3. Kebijakan The Fed melalui QE dan Fed Rate rendah belum berhasil sepenuhnya memulihkan perekonomian US seperti sebelum krisis finansial. Tingkat unemployment turun tetapi pertumbuhan pendapatan rendah dan bahkan akan menurun.
Fed Rate dan Nilai Tukar USD - IDR
Pengaruh Fed Rate pada nilai tukar USD - IDR dapat dilihat pada Grafik-5.
Pada masa yang sama, Indonesia menghadapi kondisi penurunan harga komoditas global, dan komoditas merupakan sumber utama penerimaan negara. Sementara hingga pertengahan 2014 trend harga minyak mentah naik berdampak peningkatan subsidi BBM yang membuat defisit anggaran naik. Pada masa tersebut, secara rerata neraca perdagangan defisit.
Sekarang subsidi BBM sudah tidak berarti jumlahnya dan harga minyak mentah turun drastis. Penerimaan negara memang tetap turun akibat penurunan harga komoditas masih berlanjut. Patut dicatat bahwa neraca perdagangan surplus sepanjang 2015 dan trend inflasi turun. Dalam trend panjang depresiasi nilai tukar, pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) yang sebelumnya turun sudah mengindikasikan membaik dengan kenaikan pertumbuhan PDB pada Triwulan-3 2015.
Gejolak dan kepanikan melanda pasar finansial global jelang 16 Desember 2015 saat Federal Open Market Committee (FOMC) bertemu. Sebagai catatan, pada 15 Desember 2015 US Census bureau akan mengumumkan tingkat inflasi dan US Consumer Price Index (Pemutakhiran informasi : US CPI November 2015 tidak berubah). Pada pertemuan FOMCÂ tersebut, akan diputuskan kenaikan Fed Rate dengan besaran tidak lebih 0,25% (25 basis poin).
Chairwoman The Fed mengindikasikan bahwa indikator perekonomian, khususnya tingkat pengangguran (unemployment rate) pada kisaran 5% dan tingkat inflasi yang walaupun masih di bawah 2%, sudah cukup kuat mendukung alasan kenaikan Fed Rate. Tetapi, sebagaimana dijelaskan pada bagian atas, kebijakan QE dengan Fed Rate 0,25% masih belum memulihkan perekonomian US khususnya pertumbuhan pendapatan tenaga kerja.
Sehingga penundaan kenaikan Fed Rate merupakan pilihan yang lebih tepat. Jika The Fed kemudian memaksakan kenaikan Fed Rate, akan membuat tekanan baru pada perekonomian US khususnya bagi korporasi. Sementara, gejolak finansial diprakirakan akan melanda "emerging market" dan membuat pertumbuhan perekonomian global makin tertekan yang kembali akan berdampak (negative feedback) pada negara besar khususnya yang mengandakan penerimaan negara pada ekspor produk non komoditas.
Bagi Indonesia, jika Fed Rate diputuskan naik, gejolak akan ada tetapi sifatnya sementara karena dipengaruhi sentimen dan tindakan spekulasi. Dengan kondisi pertumbuhan perekonomian US yang belum pulih, dan kenaikan T-Bond Rate yang tidak berarti, investasi pada pasar finansial US tidak memberi imbalan yang menarik kecuali resiko rendah. Sehingga dana yang kembali ke US, akibat kenaikan Fed Rate, selanjutnya dalam waktu yang tidak lama akan keluar lagi mencari pasar atau "tempat pembiakan" yang dapat memberikan imbalan yang lebih baik dan tentu dengan pertimbangan faktor resiko.
Dalam pertimbangan demikian, Indonesia akan menjadi pilihan pada urutan atas. Dana investasi dari luar akan mengalir bahkan jadi lebih deras sehingga memberikan dukungan peningkatan pertumbuhan perekonomian.