[caption caption="http://inthesetimes.com/article/16430/money_money_everywhere"][/caption]
Banjir Dana
Pasca krisis finansial 2008, melalui program Quantitative Easing (QE), The Fed US menyuntikkan dana sebesar USD 3,5 Triliun untuk memulihkan perekonomian. Normalisasi The Fed terhadap program QE tersebut jauh dari tuntas. Kebijakan menaikkan suku bunga The Fed (Fed Fund Rate) setelah dilakukan pada 16 Desember 2015, diprakirakan belum akan berlanjut akibat kondisi perekonomian global yang masih tertekan; inflasi US masih tetap rendah, juga pertumbuhan ekonominya.
Bank Sentral Eropa (ECB : European Central Bank), sejak awal 2015 menerbitkan kebijakan serupa, Assets Purchase Program (APP); hingga Februari 2016 telah menyuntikkan dana sebesar Euro 774 Miliar. Dengan kebijakan APP tersebut ditambah disinsentif suku bunga simpanan (sangat rendah atau bahkan negatif), diharapkan menaikkan likuiditas yang kemudian meningkatkan demand dan konsumsi serta berdampak inflasi.
Berbeda dengan kondisi China. Setelah mencapai cadangan devisa tertinggi hampir USD 4 Triliun (USD 3.993 Miliar) pada Juni 2014, di akhir Februari 2016 tercatat USD 3.202 Miliar; berkurang USD 791 Miliar atau 19,8%. (Lihat Grafik-1).
Grafik-1 : China Foreign Exchange Reserve
[caption caption="Prepared by Arnold M"]
Sumber Informasi : China SAFE (State Administration of Foreign Exchange)
Cadangan devisa China turun dalam kondisi neraca perdagangan surplus. Turunnya pertumbuhan perekonomian China diduga sebagai penyebab, berdampak pada penurunan imbalan investasi, yang mengakibatkan penarikan dana.Â
Sebagai gambaran, GDP (Gross Domestic Product) Europe Union, US, dan China mewakili 60% GDP Global. (Lihat Chart-2).
Chart-2 : Global Gross Domestic Product