Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money

Gang Salemba Perekonomian

12 Oktober 2015   17:39 Diperbarui: 14 Oktober 2015   21:46 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gang Salemba dan Mafia Berkeley

Menyebutkan nama-nama seperti Darmin Nasution, Bambang P.S. Brodjonegoro, Suahasil Nazara, Agus Martowardojo, Mirza Adityaswara, Muliaman Hadad, Sofyan Djalil  dalam benak langsung akan mengaitkannya dengan perekonomian Indonesia khususnya Pemerintahan Presiden Jokowi dengan Kabinet Kerja. Ada satu kesamaan pada nama-nama tersebut yaitu semua pemegang ijazah dengan simbol Makara, yang merupakan lambang Universitas Indonesia. 

Dalam kondisi resesi perekonomian Indonesia yang sarat yang dengan pengaruh gejolak eksternal perekonomian global, dari pemikiran dan pengetahuan mereka, sebutlah Gang Salemba (alumni Universitas Indonesia), diharapkan lahir strategi dan terobosan agar Indonesia keluar dari resesi menuju pemulihan dan puncak (peak) pertumbuhan yang berkelanjutan.

Menyebut istilah "mafia", lantas teringat sekelompok tokoh yang dikenal sebagai Mafia Berkeley (para tokoh ekonomi seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, Soemarlin). Terlalu dini membandingkan Gang Salemba dengan Mafia Berkeley yang berkiprah pada masa Orde Baru. Tetapi perlu diingat bahwa pada masa Mafia Berkely, pembangunan Indonesia memiliki pedoman yang merupakan hasil karya Bappenas dibawah kepemimpinan Widjojo Nitisastro; kemudian menjadi bahan untuk penyusunan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam pedoman tersebut, pada tahapan awal digariskan untuk menjadikan Indonesia ber-swasembada pangan yang merupakan kebutuhan utama masyarakat. Tahapan selanjutnya membangun dan mengembangkan sektor industri. Sementara dalam pemerintahan Presiden Jokowi dan Kabinet Kerja, telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang merupakan turunan dari tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 - 2025.

Resesi, Depresiasi, Deflasi, Defisit, dan Tekanan Utang

Sejak awal Kabinet Kerja dihadapkan dengan kondisi resesi perekonomian, trend pertumbuhan ekonomi menurun, bagian dari siklus perekonomian. IMF dalam release Oktober 2015 memberikan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2015 3,1%, yang dipengaruh penurunan pertumbuhan China; pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan pada angka 4.7%.

Sepanjang 2015 tekanan depresiasi nilai tukar Rupiah dalam aroma "Currency Wars" terjadi (mereda pada awal Oktober 2015) dan deflasi atau penurunan terus menyertai harga dan energi, yang kelak berdampak pada Deflationary Spiral. Defisit anggaran pemerintah harus terjadi (diprakirakan defisit pada mencapai 2,2% dari PDB) dan ditutupi dengan utang. Tidak cukup dengan depresiasi, deflasi, dan defisit anggaran, ada masalah yang sangat jarang dibicarakan dan dikaji yaitu beban utang dan resesi neraca yang dihadapi dunia usaha khususnya korporasi dan perbankan. Kelak saat sadar keadaan sudah sangat akut dan parah sehingga memerlukan tindakan "amputasi" atau kepailitan yang selanjutnya pengalihan kepemilikan (take over).

Paket Stimulus Yang Miskin Wawasan

Menyiasati situasi perekonomian, dibawah koordinasi Menko Perekonomian sejak awal September 2015 diluncurkan Paket Stimulus dan hingga awal Oktober 2015 telah diterbitkan 3 (tiga) jilid. Paket stimulus tersebut memang bukan obat atas "demam depresiasi" nilai tukar. Tetapi mendorong sektor industri dan mengundang aliran modal (FDI : Foreign Direct Investment) masuk dan diinvestasikan dalam perekonomian. Berbagai kemudahan dan insentif pajak diberikan, juga percepatan proses perijinan dengan tujuan memberikan citra yang menarik. Tetapi jika dikaji lebih dalam, paket stimulus tersebut miskin wawasan dan arah khususnya dalam perspektif pembangunan ekonomi berkelanjutan. Bahkan jika memperhatikan insentif yang disebarkan dan kendali dalam tahapan selanjutnya, pilihan utang menjadi lebih baik daripada FDI.

