Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Boros Agar Pulih!

21 April 2016   02:44 Diperbarui: 22 April 2016   01:42 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="www.straitstimes.com"][/caption]Porsi Anggaran, APBN, Pajak

Dari artikel Moneter Mandul dalam Jebakan Likuiditas, terlontarkan sanggahan : "Kalau memang share APBN masih single digit (below 10%) lantas sebaiknya harus berapa prosen agar bisa tumbuh 7-8% ?". Apakah tidak mendapatkan pembelajaran dari pengalaman negara lain misalnya dari yang sedang mengalami "depressed economy" seperti Brazil, South Africa' atau mengadopsi cara Turkey atau India ? 

Membandingkan secara "apple to apple" jejak pertumbuhan ekonomi bukan sekedar bercerita tentang rasa serta selera saat menikmati Kebab Turki, Martabak India, "Pizza Napoletano", bahkan Martabak HAR khas "kota Pempek" Palembang' tetapi layak memperhatikan kondisi setempat. Pertumbuhan ekonomi adalah suatu "endeavour" atau hijrah atau bahkan suatu "long and winding road" menuju peningkatan kemaslahatan dan kesejahteraan. 

Peraga-1 di bawah ini menggambarkan "share" anggaran belanja beberapa negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB=GDP).

[caption caption="Prepared by Arnold M"]

[/caption]

Sumber Informasi : World Bank - World Development Indicator; angka dalam prosen dan merupakan rerata 2010-2014.

Merujuk pada rerata "High Income Countries", share APBN 9,27%, hanya separuh dari "Benchmark Indicator".

Formula perhitungannya sederhana yaitu : Y=C+I+G, dengan Y : national income, C : fungsi consumption masyarakat, I : Investment atau Investasi, G : government expenditure (APBN). Menggunakan "Trend-Analysis (historical)" & "Simulation & Prediction (foreward looking)" selayaknya dapat disusun dan diprakirakan beberapa skenario besaran atau share "G" ideal bagi Indonesia; berdasarkan tahapan pertumbuhan dengan horison waktu panjang dan bukan secara tahunan semata.

Merujuk pada keseimbangan anggaran, peningkatan share G akan berimplikasi pada besaran pajak yang akan dikenakan atas penghasilan dan keuntungan usaha. Dengan memperhatikan kondisi dunia usaha, khususnya korporasi, yang masih terbeban dengan masalah resesi neraca, peningkatan beban pajak dengan segala bentuk upaya, akan menurunkan minat investasi. Selain itu, serapan dana melalui pajak akan mengurangi besaran "dana masyarakat" yang dapat digunakan untuk konsumsi; walaupun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru dalam hal Penghasilan Tahunan yang Tidak Kena Pajak (PTKP).

Stimulus , Defisit, Utang

Dari perbandingan pada Peraga-1 di atas, selanjutnya diberikan beberapa pertumbuhan GDP (PDB), defisit anggaran dan beban utang seperti pada Peraga-2.

[caption caption="Prepared by Arnold M."]

[/caption]

 

Sumber Informasi : IMF Data Mapper (dengan pengolahan). Sebagai tambahan, rerata pertumbuhan Indonesia dalam 3 tahun terakhir berada pada kisaran 5,1%; dengan rerata defisit anggaran 2,2% dan rasio utang terhadap PDB pada 27%.

Dari Peraga-2, India mencapai tingkat pertumbuhan di atas 7% tetapi defisit di atas 7% dan rasio utang 66% yang merupakan rasio tertinggi. Thailand dengan defisit anggaran kecil nyaris berimbang, mengalami pertumbuhan rendah dan rasio utang 43%. Chile dengan rasio utang rendah hanya 15% tetapi pencapaian pertumbuhannya rendah. Dengan demikian, jika tujuannya meningkatkan pertumbuhan, defisit akan bertambah besar dan meningkatkan jumlah utang. Tetapi dalam jangka panjang, pencapaian pertumbuhan tinggi yang berkelanjutan akan menurunkan rasio utang terhadap PDB. (Lihat artikel : Defisit Anggaran dan Utang Ternyata Menyehatkan).

Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 20 April 2016, ditekankan bahwa alokasi anggaran pemerintah mengutamakan : Money Follow Program; maknanya mengutamakan program penting dan bermanfaat. Sementara jika merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang dalamnya mencakup 30 Proyek Infrastruktur Prioritas, dan Inpres 1/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional; pemerintah belum memberikan kepastian sumber anggaran di luar APBN. Salah satu pilihan menggunakan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha sesuai Pepres 38/2015. Dengan rentang waktu yang telah ditentukan dan pentingnya infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, keputusan dan kepastian sumber dana untuk pembangunan proyek tersebut sudah harus ada. Berharap investasi dari luar (asing) beresiko dan menunda manfaat serta pertumbuhan. Pemantapan infrastruktur sebagai faktor pengembangan industri dan produksi unggul adalah tujuan utama yang harus didukung dengan program kegiatan diturunkan dari tujuan strategik sesuai dengan prioritas.

Stimulus ekonomi sudah menjadi pilihan dan implikasinya defisit pada anggaran, serta "loosening tax" yang berdampak turunnya penerimaan pajak. Tetapi dengan belanja pemerintah yang ekspansif akan memicu sektor swasta meningkatkan aktivitas usaha; dalam hal ini pemerintah menjadi stimulant (perangsang) kegiatan. 

Paradox of Thrift (Paradoks Berhemat) mengingatkan bahwa dalam situasi trend pertumbuhan turun, apabila masyarakat dan dunia usaha berhemat dengan menabung (saving) akan berdampak penurunan permintaan secara (aggregate demand) yang berimplikasi penurunan pendapatan dan selanjutnya akan menurunkan jumlah tabungan. Dalam kondisi ini, resep dari ekonomis John Maynard Keynes mengatakan bahwa pemerintah perlu berutang demi meningkatkan permintaan dengan cara menyuntikkan dana kedalam perekonomian. Jumlah dana tidak sekedarnya, tetapi bahkan secara berlebih; bukan belanja konsumsi tetapi lebih utama investasi pada proyek pembangunan. Berlebihan dalam belanja sering disebut boros; dan memang dalam kondisi tekanan pertumbuhan perlu BOROS agar PULIH !

 

Arnold Mamesah - Laskar Initiatives

21 April 2016

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun