Ilustrasi - gizmag.com
Pasca Fed Rate Naik
Setelah tertunda, pada pertemuan FOMC (Federal Open Market Committee) 16 Desember 2015 memutuskan kenaikan Fed Rate 25 basis poin. Rangkaian kenaikan Fed Rate akan berlanjut hingga Triwulan-4 2016.
Pasca krisis finansial di US 2007-2008, hampir USD 3 triliun disuntik The Fed melalui kebijakan LSAP (Large Scale Assets Purchases) atau dikenal sebagai Quantitative sejak Desember 2007 hingga November 2013. Dengan kebijakan LSAP tersebut diharapkan perekonomian US pulih dan tenaga kerja dapat terserap. Diharapkan QE akan berdampak inflasi agar dapat mendorong pertumbuhan dunia usaha. Pada kenyataannya dalam 2 (dua) tahun terakhir, pertumbuhan pendapatan tenaga kerja US berada pada kisaran 2%-2,5% dengan trend turun (Lihat : Average Hourly Earnings of All Employees: Total Private).
Kondisi dari beberapa indikator jelang dan pasca kenaikan Fed Rate antara lain (1) Indek Harga Konsumen US stagnan dan inflasi yang diharapkan tidak terjadi sehingga pertumbuhan usaha juga stagnan; (2) Dolar Amerika semakin menguat terhadap "Major Currency" (mata uang mitra dagang utama US) dan "Broad Currency" (mata uang mitra dagang lainnya). Posisi Strong USD ini akan semakin menekan ekspor produk US di pasar global dan kembali menekan korporasi US; (3) Harga emas anjlok dan diprakirakan akan terus turun harganya. Memang terlalu dini untuk menilai dampak kenaikan Fed Rate hanya dalam waktu 2 (dua) hari.
Deflasi dan Tekanan Utang
Dalam kondisi pertumbuhan perekonomian global masih dalam tekanan, sulit berharap terjadi perubahan dalam waktu singkat. Perekonomian China masih melakukan transisi dari investasi dan produksi sebagai motor penggerak menuju peningkatan sektor konsumsi. Europe Area masih berupaya memulihkan pada beberapa anggotanya seperti Yunani, Portugal, Ukraina; sementara program Quantitative Easing masih belum memberikan dampak pertumbuhan. Kondisi perekonomian US yang kelihatan kuat dan stabil tetapi menghadapi ancaman pertumbuhan akibat ekspornya yang menurun.
China, Europe Area, dan US ketiganya merupakan pasar utama, dengan total GDP (Gross Domestic Product) sekitar 60% dari total GDP global, diharapkan dapat menarik pertumbuhan perekonomian negara "non developed" (bukan negara maju). Negara yang mengandalkan komoditas dan energi (minyak bumi dan batubara), dengan trend indeks harganya terus tertekan, mengalami penurunan penerimaan.Â
Sementara pada sisi lain, pinjaman yang dilakukan dalam foreign exchange terutama USD, jumlahnya semakin bertambah akibat penguatan USD. Kondisi pertambahan pinjaman akibat USD yang makin kuat dan penurunan penerimaan akibat deflasi komoditas membuat perekonomian negara semakin tertekan dan masuk dalam perangkap utang. Kondisi ini kembali menekan selanjutnya berdampak pada penurunan demand terhadap produk China, USA, dan Europe Area. (Lihat : Negara Paling Berisiko Atas Kenaikan Suku Bunga The Fed).
Gejolak Nilai Tukar
Dalam persaingan pada perdagangan global, sebutan "currency wars" atau manipulasi nilai tukar dipahami sebagai strategi untuk dapat bersaing. Akibatnya, sering terjadi devaluasi nilai tukar mata uang suatu negara terhadap mata uang kuat (USD, Euro, JPY). Tetapi pada situasi lain, penurunan harga emas menyebabkan para "investor" mengalihkan investasi ke pasar forex. Hal yang serupa juga terjadi pada pasar komoditas akibat deflasi berkepanjangan.
Dengan demikian pasar forex semakin rentan terhadap unsur sentimen dan spekulasi yang berujung pada gejolak yang tidak rasional. Contoh saat terjadi apresiasi sekitar 8,5% nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika pada awal Oktober 2015.
Kenaikan Fed Rate hanya 25 basis poin atau 0,25%. Tetapi menjadi picu gejolak global dengan timbulnya deflasi komoditas yang makin panjang serta perangkap utang dengan tularan global berdampak krisis yang kian dalam.
Â
Arnold Mamesah - Laskar Initiatives
Akhir pekan ketiga Desember 2015
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H