Dongeng bertajuk Perubahan dalam Polemik HST

Sejak medio Agustus 2015, ramai menjadi pembicaraan yang menuju polemik tentang rencana pembangunan High Speed Train (HST) Jakarta - Bandung, yang terus berlanjut pada awal Oktober 2015. Konon Jepang (dianggap) mundur dari persaingan karena tidak dapat memenuhi persyaratan finansial pemerintah yang mengarahkan pembangunan HST dengan skema B2B. (Lihat artikel : Fallacy BUMN : Sarat Jargon, Sporadis dan Skema B2B). Akibatnya, pertarungan antara HST China, turunan dari teknologi Alstom (France), Siemens (Germany), Bombardier (Canada), dan Kawasaki Heavy Industries (Japan), yang ibarat menu capcay dengan menu sushi-tei HST Shinkanzen Jepang gagal tampil.

Di tengah suasana kisruh HST ini, terbit artikel bertajuk : Menyoal Ribut-ribut Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Bagian awal artikel yang ditulis Rhenald Kasali (masih terkait Gang Salemba), diberikan 5(lima) catatan berkaitan dengan "quick decision" yang konon sudah diambil pemerintah memilih HST China dengan skema B2B serta melibatkan 4 (empat) BUMN. Juga diberikan wawasan tentang Value Creation dan Model serta Ekosistem Bisnis yang selayaknya menjadi pertimbangan dalam melakukan perubahan. Tidak ada yang salah dalam pembahasan RK tersebut. Mungkin saja dapat menjadi rujukan pembahasan tingkat korporasi atau "case study" pada sekolah bisnis.

Tetapi ada perbedaan wawasan pemikiran yang (mungkin) tidak terjangkau RK; dan yang sering menjadi pangkal permasalahan antara pola pemikiran dunia bisnis dan perekonomian negara (Lihat eartikel : A Country is Not a Company). Seorang CEO korporasi dengan beberapa lini usaha (Line of Business) atau bahkan Super CEO sebagaimana Menteri BUMN yang mengendalikan lebih dari 100 unit usaha (BUMN), pemikiran dan wawasannya hanya pada Strategic Planning dalam kurun 5 atau 10 tahun (seperti halnya RUPTL PLN). Tetapi seorang kepala negara, dituntut berwawasan lebih jauh. Bahkan dalam hal NKRI sudah sepatutnya mencapai hingga usia satu abad, yaitu 17 Agustus 2045.

Dalam pengambilan keputusan, seorang CEO yang juga pendiri (founder) korporasi dapat segera mengambil keputusan dengan resiko yang ditanggung sendiri. Juga, CEO atau Super CEO dapat mengambil keputusan terhadap salah satu lini bisnis yang tidak mencapai kinerja dengan misalnya menutup lini bisnis tersebut. Sangat berbeda dengan kepala negara NKRI yang tidak dapat bertindak semena-mena karena ada tatanan kenegaraan yang mengatur. Dalam hal perencanaan stratejik jangka panjang, RPJPN dan RPJMN merupakan panduan utama. Termasuk proses pengambilan keputusan yang sering dinilai "ribet", panjang dan bertele-tela. Keputusan yang diambil "professional" CEO hanya berdampak pada "management contract" dan berhadapan dengan Dewan Komisaris atau para pemegang saham. Tetapi sangat berbeda dengan seorang presiden.

Berbicara perekonomian negara, bukanlah konglomerasi bisnis dan berbagai ukuran kinerja dalam rentang waktu pendek !

Panacea dan Inisiatif Industri

Dalam resesi dan perlambatan perekonomian, yang dibutuhkan bukan sekedar "Obat Analgesik" atau penghilang rasa sakit (pain killer) yang  sesaat menghilangkan pusing atau demam. Perekonomian Indonesia butuh obat mujarab (Panacea) untuk penyembuhan dari berbagai penyakit birokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan serta dunia usaha yang sarat praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme); dalam siklus waktu panjang. Sayangnya, penggunaan Panacea sepertinya diabaikan.

Jelang satu tahun Kabinet Kerja, sepertinya kualitas Gang Salemba tidak sekelas Mafia Berkeley yang disiplin pada panduan. Apalagi jika membandingkannya dengan The M.I.T Gang, yang berlatar belakang teknologi, berpegang pada Generally Accepted Principle, melakukan analisis berbasis data yang akurat, akrab dengan mahzab Supply Economic, serta sarat inisiatif, investasi, dan fokus pada indutri prioritas.

 

Arnold Mamesah - Laskar Initiatives

Awal Pekan Ketiga Oktober 2015.

  

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun