Dalam kondisi gejolak dan tekanan pertumbuhan global, fokus pada pasar domestik dengan mendorong konsumsi dan pembangunan infrastruktur yang menciptakan lapangan kerja merupakan pilihan cerdas bagi perekonomian Indonesia untuk tetap bertumbuh (Lihat artikel : Defisit Anggaran dan Utang Ternyata Menyehatkan). Sejalan dengan penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN : Perpres 3/2016) dengan semangat percepatan pelaksanaan pembangunan, telah tercantum 225 proyek serta proyek ketenagalistrikan nasional yang mendapatkan prioritas dan membutuhkan perhatian serta fokus. Dari daftar yang ada, beberapa sudah bergulir tanpa menimbulkan perdebatan kecuali butir 60, High Speed Train Jakarta - Bandung.
Kerjasama B2B (Business to Business) dikembangkan antara anak usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia (PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI)) dengan BUMN Tiongkok (China Railway International Co. Ltd.). Selanjutnya dibentuk anak usaha patungan bernama PT Kereta Cepat Indonesia Tiongkok (KCIC), merupakan entitas yang digunakan dalam pembangunan dan operasionalisasi KCJB. Memang dalam strategi berinvestasi langsung di luar negeri (OFDI : Outward Foreign Direct Investment), China menggunakan SOE (State Owned Enterprise) dengan dukungan perbankan China.
Sebaran investasi China di luar negeri dapat dilihan pada Chart-2 berikut ini.
Dengan overseas direct investment yang sejumlah 68% tujuannya Asia, akan mendorong pertumbuhan ekspor produk China. Dukungan perbankan China untuk OFDI tersebut mirip dengan skema Kredit Ekspor.
Dari segi pembiayaan, model yang ditawarkan konsorsium ternyata membutuhkan berbagai penjaminan (atau proteksi) dari pemerintah. Hal ini tidak sejalan dengan disiplin B2B yang pemahamannya pada kesiapan menanggung resiko bisnis. Sementara, bersama dengan konsorsium China, akan juga ikut serta SOE lain dalam memanfaatkan peluang. Salah satu yang disebutkan dalam proyek kereta api cepat ini adalah pengembangan "new city". Model pengembangan yang menyertakan sektor properti ini mirip dengan model yang digunakan China dalam pengembangan infrastruktur pasca Krisis Finansial 2008. China membelanjakan hampir USD 600 Miliar sebagai bentuk stimulus ekonomi untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi "double digit". Dampak dari kebijakan tersebut pertumbuhan perekonomian China bergantung pada investasi bukan pada konsumsi. Upaya pemerintah China saat ini untuk mentransformasi perekonomiannya dengan memperbesar sektor konsumsi berdampak turunnya pertumbuhan perekonomian China dan "capital outflow" dana asing. Belajar dari pengalaman Krismon Indonesia 1998 dan Krisis Keuangan US 2008, model pertumbuhan ekonomi yang erat berkaitan dengan sektor properti akan rentan "bubble economic". Dalam situasi ini perilaku "Rational Expectation" berubah menjadi "Speculative Bubble" yang kelak berbuah Krisis.
Kontroversi seputar KCJB sangat menyita perhatian, pikiran dan tenaga yang sarat dengan fenomena paradoks kepemimpinan serta konektivitas sebagai implikasi dari iklim demokrasi, transparansi serta partisipasi.
Perekonomian perlu tumbuh demi peningkatan kesejahteraan dan kesetaraan (prosperity and equalty). Pertumbuhan terjadi dalam suatu rentang waktu yang merupakan buah dari disiplin perencanaan dan investasi yang berkelanjutan; serta selalu berpedoman pada "Generally Accepted Principle". Bukan sekedar keinginan sporadis tanpa belajar dari masa lalu. Ada adagium : "Berlian itu indah dan mahal sedangkan air merupakan kebutuhan keseharian". (Lihat : Kontradiksi dalam Proyek Kereta Cepat-HST).
Tidak dapat disangkal bahwa KCJB merupakan sarana transportasi yang akan memberikan kenyamanan dan waktu perjalanan singkat; tetapi banyak proyek infrastruktur lain yang memang merupakan kebutuhan dan memerlukan perhatian.
Ingat, krisis menanti di ujung terminal dan konon keledai pun tidak ingin terperosok pada lobang yang sama!
Â