Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money

Indonesia dan TPP - antara Hegemoni China atau USA

30 Oktober 2015   00:00 Diperbarui: 30 Oktober 2015   11:37 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Deklarasi Indonesia dalam Trans Pasific Partnership

Dalam pertemuan dengan Presiden USA 26 Oktober 2015 di Gedung Putih, Presiden Jokowi mendeklarasikan minat untuk bergabung dengan Trans Pasific Partnership. Hal ini sejalan dengan sistem perekonomian terbuka yang dianut, mempertimbangkan kemitraan yang telah berlangsung, serta ukuran perekonomian dengan lebih dari 250 juta populasi di kawasan Asia Tenggara. Deklarasi keinginan Indonesia ini langsung mendapatkan sambutan dari Presiden Barrack Obama.

Trans Pacific Partnership (TPP) merupakan kemitraan yang melibatkan 12 (dua) belas negara dari berbagai kawasan Pasifik dan perjanjiannya ditandatangani pada 5 Oktober 2015 lalu. Selain Indonesia, beberapa negara yang sudah menyatakan keinginan untuk bergabung antara lain Kolumbia, Filipina, Thailand, Korea Selatan, dan Taiwan. Sementara negara Asean yang telah bergabung adalah Brunei, Singapore, Malaysia, dan Vietnam. 

Terhadap deklarasi bergabung dengan TPP, Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan pernyataan bahwa bergabung dalam TPP akan meningkatkan efisiensi; sementara Kementerian Perdagangan akan meneliti manfaat TPP. Berbagai komentar lain muncul sehubungan dengan deklarasi tersebut dan cenderung menentang keputusan Presiden Jokowi, namun sayangnya tanpa dukungan data, informasi serta analisis yang cermat.

Sejalan dengan upaya peningkatan pertumbuhan perekonomian, upaya yang dilakukan pemerintah adalah mendorong perdagangan global (International Trade) dan mengupayakan masuknya aliran dana asing untuk berinvestasi. Dengan bergabung dalam TPP diharapkan peningkatan nilai perdagangan terutama ekspor Indonesia. 

TPP kental dengan "cara khas" Amerika (USA) dalam menerapkan aturan perdagangan bebas, penghargaan atas intellectual property right, dan penyelesaian sengketa dalam investasi. Pada sisi lain, China yang ukuran ekonominya berada persis di bawah USA, sangat mendorong Free Trade Area of Asia Pacific (FTAAP). Sekilas, TPP dan FTAAP menggambarkan perebutan hegemoni USA dan China di kawasan Asia Pasifik. Lantas bagaimana Indonesia melakukan "positioning' dalam perebutan hegemoni tersebut.

Perdagangan dalam lingkup TPP dan China 

Sebagai gambaran perdagangan Indonesia dengan anggota utama TPP dan China dalam dapat dilihat dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan nilai perdagangannya.

Grafik-1 : Pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto = GDP)

Dari grafik-1 (sumber : IMF Data Mapper), proyeksi pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product atau PDB), USA dan Australia cenderung naik, Jepang flat atau merata sedangkan China kecenderungannya menurun.

Neraca perdagangan Indonesia dengan USA, Jepang dan China diberikan pada grafik berikut ini.

Grafik-2 : Neraca Perdagangan Indonesia - USA (Januari 2014 - Agustus 2015)

 

Grafik-3 : Neraca Perdagangan Indonesia - Jepang (Januari 2014 - Agustus 2015)

 

Grafik-4 : Neraca Perdagangan Indonesia - China (Januari 2014 - Agustus 2015)

Tabel-1 : Neraca Perdagangan Indonesia dengan Anggota TPP

(Sumber informasi Grafik-2, Grafik-3, Grafik-4, Tabel-1 : BankIndonesia - SEKI)

Dari grafik-1 hingga 4 dan tabel-1 dapat ditarik beberapa kesimpulan :

1. Neraca perdagangan Indonesia dengan anggota TPP hampir seimbang dan mewakili 40% dari total ekspor atau impor secara rerata pada masa Januari 2014 - Agustus 2015.

2. Neraca perdagangan Indonesia dengan USA (Grafik-1) selalu surplus (masa Januari - Agustus 2015 surplus sebesar USD 6,3 miliar), dengan Jepang (Grafik-3) trend-nya menuju setimbang (balance - jumlah defisit masa Januari - Agustus 2015 sebesar USD 450 juta).

3. Neraca perdagangan Indonesia dengan China (Grafik-4) selalu defisit, masa Januari - Agustus 2015 besarnya : USD 10.1 miliar dengan trend defisit terus membesar.

4. Dalam trend pertumbuhan GDP menurun, China akan berupaya meningkatkan ekspor, termasuk ke Indonesia; sehingga menekan sektor industri Indonesia. Ekspor Indonesia ke China akan mengalami tekanan dan sudah terjadi seperti yang dapat dilihat pada grafik-4. Dengan neraca yang selalu defisit, layak untuk mengatakan bahwa perdagangan dengan China membawa tekanan pada depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika.

5. Sejalan dengan pemahaman teori Gravity dalam perdagangan global, peningkatan perlu dilakukan dengan negara yang GDP-nya bertumbuh. Dengan trend naik pertumbuhan perekonomian USA dan Australia, akan dapat diharapkan kenaikan nilai ekspor dan dengan Jepang layak untuk dipertahankan posisi setimbang.

Dengan pertimbangan di atas dan melihat pada proyeksi pertumbuhan ekonomi, perdagangan dengan TPP memberikan prospek lebih baik bagi perekonomian Indonesia daripada dengan China yang sedang mengalami penurunan pertumbuhan.

Investasi TPP dan China 

Agar dapat memahami positioning USA pada kawasan TPP, perlu melihat dokumen "The Economic Benefit of US Trade"; dengan investasi perusahaan USA di kawasan Asia Pasifik pada 2013 besarnya mencapai USD 695 miliar dan akan terus dikembangkan. Sementara bagi Jepang, Indonesia merupakan target utama investasi selain Thailand di kawasan Asean.

Sebagai perbandingan, pertumbuhan ekonomi negara-negara penerima investasi China diberikan pada grafik-5 berikut ini.

Grafik-5 : Pertumbuhan GDP Negara Penerima Investasi China

Dari grafik (sumber : IMF DataMapper), dapat dilihat bahwa penerima investasi China (ODI : Overseas Direct Investment) mengalami tekanan; pertumbuhan negatif dialami Venezuela dan Brazil dan penurunan pertumbuhan dialami Afrika Selatan.

Sejak pertemuan APEC, Oktober 2014 di Beijing, Presiden Jokowi terlihat sangat dekat hubungannya dengan Presiden China. Mungkin mengharapkan peran China sebagai mitra yang dapat memberikan surplus dalam hal perdagangan dan "key investor" dalam pembangunan. Setahun berlalu dan harapan kepada China tidak tercapai. Bahkan belajar dari perjalanan pertumbuhan perekonomian Brazil dan Afrika Selatan yang merupakan mitra China dalam ikatan BRICS (Brazil, Russian, India, China, South Africa), memberikan hasil negatif. 

Presiden Jokowi lantas menyadari hal ini dan segera memutar haluan.

 

Arnold Mamesah - Laskar Initiatives

Akhir Oktober 2015

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun