Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money

Pilihan Q-Marks pada High Speed Train Bandung-Jakarta

2 September 2015   01:18 Diperbarui: 2 September 2015   01:24 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Janggal bukan untuk Jegal

Pada suatu diskusi maya via Whatsapp Group (WAG) tentang rencana penyediaan High Speed Train (HST) Bandung – Jakarta, seorang rekan menyampaikan ekspresi kejanggalannya : Wah aku sendiri belum pernah baca apa sebenarnya "reason utama" dari kereta cepat Bandung Jakarta ?

Hingga usai (sementara) diskusi WAG, tidak ada satupun peserta diskusi yang memahami maksud (purpose) atau tujuan (objective) atau bahkan permasalahan yang dihadapi sehingga butuh solusi HST.

Kegamangan yang serupa sepertinya akan menghampiri Boston Consulting Group (BCG), sebuah firma konsultan kelas dunia papan atas (termasuk dalam Top-3), yang ditunjuk pemerintah Indonesia pada 19 Agustus 2015 (lihat : Ini Konsultan Kereta Cepat yang Ditunjuk Pemerintah), dalam hal ini Menko Perekonomian. BCG dalam waktu singkat dan sangat mendesak diminta melakukan kajian dan menyusun “advise & recommendation” atas usulan atau proposal HST ala Tiongkok yang disampaikan pemerintah Tiongkok dan proposal dari Jepang yang konon mengusung solusi Shinkazen.

Presiden Jokowi memberikan penjelasan yang terkesan sangat sederhana atas rencana HST Bandung – Jakarta ini dengan lebih melihat dari sisi beban biaya yang tidak menjadi tanggungan anggaran pemerintah alias APBN (lihat : Ini Alasan Jokowi Bangun Kereta Cepat Jakarta-Bandung).

Dengan rasa kejanggalan yang ada, tulisan ini mencoba melihat dari beberapa sudut pandang dan memberikan anti-tesis dari penyediaan HST Bandung Jakarta (selanjutnya disebut HST).

Pendekatan Initial Problem Statement ala Konsultan Kelas Dunia

Dalam menyusun rasionalitas dan justifikasi suatu “advise & recommendation”, firma konsultan BCG tentu telah memiliki rujukan “Approach & Methodology” yang merupakan "Best Practices" dalam pembahasan atas pemahaman akan Problem Statement atau tujuannya (Purpose). Dapat dipastikan BCG tidak akan menggunakan senjata andalannya yang terkenal dalam Strategic Management dan di kalangan Business & Management School yaitu BCG Matrix. HST bukan produk korporasi yang akan diperlakukan dengan strategi Stars, Cash Cosw, Dogs, atau Question Marks. Kehadiran Initial Problem Statement dalam bentuk naratif, lengkap, dan terukur merupakan prasyarat wajib (mandatory prerequisite) yang selanjutnya menjadi panduan dalam menganalisis, menimbang, merasionalitaskan, dan menyusun “advise & recommendation” secara runtut dengan memperhatikan manfaat, maslahat serta memperhatikan mudarat HST.

Seandainya BCG memanfaatkan pertimbangan presiden Jokowi dari sisi biaya penyediaan HST yang tidak menjadi beban APBN, lantas apakah yang akan menjadi pembandingnya ? Mungkin saja akan menggunakan pendekatan investasi korporasi (feasibility) dengan rasionalitas imbalan (return) dalam suatu horizon waktu yang panjang. Jika memang demikian, apakah sudah ada “demand analysis” yang berbasis suatu penelitian yang cermat dengan menimbang “future pattern of traveller” dan "buying criteria" terhadap pilihan yang ada serta perubahan perilaku atas ketersediaan layanan HST. Ada hal lain yang sering diabaikan dalam proyek stratejik khusus pada infrastruktur yaitu aspek sosial ekonomi (plausibility) dan kelanggengan (viability). Aspek lain yang juga penting menjadi pertimbangan adalah resiko terkait dengan pilihan teknologi, operasional, finansial, dan kondisi alam. Dengan waktu yang tersedia, metodologi BCG yang selalu memandang permasalahan secara jernih dan membangun solusi dari akar permasalahan, maka tanpa bermaksud “prejudice”, kualitas “advise & recommendation” yang diterbitkan BCG akan bias bahkan cenderung mencari-pembenaran akan kebutuhan dan penyediaan HST.

Asumsi Problem Statement dan Enhancement Engineering

Berandai-andai dan berasumsi akan “problem statement” HST, permasalahan yang terlintas adalah waktu tempuh (travelling time) Bandung – Jakarta atau sebaliknya. Semula cukup 2 (dua) jam perjalanan, pada saat awal tersedianya “coach travel” dan beroperasinya jalan tol Cipularang. Saat ini waktu tempuh menjadi 3 – 4 jam (dihitung dari saat masuk dan keluar gerbang tol) terutama pada saat “peak hour” hari kerja dan akhir pekan. Berdasarkan observasi para pelaku perjalanan yang menggunakan “coach travel” atau kendaraan pribadi, peningkatan waktu tempuh tersebut akibat hambatan yang dihadapi di jalan tol. Kepadatan kendaraan terlebih akibat padatnya bus antar kota serta truk bermuatan besar yang lambat pergerakannya (bahkan lebih lambat dari kecepatan minimum yang diperkenankan di jalan tol yaitu 60 KM perjam). Dengan menambah waktu menuju gerbang tol dari lokasi berangkat dan waktu dari gerbang tol menuju lokasi tujuan, waktu perjalanan secara menyeluruh (End to End : N2N) dapat mencapai 4 hingga 5 jam. Kondisi ini mengakibatkan kepenatan dan meningkatkan konsumsi bahan bakar.

Jika asumsi waktu tempuh ini digunakan sebagai "initial problem statement", maka dengan strategi revitalisasi infrastruktur rel kereta api yang telah tersedia, serta pendekatan enhancement engineering, solusi Light Rail Transit (LRT) yang bergerak pada rel-ganda (double track) layak menjadi pertimbangan utama dan sesuai dengan pertimbangan “needs fulfillment and appropriateness” (pemenuhan kebutuhan dan kesesuaian). Solusi LRT pada rel ganda berupa rangkaian gerbong (tidak lebih dari 4 gerbong pada satu rangkaian, kapasitas maksimum 50 penumpang) dengan kemampuan manuver yang tinggi (pada tikungan, tanjakan dan turunan) serta frekuensi yang fleksibel (misalnya 10-15 menit antar pemberangkatan). Solusi LRT ini menjanjikan biaya yang efisien dan optimal dengan memberdayakan fasiltas produksi yang dimiliki BUMN strategis (misalnya INKA, PTDI), mendayagunakan ketrampilan dan kemampuan engineer anak bangsa yang mumpuni serta bersinergi dengan para “railway expert” yang ada dalam jajaran Kereta Api Indonesia serta para pakar teknologi yang terkait dengan control & monitoring system. Dukungan masyarakat akan muncul dan tentunya bangga atas kreativitas dan inovasi para anak bangsa yang mumpuni. Solusi LRT pada rel ganda menjaminkan waktu tempuh dari stasiun pemberangkatan dan stasiun akhir selama 1,5 jam atau 90 menit.

Pendekatan lain yang dapat jadi pilihan adalah pengurangan beban pada jalan tol (off load toll road traffic) dengan mengalihkan penggunaan angkutan truk barang ke angkutan kereta api. Implikasinya, kepadatan pada jalan tol akan berkurang sehingga waktu tempuh kendaraan akan kembali menjadi dua jam (antara gerbang tol masuk dan gerbang tol keluar). Walaupun solusi ini tidak mengurangi konsumsi BBM pada kendaraan pribadi atau "coach travel”, tetapi merupakan pilihan yang layak dipertimbangkan khususnya dengan memperhatikan aspek keselamatan pada jalan tol.

Pendekatan Integrasi Bandung – Bogor – Jakarta

Penyediaan HST Bandung Jakarta mengindikasikan wawasan pemikiran jangka pendek yang tidak mengantisipasi perkembangan masa depan khususnya konektivitas Bandung - Bogor – Jakarta. Sejalan dengan perkembangan Megacity Jakarta dan Metropolitan Bandung Raya serta area Bogor sebagai penyangga Jakarta, dengan merevitalisasi infrastruktur rel kereta yang ada dan mengembangkan LRT rel ganda, akan terwujud “ring connection” Bandung – Sukabumi – Bogor – Jakarta; yang berkoneksi dengan jaringan dalam (inner ring) Jabodetabek dan jaringan Metropolitan Bandung Raya. Juga, ketersediaan rel ganda, memberikan pilihan bagi angkutan barang untuk menggunakan kereta api selain penggunaan truk.

Inovasi dan Kreasi dalam wawasan Revitalisasi

Membandingkan HST dengan LRT rel ganda dari perspektif teknologi seakan berhadapan pada pilihan “leading technology” (teknologi unggul) pada HST dengan “lagging technology” (teknologi lawas) pada LRT. Tetapi dengan serta merta memilih HST lebih menunjukkan kedangkalan wawasan dan kajian serta ketidakjelian dalam menentukan pilihan yang selayaknya berbasis pada Purpose & Problem Statement.

Pengambilan keputusan dalam suatu proyek stratejik seperti HST, tidak semata pada aspek kuantitatif untung-rugi secara finansial, atau aspek kualitatif pada manfaat, maslahat serta mudarat. Selayaknya memperhatikan secara matang pada tatanan dan aspek sosial ekonomi secara logis (plausibility), aspek kelanggengan (viability) dan aspek kelayakan khususnya finansial.

Tekanan waktu, tidak terdefinisinya Problem Statement secara “clear & concise”, ketiadaan dukungan data hasil survei, serta tanpa rujukan pola pertimbangan dalam pengambilan keputusan (selection criteria), maka akan sangat sulit bagi BCG untuk menyusun “advise & recommendation”. BCG bagaikan terkena kondisi "fait accompli" atau mendapatkan buah simalakama. Tetapi jika kemudian BCG memunculkan “advise & recommendation” atas HST, akan berisiko pada reputasi BCG pada kemudian hari di dunia internasional.

Pada bagian awal disebut walaupun tidak digunakan dalam pembahasan, tentang BCG Matrix yang dalamnya ada pilihan strategi pertumbuhan Stars, Cash Cosw, Dogs, atau Question Marks alias Q-Marks.

Jika kemudian “advise & recommendation” sampai pada meja pengambil keputusan akhir yang konon  “Begitu masuk, akan kita putuskan detik itu juga” (kutipan dari artikel), maka kebutuhan dan penyediaan HST adalah pilihan terakhir pada Matrix BCG atau pada bagian atas sebutannya : Q-MARKS yang dalam arti sesungguhnya : DIRAGUKAN.

Lantas teringat lantunan suara merdu John Lennon, Paul Mc. Cartney dan Beatles :

Let it be ... let it be ... whisper words of wisdom ... let it be.

Semoga bermanfaat.

 

Arnold Mamesah & Laskar Initiatives

Awal September 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun