Dari Tabel-3, posisi Strong USD masa 2014-2015 mendorong peningkatan suplus perdagangan terhadap pasar US dan European Union tetapi sebaliknya peningkatan defisit terhadap China. Pada Triwulan-3 dan Triwulan-4 2015, trend pertumbuhan ekonomi naik; kondisi ini menunjukkan perekonomian Indonesia tidak bergantung pada ekspor ke China (Lihat artikel : Nonsense - Faktor China Pada Pertumbuhan Indonesia).
Apakah apresiasi Rupiah tidak diperlukan ? Dalam menghadapi masalah korporasi yang mengalami "Balance Sheet Recession", apresiasi mengurangi beban kewajiban dalam neraca korporasi (Lihat : Bencana Utang dan Intervensi). Sering muncul "sesat paham" terhadap utang; saat kondisi perekonomian tertekan membayar utang lebih diutamakan bukan investasi yang kelak memberikan peningkatan usaha dan pertumbuhan. (Lihat : Utang Bukan Beban Tetapi Investasi Harus!)
Kenapa terjadi apresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD ? Selain "capital outflow" dari China juga limpahan dana (Glut of Fund) akibat kebijakan Assets Purhase Program (Quantitative Easing) European Central Bank (ECB) dan bakal tertundanya normalisasi QE The Fed (Lihat artikel : Limpahan Dana - Glut of Fund). Tetapi patut selalu diingat dana yang mengalir adalah "Hot Money" yang berperilaku "Easy Come and Easy Go" serta sarat unsur spekulasi.
Jika berwawasan pertumbuhan masa depan, Investasi adalah faktor utama dan Strong Rupiah bukan pilihan.
Bukan soal Strong Rupiah itu tepat atau blunder tetapi seperti hasil pooling : It Depends !
Â
Arnold Mamesah - Laskar Initiatives
9 Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H