Implikasi yang serupa, akan juga dirasakan pada kenaikan nilai tukar CNY terhadap Rupiah (IDR); sehingga ekspor Indonesia ke China diprakirakan akan naik sementara impor dari China selayaknya turun (dengan pertimbangan Price Sensitivity).
Dalam kondisi trend pertumbuhan perekonomian China menurun, kondisi ini tentu akan tidak disukai China dan akan berusaha agar apresiasi nilai tukar CNY "terkendali" sehingga nilai ekspor tidak tertekan. Situasi ini akan "menggoda" otoritas moneter China untuk melakukan intervensi dan akibatnya cadangan berkurang.
Peran China sebagai Lokomotif Pertumbuhan
Dengan cadangan sekitar USD 3.500 Miliar (posisi akhir Oktober 2015), banyak yang berharap internasionalisasi CNY akan menambah likuiditas keuangan dunia khususnya melalui ekspansi China. Upaya yang telah dilakukan China antara lain melalui inisiatif pembentukan AIIB (Asian Infrastruktur Investment Bank), dengan modal awal sebesar USD 50 Miliar dalam mendukung pembangunan infrastruktur di Asia, dan membentuk BRICS Development Bank sebagai pendukung pembangunan di lingkungan negara BRICS (Brazil, Rusia, India, South Africa) dengan modal awal USD 100 Miliar.
Kondisi global yang mengalami tekanan harga komoditas termasuk energi (minyak mentah dan batubara), telah menjurus pada spiral deflasi. Sementara mitra China baik dalam lingkungan BRICS dan negara-negara Asia, sebagian besar sangat mengandalkan penerimaan negara dari perdagangan komoditas (termasuk energi). Sangat naif dan berlebihan jika berharap pada China untuk meningkatkan impor komoditas dan energi dalam kondisi ekspor China tertekan. Justru yang diprakirakan terjadi adalah upaya China mengekspor barang dengan menekan harga dan juga mengkespor "excess capacity" pada infrastrukturnya, termasuk produk dan tenaga kerja.
Tetapi dalam tekanan pada cadangannya, tentu China akan bersikap ketat dan hati-hati dengan resiko investasi infrastruktur yang memakan waktu lama. Juga, yang perlu dicermati adalah sumber dana atau pinjaman China yang akan dikaitkan dengan kebijakan ekspor China. Sehingga, negara peminjam (debitur) atau penerima investasi China (benefiting countries) akan terikat dengan ketentuan penggunaan produk China. Termasuk sasaran produk dari investasi China tersebut akan lebih ditujukan pada pasar domestik negara tujuan atau penerima investasi.
Internasionalisasi Renminbi pada satu sisi merupakan pengakuan terhadap peran China dalam perekonomian global tetapi telalu naif dan berlebihan jika berharap dan mengandalkan China sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi.Â
Â
(*) pembaruan info berdasarkan pengumuman IMF terakhir.Â
Arnold Mamesah - Laskar Initiatives
Akhir November 2015