Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money

The Fed, Renminbi, dan Arsitektur Keuangan Global

19 November 2015   10:38 Diperbarui: 20 November 2015   18:28 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber informasi : Federal Reserve Bank of St. Louis

Dengan memperhatikan grafik-3, peningkatan pendapatan (secara tahunan, terakhir Oktober 2015), besarnya di bawah 2,5%. Dari indikasi ini, kebijakan Quantitative Easing dengan suku bunga acuan rendah, ternyata belum memberikan peningkatan pendapatan yang signifikan bagi tenaga kerja. Dengan perkataan lain, perekonomian US belum sepenuhnya pulih dibandingkan sebelum krisis 2008.

Suku bunga acuan rendah (antara 0 - 0,25% atau 25 basis poin), mendorong ekspansi kredit dan peningkatan peredaran uang; pada satu sisi menambah lapangan kerja (implikasi dari ekspansi bisnis) yang kemudian meningkatkan inflasi. Sebagai dampak "Strong USD", kinerja korporasi US mengalami tekanan pada pasar global; sebaliknya impor barang terus mengalir masuk ke pasar US. Produk US yang tidak dapat diserap pasar global akan diarahkan ke pasar domestik bersama dengan barang impor yang berdampak "over supply" dan berimplikasi "deflasi". Keadaan ini makin menekan kinerja korporasi sehingga memerlukan kendali ketat terhadap biaya. Hal ini berdampak pada upah serta dapat menjurus pengurangan tenaga kerja. Kenaikan suku bunga acuan justru akan menambah tekanan finansial pada korporasi dan penurunan pendapatan dari penjualan produk.

The Fed menghadapi kondisi dilematis. Pasar keuangan global mengharapkan kepastian The Fed yang terus menunda. Kenaikan suku bunga acuan membuat USD makin kuat dan menekan dunia usaha serta berdampak pada pendapatan serta tingkat unemployment. Dalam kondisi demikian, akan lebih bijak jika The Fed tidak menaikkan atau menunda kenaikan suku bunga acuan.

Renminbi masuk SDR IMF

Setelah bergulir sejak awal 2015, pada 13 November 2015 Managing Director IMF melalui release-nya mengindikasikan akan segera memutuskan untuk memasukkan mata uang China, Renminbi (CNY) dalam "Basket of Currency of Special Drawing Rights". Keputusan akan diambil dalam pertemuan IMF Executive Board Meeting pada 30 November 2015. 

Pada saat terakhir, kondisi perdagangan China diberikan pada grafik-4 berikut ini.

Sumber Informasi : National Bureau of Statistics, China. 

Dari grafik ditunjukkan bahwa trend ekspor dan impor China turun, tetapi surplus naik yang artinya nilai impor China turun lebih besar daripada nilai ekspor. Kondisi ini dianggap sebagai ancaman perekonomian Indonesia. Tetapi jika dilihat porsi ekspor Indonesia ke China yang berada pada kisaran 11-12% dari total, harusnya hal ini tidak perlu menimbulkan kecemasan. Justru yang perlu dicermati upaya China untuk meningkatkan ekspor dengan berbagai strategi dan salah satunya penurunan harga. (Lihat : Fenomena Surplus Perdagangan dalam Model Gravity).

Setelah mengalami gejolak pada pasar modal masa Juni dan Juli 2015 yang menguras cadangan devisa, cadangan China sementara menunjukkan peningkatan seperti diberikatan pada grafik-5 di bawah ini.

Sumber Informasi : People's Bank of China.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun