Â
State-Owned Enterprise dan BUMN
Secara umum, State-Owned Enterprise (SOE) dipahami sebagai suatu entitas legal yang dibuat pemerintah untuk ikut serta dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan dan usaha komersil, atas nama pemerintah dengan kepemilikan mayoritas (51% atau lebih) oleh pemerintah.
Dengan makna yang hampir serupa, berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 serta Peraturan Pemerintah RI No. 45 Tahun 2005, pengertian Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Salah satu bentuk dari BUMN adalah Perusahaan Persero Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Selain itu dikenal juga bentuk Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya disebut Perseroan Terbuka, adalah Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Dalam tulisan ini, sebutan BUMN yang berbentuk Perusahaan Persero atau Perusahaan Persero Terbuka.
Dalam perjalanannya, BUMN dalam perekonomian Indonesia berperan utamanya pada sektor yang berkaitan dengan harkat hidup masyarakat atau sektor publik, dan ada pada sektor publik (utilitas termasuk listrik, air minum, telekomunikasi, transportasi dan pelabuhan), sektor keuangan, sektor komoditas dan sumber alam termasuk pertambangan, minyak dan gas, sektor pangan termasuk pertanian, perikanan, dan kehutanan, sektor industri termasuk industri strategis dan manufacturing serta pengolahan, konstruksi dan perumahan serta jalan raya. Saat ini BUMN tercatat jumlahnya 119 dan 20 sudah berbentuk Perusahaan Persero Terbuka (PPT) misalnya Garuda Indonesia, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BRI, Krakatau Steel, PGN (distribusi gas), Aneka Tambang, Bukit Asam, Timah, Semen Indonesia, Semen Baturaja, Indofarma, Kimia Farma, Aydhi Karya, Wijaya Karya, Jasa Marga, Telekomunikasi Indonesia (dengan kapitalisasi pasar terbesar di antara BUMN PPT per akhir triwulan-2/2015).
Peran SOE dalam tingkat Global
Merujuk pada hasil penelitian OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), Trade Policy Paper No. 184, International Trade and Investment by Trade Enterprise, SOE mempunyai peran yang cukup penting. Sebagai gambaran, 10% dari Forbes Global List 2000 (survey 2012), sekitar 10% (204) merupakan SOE; 70 dari 204 SOE tersebut merupakan SOE China, kemudian India (30), Rusia (9), Uni Emirat Arab (9), Malaysia (8).
Peran dan tingkat kepentingan (importance) 10 Peringkat Utama SOE pada perekonomian pada negara yang diteliti dapat dilihat pada Grafik-1 berikut (hanya yang perannya di atas 10%).Â
Pada sisi lain jika dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi (GDP) Indonesia dan mitra dagangnya, korelasinya diberikan pada Grafik-2 di bawah ini.
Berdasarkan analisis trend & projection pertumbuhan ekonomi, Indonesia berkorelasi positif dengan urutan Jepang, Euro Area, North America (USA dan Kanada), dan paling rendah China (Asean tidak disertakan karena mencakup Indonesia dan juga pertumbuhan ekonomi dunia secara global). Sementara jika diperhatikan pada Grafik-1, hanya Jerman yang merupakan bagian dari Euro Area yang peranan SOE-nya 11%; sedangkan di China mencapai 96%.
Dengan demikian berdasarkan Grafik-1 dan Grafik-2 dapat disimpulkan, jika perekonomian Indonesia ingin mengikuti trend pertumbuhan yang meningkat, pilihannya bukan mengikuti China tetapi Jepang atau Euro Area dan North Amerika dengan peran tingkat dan tingkat kepentingan Non SOE lebih besar.
Korporasi Jargon
Saat pembahasan anggaran 2015 di DPR, terkait dengan permintaan tanggaran PMN (Penyertaan Modal Negara) bagi BUMN Perusahaan Persero (PP) dan BUMN PPT, telah diingatkan tentang masalah tata kelola (Good Corporate Governance) dan perhatian pada dukungan untuk pengembangan usaha kecil milik rakyat. Bahkan DPR menyatakan keberatannya jika PMN diberikan kepada BUMN-BUMN yang memiiki kecukupan modal dan telah berstatus perusahaan publik (go public).
