tahun. 

Fenomena harga pangan dan daging sapi yang tinggi selalu membuat gaduh dan penanganan masalah terkesan sangat sporadis tapi kemudian pasca hari raya dilupakan. Terhadap masalah pangan, selayaknya menggunakan strategi "buffering stock" (atau manajemen persediaan) agar harga stabil, langgeng dan kebutuhan dapat tersedia setiap saat. 

Sisi lain kebutuhan masyarakat yang "harganya perlu stabil dan tersedia" adalah energi khususnya BBM. Sejalan dengan pertumbuhan perekonomian serta "historical trend", kebutuhan BBM akan selalu naik. 

Diprakirakan pada 2020 kebutuhan BBM berada pada besaran 2,1 jt barrel ekivalen per hari dan saat ini sekitar 1,6 jt barrel. Produksi minyak berdasarkan target lifting APBN-P 2016 pada 810.000 BOPD (Barrel Oil Per Day). Kalkulasi sederhana akan menunjukkan bahwa defisit produksi terhadap kebutuhan (demand) sekitar 50%. 

Investasi di sektor perminyakan "stagnant" atau bahkan turun; berarti trend produksi pada tahun-tahun mendatang akan dapat dipastikan turun. Implikasinya defisit minyak makin besar. Secara kasat mata kemacetan yang terjadi di jalan raya (termasuk jalan tol berbayar) terus mendera berarti konsumsi BBM makin naik sebagai dampak inefisiensi. 

Perubahan perilaku untuk menggunakan transportasi publik masih terkesan lamban. Pesannya: perlu pembenahan dan kebijakan yang sifatnya "panacea" (memulihkan dan menyembuhkan penyakit), bukan sekedar "obat analgesic" penghilang pusing dan rasa sakit.

Tentang penerimaan negara yang tidak sesuai target bukan sesuatu hal yang mengejutkan. Sebagai kelanjutan dari masa resesi (yang diharapkan menuju siklus pemulihan); maka penerimaan negara akan tertekan; hal ini akibat penurunan kinerja dunia usaha khususnya sektor swasta terlebih masih belum sepenuhnya bebas dari tekanan utang dan fenomena Resesi Neraca. Dalam kondisi demikian, intervensi pemerintah merupakan resep mujarab.

Virus yang terkesan jinak tetapi berpotensi menimbulkan dampak "Snowball Effect" atau "Declining Spiral" adalah "pengetatan anggaran" (austerity policy) dengan memotong anggaran belanja. Pengurangan anggaran belanja (dengan berbagai alasan dan pertimbangan) akan berdampak penurunan permintaan yang ditimbulkan oleh penurunan belanja masyarakat akibat daya beli berkurang. Dampak lanjutannya akan menekan dunia usaha dan penurunan penerimaan yang kelak kembali menekan penerimaan pajak. 

Stimulus atau Austerity

Perdebatan dalam kebijakan austerity (pengetatan anggaran) dan kebijakan stimulus (pelonggaran anggaran) tidak akan tuntas karena masing-masing akan mempertahankan pendapat sesuai mahzab perekonomian yang dianut. Jika kemudian perdebatan tidak tuntas, maka contoh dan implikasi kebijakan austerity yang sudah terjadi adalah Venezuela, Yunani (Greece), Mesir (Egypt).

Silakan pilih dan bersiap dengan dampaknya !

Arnold Mamesah - 14 Juni 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun