Memang IDR mengalami depresiasi terhadap USD tetapi kondisinya masih lebih baik dibandingkan beberapa negara BRICS seperti Brazil, dan Rusia (yang mengandalkan pendapatan dari penjualan minyak mentah); juga dibandingkan dengan Australia serta Kanada khususnya pada masa 2015.
Neraca perdagangan Indonesia dengan USA diberikan pada grafik berikut ini.
Dengan melihat pada grafik, ekspor cenderung tidak bertambah secara berarti; sementara nilai impor turun sebagai dampak kenaikan depresiasi nilai tukar IDR.
Gejolak Sistem Keuangan Dunia
International Monetary Fund (IMF) sedang dalam tahapan akhir untuk memasukkan mata uang China Yuan (CNY) dalam basket SDR (Special Drawing Right) yang direncanakan berlaku pada Januari 2016. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah China harus melepaskan kebijakan “pegging” pada nilai tukar CNY. Jika kemudian kebijakan “pegging” ditiadakan (diprakirakan pada September atau Oktober 2015), maka arus dana luar akan mengalir ke China karena pertumbuhan ekonominya lebih baik daripada USA dan juga tingkat imbalannya.
Spiral deflasi dan “Currency Wars” serta posisi USD yang super kuat akan berdampak balik pada perekonomian USA khususnya perdagangan dan penurunan kinerja korporasi. Kondisi ini akan terlihat pada laporan kinerja korporasi pada Triwulan-II dan Triwulan-III 2015. Jika terbukti kinerja korporasi tidak memuaskan dan proyeksi kinerja masa depannya juga tidak menjanjikan imbalan yang sesuai ekspektasi maka investor akan mencari tempat yang lain dengan menarik dananya dari USA. Dalam situasi ini akan timbul kepanikan pada pasar keuangan USA.
Kondisi panik ini akan menjalar sehingga berpotensi menimbulkan Krisis Besar pada Sistem Keuangan Dunia dan dapat disebut sebagai Great Deflation Crisis.
Indonesia adalah bagian dari sistem keuangan dunia dan situasi krisis membuat tidak nyaman namun tetaplah : Hope for the best and Prepare for the worst.