Tingkat Inflasi dan Perubahan Nilai Tukar
Dengan tingkat inflasi Desember 2015 sebesar 0,96%, secara tahunan tingkat inflasi mencapai angka 3,35%. Suatu pencapaian yang baik jika dibandingkan dengan masa sebelumnya, juga jika dilihat tingkat depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika yang mencapai 12%. Sementara pertumbuhan Produk Domestik Bruto (GDP Growth) 2015 diprakirakan mencapai 4,8%.
Grafik-1 berikut ini memberikan gambaran pertumbuhan tingkat inflasi dengan pertumbuhan PDB.
Dari grafik-1 (tanpa masa gejolak krismon 1998), trend pertumbuhan PDB turun sejalan dengan tingkat inflasi tahunan. Konklusi berdasarkan grafik mengatakan bahwa terlalu menekan tingkat inflasi akan berakibat tekanan pertumbuhan ekonomi.
Grafik-2 memberikan gambaran perubahan nilai tukar Dolar Amerika (USD) - Rupiah (IDR) secara tahunan.
Dari grafik-2, pada masa 2013-2015, kenaikan nilai tukar (depresiasi) tahunan secara rerata besarnya hampir 12%.
Gejolak Eksternal
Kondisi yang mempengaruhi perekonomian global antara lain penurunan indeks harga komoditas dan energi yang berdampak pada perekonomian negara-negara yang mengandalkan penerimaan dari sektor komoditas. Bahkan dampak penurunan harga minyak dunia sangat memukul negara yang mengandalkan penerimaan pada minyak bumi seperti misalnya yang dialami Venezuela, Rusia, Arab Saudi, Irak, Nigeria.
Keputusan The Fed menaikkan suku bunga acuan (Fed Rate) pada 16 Desember 2015 membuat nilai tukar USD menguat terhadap mata uang mitra dagang utamanya seperti Euro, Renminbi, Yen Jepang (Major Currencies) dan mata uang mitra dagang lainnya (Broad). (Lihat Grafik-3).
Area Euro sedang berupaya keluar dari tekanan pertumbuhan dengan menggiatkan program Quantitative Easing (stimulus moneter) European Central Bank (ECB). Beberapa negara seperti Yunani, Ukraina, Portugal. Spanyol masih dalam tekanan pertumbuhan perekonomian.
Kondisi kawasan Asia masih tetap dalam tekanan akibat penurunan harga komoditas dan energi. Sementara kawasan Asean yang sudah mulai mengimplementasikan kebijakan AEC (Asean Economic Community) masih terkena dampak akibat penurunan pertumbuhan perekonomian China dan pengaruh Strong USD yang berakibat pada gejolak nilai tukar mata uang terhadap USD.
Asean dan Asia beserta USA, China, dan Europa merupakan pasar utama produk ekspor. Dengan kondisi perekonomian yang berada dalam tekanan pertumbuhan, dampaknya akan dirasakan pada penurunan nilai ekspor Indonesia ke kawasan tersebut. Secara umum, nilai ekspor Indonesia besarnya sekitar 15% dari total PDB.
Faktor Internal
Setelah sempat turun pada Triwulan-1 dan Triwulan-2 mengikuti trend masa sebelumnya, pertumbuhan PDB pada Triwulan-3 2015 mulai menunjukkan peningkatan menjadi 4,73% dan diprakirakan pada Triwulan-4 mencapai kisaran 4,8%. Trend pemulihan (rebound) ini lebih baik daripada kondisi yang dialami negara besar (US, China, Euro Area) dan juga negara di Amerika Latin serta sebagian besar Afrika juga negara di Asia. Gejolak nilai tukar USD-IDR yang mencapai puncak pada September 2015 tidak terlalu mempengaruhi pertumbuhan dan juga tingkat inflasi. Surplus perdagangan terus berlangsung hingga Oktober 2015 dan defisit dialami pada November 2015 walaupun trend nilai ekspor menurun demikian juga nilai impor. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan perekonomian Indonesia tidak terlalu dipengaruhi kondisi perekonomian global karena sektor konsumsi masih dapat memberikan kontribusi.
Upaya belanja pemerintah melalui proyek pembangunan awalnya seret tetapi lepas tengah tahun telah memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan perekonomian. Untuk investasi, pemerintah berupaya mendorong dan menjalankan kebijakan stimulus dan tidak memperketat anggaran. Investasi swasta masih tersendat dan hal ini terlihat dari pertumbuhan kredit investasi yang masih berada pada kisaran 12% akibat masalah resesi neraca (Balance Sheet Recession) yang menekan korporasi. Penanaman modal asing belum mengalir seperti yang diharapkan sejalan dengan penerbitan paket stimulus perekonomian sejak September 2015. Rendahnya pertumbuhan kredit investasi lebih banyak disebabkan pada ekspektasi swasta terhadap prospek usaha serta masih tingginya tingkat suku bunga.
Dalam kondisi sektor swasta belum aktif maka peran pemerintah harus lebih giat dalam investasi dan salah satunya melalui proyek infrastruktur yang merupakan faktor kunci dalam pengembangan sektor industri dan upaya peningkatan produksi. Berkembangnya kegiatan proyek infrastruktur dan industri akan memperluas lapangan kerja dan memberikan pendapatan serta mendorong konsumsi.
Pemerintah melalui kebijakan fiskal telah berusaha memberikan stimulus bagi perekonomian. Sementara sektor moneter masih terbelenggu dengan upaya pengendalian untuk mencapai target inflasi dengan penetapan suku bunga acuan tinggi yaitu 7,5%. Kondisi suku bunga ketat dan "Tight Money Policy" ini dikaitkan dengan pengendalian nilai tukar yang ternyata tidak berpengaruh terhadap inflasi. Target pertumbuhan 5,3% sesuai amanat APBN 2016 harus didukung kebijakan stimulus fiskal, juga moneter dan kebijakan makro ekonomi. Pemerintah berupaya dengan paket stimulus serta pelonggaran regulasi; selanjutnya perlu kebijakan moneter yang progresif termasuk melalui ekspansi kredit investasi perbankan. Jangan sampai upaya otoritas moneter, Bank Indonesia, mengejar target inflasi serta mengendalikan nilai tukar malah berdampak pada perlambatan pertumbuhan perekonomian. Pertimbangkan dampaknya pada perekonomian masa mendatang !
Â
Arnold Mamesah - Laskar Initiatives
Tengah pekan pertama Januari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H