Dalam perjalanannya sebagai pemegang tampuk komando BUMN, Menteri BUMN kerap menyebut bahwa BUMN sebagai Agen Pembangunan yang Profesional. Pada kesempatan lain, terinspirasi dari model Singapore, disebutkan keinginan agar BUMN menjadi Agen Perubahan. Belum cukup dengan berbagai jargon, muncul lagi gugahan dari Menteri BUMN agar Aktivitas BUMN dari Hulu ke Hilir untuk Hasilkan Devisa yang kemudian menjadi inspirasi seorang penulis yang mengusulkan agar meniru Tiongkok dan SOE-nya untuk menjadikan BUMN Jangkar Perekonomian Nasional.
Betapa peliknya memahami peran BUMN; jika merujuk ulang pada Undang-Undang dengan latar belakang keberadaan BUMN serta peranannya berkaitan dengan harkat hidup masyarakat; sementara mengejar keuntungan menjadi ukuran keberhasilan. Kompleksitas permasalahan kian bertambah akibat tuntutan mewujudkan peran sebagai agen pembangunan, agen perubahan, hingga peran sebagai jangkar ditengah gugatan dalam disiplin tata kelola korporasi (Good Corporate Governance) dan peran pemberdayaan dan pengembangan usaha kecil milik rakyat. Sementara, hingga saat ini belum pernah terdengar visi atau wawasan masa depan (foresight perspective) yang disusun secara komprehensif dan terintegrasi sehingga membentuk "Kolaborasi BUMN" yang bersinergi. Segala jargon yang disampaikan terkesan sebagai buah pemikiran sporadis tanpa kajian dan tujuan yang utuh.
Skema B2B
Tidak cukup dengan jargon. Dalam kondisi gejolak perekonomian yang penuh ketidakpastian dan tingkat kompleksitas masalah yang dihadapi serta multitafisr akan situasi (VUCA : Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), berkembang skema B2B (Business to Business) dalam proyek High Speed Train (HST) Bandung Jakarta. Menteri BUMN menyatakan skema B2B akan berbentuk konsorsium dengan mengkolaborasikan 4(empat) BUMN (PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga, PT Kereta Api Indonesia, serta PT Perkebunan Nusantara VIII) dan China SOE (dipimpin China Railway Corporation (CFC)). Dalam penjelasannya, skema B2B tidak akan membebankan APBN dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab para SOE (yang dimiliki negara). Inisiatif dan kegigihan Menteri BUMN untuk mewujudkan HST (yang konon kelak tidak berjalan dengan kecepatan penuh), layak diberikan apresiasi. Walaupun tanpa ada perencanaan yang diturunkan dari tujuan dan pemerian masalah (problem statement).
Melihat keinginan menggebu akan proyek HST, dengan berbagai jargon sporadis tanpa wawasan masa depan yang dibebankan kepada BUMN, serta gugatan Good Corporate Governance yang disampaikan DPR, apakah sudah layak BUMN melangkah menuju pola konsorsium dengan "financial arrangement" yang tinggi kompleksitasnya.
Proyek HST hanyalah salah satu. Jika melihat trend dan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang diberikan di atas, apakah memang menginginkan trend pertumbuhan perekonomian masa depan yang menurun mengikuti China ?
Teringat akan artikel : Pilihan Q-Marks pada High Speed Train Bandung-Jakarta yang diterbitkan pada 2 September 2015. Mungkin lebih tepat judul pada bagian paling atas menjadi : Big Q-Marks SOE Consortium !
Seorang temen bilang ... HST bikin deg-degan terus !
Â
(*) Fallacy : Kekeliruan
Arnold Mamesah - Akhir pekan pertaman Oktober 2015
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H