Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Stop Wacana !

14 Desember 2015   19:16 Diperbarui: 15 Desember 2015   17:57 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gejolak Global

Dalam harian Kompas dimuat artikel`"Ekonomi Kapitalis dan Ekonomi Kerakyatan" serta "APBN dan Politik Negara". Artikel pertama membandingkan kedua mahzab kapitalis dan kerakyatan; sementara yang kedua mengaitkannya dengan peran negara dalam perekonomian (active state). Sesungguhnya menarik berwacana dan berargumentasi dalam iklim pro-kontra tentang mahzab perekonomian yang sesuai untuk sistem perekonomian terbuka Indonesia. Dalamnya mencakup 255 juta populasi dengan tingkat GDP (IMF - 2014) berada pada posisi ke-16. Sering kali wacana yang muncul menggugat ekonomi kapitalis tetapi kemudian tidak didukung dengan pemahaman yang lengkap serta komprehensif. Demikian halnya dengan "active state" dan peran negara melalui Badan Usaha Milik Negara; tidak memberikan rujukan pada suatu pengalaman keberhasilan atau kegagalan, tetapi hanya merangkai logika dan implikasi bercampur opini berdasarkan sudut pandang masa lalu.

Turbulensi dan gejolak finansial global sering menunjuk biang masalah pada 5(lima) negara atau area yaitu : Euro Area, USA, China, Jepang, dan UK. Sebagai gambaran, nilai transaksi "foreign exchange" harian mencapai sekitar USD 5,3 Triliun (Bank for International Settlement - BIS 2013), dengan dominasi pada USD diikuti Euro, JPY, GBP (Renminbi China masih kecil jumlah yang diperdagangkan). Transaksi terjadi dalam 7x24 jam per minggu tanpa henti. Nilai ini jauh lebih besar daripada perdagangan barang pada 2014 yang selama satu tahun mencapai USD 19 Trilion. Dengan keadaan ini, sedikit gejolak pada pasar keuangan akan berdampak tularan (contagion) global. Keadaan ini terjadi karena perilaku para dalam pasar keuangan yang sarat sentimen dan spekulasi, serta pengaruh herding (band wagon effect). Keputusan dan tindakan diambil tanpa pertimbangan yang cermat dan rasional; demi mendapatkan "quick return" (behavior economic). Hal ini berbeda dengan perekonomian yang selayaknya berdasarkan ekspektasi rasional (rational expectation) dalam horizon waktu panjang dan berkelanjutan (sustainable).

Utang dan Investasi

Artikel : "Kemampuan Bayar Utang Lemah" menganalisis penurunan kemampuan pemerintah dalam membayar utang dengan perbandingan rasio penerimaan pajak dan pembayaran utang 2009 2015. Tetapi analisis yang dilakukan tanpa berbasis pemahaman akan siklus perekonomian dan kondisi resesi (trend pertumbuhan perekonomian menurun) yang sedang terjadi. Menghadapi kondisi resesi, pemerintah memutuskan untuk menjalankan kebijakan stimulus dan bukan "austerity" (pengetatan). Dengan menjalankan kebijakan stimulus fiscal, pemerintah perlu meningkatkan belanja dan konsumsi; sementara sisi pajak diturunkan. Implikasinya defisit anggaran akan bertambah dan kekurangan tersebut perlu ditutup dengan utang (internal maupun eksternal). Dari sisi moneter (seharusnya) Bank Indonesia mendukung dengan penurunan suku bunga acuan dan kebijakan Quantitative Easing (pengenduran likuiditas). Dengan demikian, perbankan dapat melakukan ekspansi kredit bagi dunia usaha. Dalam hal kebijakan stimulus moneter, Bank Indonesia masih sangat konservatif sehingga berdampak krisis menjadi kian dalam.

Tentang investasi, dalam artikel : "Momentum Reformasi Investasi", masih kental dengan paradigma lama khususnya pada eksploitasi sumber daya alam. Sudah selayaknya dalam strategi investasi, khususnya Foreign Direct Investment (FDI) yang diusung pemerintah, didasarkan pada pandangan masa depan (foresight) dan tantangan pemenuhan kebutuhan umat manusia yang terus berkembang jumlahnya. Perlu diantasipasi kebutuhan pangan, energi yang berbasis energi baru dan terbarukan, serta pemenuhan kebutuhan air dan sanitasi (Food, Energy, Water & Sanitation). Ini sejalan dengan semangat Sustainable Development Goals yang diusung Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations). 

Kutukan SDA

Sebutan Kutukan Sumber Daya Alam (SDA) seakan tidak sesuai dengan makna bahwa SDA merupakan pemberian Sang Pencipta. Tetapi sering kali SDA menjadi penyebab konflik. Jika menilik lebih jauh negara-negara yang tergolong kaya dengan SDA, akan didapatkan kondisi pertumbuhan perekonomian yang tidak sesuai dengan harapan seperti yang diberikan pada Tabel-1.

Tabel-1 : Pertumbuhan GDP Negara Kaya SDA

Sumber Informasi : IMF Data Mapper

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun