Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money

Langkah Elegan Perekonomian Indonesia

30 Juli 2015   02:36 Diperbarui: 29 Agustus 2015   17:04 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Biang Kerok dan Kajian

Dalam krisis kurs tukar muncul ungkapan seperti Fluktuasi Kurs Tukar ibarat Lingkaran Setan, Kambing Hitam turunnya Kurs Tukar, atau Ulah spekulan Biang Kerok turunnya kurs tukar. Daripada terjebak dalam istilah tersebut, lebih baik dijabarkan permasalahannya untuk membangun pemahaman dan mendapatkan solusi dengan pola analisis sebab-akibat (causal – effect).

Pertumbuhan Ekonomi Dunia dan Harga Minerba

International Monetary Fund (IMF) mempredisikanbahwa pertumbuhan ekonomi dunia 2015 pada 3.5%. dan hampir sama dengan 2014 (3,4%); sedangkan pada 2016 sebesar 3,6%. Permintaan dunia tidak akan banyak berubah dan terjadi efek deflasi atau penurunan harga untuk waktu panjang. Hal ini berdampak pada harga minerba (mineral dan batubara) yang merupakan kebutuhan industri, yang perkembangan indeks harganya dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Turunnya harga dan permintaan ditambah dengan kebijakan pemerintah yang tidak memperkenankan ekspor mineral mentah sejak 2014 menyebabkan tergerusnya penerimaan ekspor dalam USD (lihat grafik di bawah). Sementara pembangunan pabrik pengolahan mineral (smelter) membutuhkan waktu.

 

Penjelasan. Sumbu kiri dalam besaran USD Juta.

Pada sisi lain, pertumbuhan nilai ekspor hasil pertanian, perikanan, peternakan, dan kehutanan menunjukkan trend NAIK sedangkan nilai ekspor hasil pabrikan (manufacturing) dan olahan (process) trend-nya cenderung tidak berubah (standnat) seperti pada grafik di bawah ini. (Besaran nilai dalam USD Juta)

Tekanan Utang dan Kurs Tukar

Jika bicara soal depresiasi kurs tukar, alasan yang selalu disampaikan adalah faktor eksternal. Rencana kenaikan suku bunga acuan The Fed menjadi sentimen utama selain krisis utang pemerintah di luar negeri. Lalu bagaimana melihat utang dan nilai tukar ? Pada grafik berikut ini diberikan gambaran yang berkaitan dengan peningkatan utang dan naiknya kurs tukar.

Penjelasan. Sumbu Kiri dalam kurs tukar USD-IDR (biru) dan sumbu kanan besaran jumlah utang (debt) dalam USD Miliar.

Gambaran utang yang ditanggung berdasarkan industri dapat dilihat pada tabel berikut.

Dari grafik utang dan nilai tukar dan tabel besaran utang berdasarkan industri di atas serta memperhatikan trend ekspor dapat disimpulkan :

1. Telaah pada grafik untuk masa 2013 hingga Mei 2015, penyebab utama depresiasi kurs tukar USD-IDR adalah beban utang luar negeri khususnya pada utang swasta (lihat artikel : Bayar Utang Bikin Resesi).

2. Industri Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan dengan beban utang yang ditanggung serta melihat trend ekspor, selayaknya mampu terus bertumbuh dan berekspansi untuk peningkatan ekspor.

3. Industri Mining dan Drilling sangat terdampak karena tekanan harga internasional juga turunnya permintaan.

4. Industri Manufacturing dan Pengolahan memiliki peluang tetapi dalam beberapa sektornya harus menanggung beban akibat bahan mentah atau bahan setengah jadi yang dibutuhkan harus diimpor. Akibatnya, depresiasi kurs tukar akan menaikkan biaya produksi dan dampaknya mengurangi “product competitiveness”

5. Industri Electricity, Gas, Water Works akan terdampak depresiasi kurs tukar. Sehingga harga jual yang merupakan kebutuhan masyarakat dan pendukung industri (terutama listrik) akan naik. Pada sektor industri kenaikan biaya listrik menyebabkan kenaikan biaya produksi dan selanjutnya berdampak pada harga jual produk. 

6. Untuk industri lainnya akan mengalami dampak depresiasi nilai tukar berupa peningkatan jumlah kewajiban (liability) dalam neraca perusahaan. Sehingga perusahaan cenderung melakukan pengetatan biaya serta pengeluaran atau menaikkan harga jual yang tentu berdampak inflasi. (Tentang dampak pada Neraca Perusahaan, dapat dilihat pada artikel : Resesi Neraca dan Perubahan Perilaku dalam Langkah Pemulihan)

7. Khusus perbankan yang jumlah utangnya 45% dari total utang, depresiasi kurs tukar berdampak pada dua sisi yaitu (i) pada neraca berupa peningkatan jumlah utang dalam IDR dan (ii) pada sisi resiko khususnya pembayaran pengutang yang mencakup bunga dan pokok pinjaman; yang selanjutnya sangat berpotensi gagal bayar (debt default). Kondisi gagal bayar pada perbankan sudah pernah diungkapkan Gubernur Bank Indonesia ( Lihat artikel : BI Minta Bank Waspadai NPL). Perlu diingat bahwa dalam keadaan resesi masyarakat pemilik dana cenderung untuk menyimpan dana dalam bentuk tabungan atau deposito yang resikonya sangat rendah. (Lihat : Komposisi Deposito Meningkat). Dengan kondisi likuiditas yang berlebihan akibat meningkatnya dana simpanan serta rendahnya ekspansi kredit, perbankan akan berusaha mencari tambahan pendapatan. Bermain pada perdagangan valas (forex trading) merupakan godaan yang sangat menggiurkan walaupun menanggung resiko tinggi.

Mengurai Permasalahan

Bagaimanakah tanggapan masyarakat dan dunia usaha dalam menghadapi kondisi resesi saat ini khususnya berkaitan dengan depresiasi kurs tukar.

1. Terlepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau. Pada Rabu, 29 Juli 2015, berdasarkan laman Bank Indonesia, kurs tukar 1 USD (Dolar Amerika) adalah IDR (Rupiah) 13.511 (Jual / Sell) dan IDR 13.377 (Beli/Buy); sedangkan pada tanggal yang sama dua tahun lalu, 29 Juli 2013, kurs tukar untuk USD adalah IDR 10.321 (Jual / Sell) dan IDR 10.219 (Beli/Buy). Dengan sederhana, jika membandingkan angka kurs jual, telah terjadi kenaikan sebesar IDR 3.190; sekitar 30% dalam masa 2 (dua) tahun atau kenaikan majemuk tahunan (Compund Annual Growth) sebesar 14%. Seorang yang memiliki atau menyimpan sejumlah besar dana dalam mata uang Rupiah akan cemas melihat keadaan bahwa nilainya berkurang dalam USD. Dengan cara pikir sederhana, dana yang dimiliki akan ditukarkan menjadi USD supaya nilainya tidak tergerus dan dampaknya kebutuhan (demand) USD meningkat. Peningkatan permintaan tanpa diimbangi supply membuat kurs tukar semakin tertekan dan naik.

2. Utang Sebelit Pinggang. Kondisi pengutang yang menghadi keadaan utang yang membesar akan berusaha mengumpulkan dana Rupiah untuk mengurangi utang dalam USD agar beban berkurang. Maksudnya mengurangi beban justru meningkatkan permintaan USD dan kembali membuat tekanan yang menimbulkan depresiasi nilai tukar. Bukan utang yang berkurang; tetapi dana yang seharusnya dapat digunakan untuk peningkatan usaha atau investasi malah “hilang” tanpa mengurangi beban utang. Dengan kata lain, utang yang besar malahan semakin jadi lebih besar.

3. Pangkal Kaya bukan Berhemat. Ungkapan ini tentu mengingkari ajaran orang tua atau guru pada masa kecil.Tetapi memang demikian General Principle yang berlaku dalam Ekonomi khususnya dalam kondisi Resesi (Thrift Paradox). Korporasi dan masyarakat yang secara bersamaan melakukan tindakan penghematan termasuk mengurangi hingga meniadakan kegiatan investasi serta lebih memikirkan untuk menabung akan berdampak turunnya permintaan secara agregasi. Turunnya permintaan akan menekan pendapatan usaha sehingga kembali dunia usaha melakukan tindakan lebih berhemat. Akibatnya pendapatan masyarakat menjadi semakin berkurang (misalnya pengurangan upah atau bahkan pemutusan hubungan kerja) dan semakin menekan permintaan. Demikianlah kejadian terus berlangsung menimbukan efek penurunan bak spiral (downward spiral effect). Untuk dunia usaha, tanpa investasi tidak akan dapat meningkatkan pertumbuhan atau perluasan usaha yang berarti tingkat pendapatan pada masa mendatang tidak bertambah.

Dengan pola pikir yang ada dalam benak masyarakat tentunya 3(tiga) contoh di atas merupakan kontradiksi atau pertentangan. Apakah dapat disalahkan jika seseorang cemas akan kekayaannya yang menyusut atau berusaha mengurangi utang atau juga berhemat untuk antisipasi menghadapi keadaan yang memburuk.

Sebelumnya kondisi yang sering dihadapi adalah kenaikan harga (inflasi), tetapi dalam pasar internasional, bahaya besar yang mengancam perekonomian dunia adalah Deflasi yaitu penurunan harga secara berkelanjutan dalam waktu lama seperti pada minerba, minyak mentah dan gas, harga emas, dan komiditi pertanian juga.

Jika tidak sabar akan langsung muncul pertanyaan : Apa Solusinya ? Apakah kurs tukar yang mengalami depresiasi berkepanjangan dan turunnya harga minerba merupakan Kambing Hitam. Ataukah kenaikan utang luar negeri yang menjadi Biang Kerok atau permasalahanya pada pemahaman dan pengenalan masalah secara cermat dan cerdik sehingga tidak menjadi Lingkaran Permasalahan Tanpa Juntrungan dan Ujung atau sering disebut Lingkaran Setan.

Langkah Utuh Perekonomian Indonesia

Dari bahasan di atas langkah yang layak ditempuh adalah : 

1. Bagi Pemerintah. Kebijakan tidak mengetatkan anggaran (non austerity) dan melaksanakannya secara disiplin, walaupun harus melakukan tambahan utang, merupakan cara yang (telah terbukti) tepat. Pada sisi lain, pemerintah tidak sendiri dan memerlukan partisipasi masyarakat serta dunia usaha. Mengupayakan terwujudnya rasa aman dan nyaman dalam hal kepastian aturan, merupakan dorongan dan pemanis bagi dunia usaha untuk bergiat dan berinvestasi agar mendapatkan imbalan (return). Pada akhirnya yang akan menikmati adalah masyarakat juga dalam bentuk peningkatan pendapatan. Namun kemudian kelebihan pendapatan setelah pemenuhan kebutuham tercapai, selayaknya digunakan sebagai tabungan.

Sering muncul ungkapan atau jargon : Thinking Out of The Box, dari kalangan pemerintah pada tingkat pembantu presiden. Namun disayangkan tanpa pemberian makna yang tepat dalam menghadapi tantangan atau kendala. Apakah yang salah dalam “Box” sehingga harus berada di luar ? Jika kemudian “pemikiran” tersebut diaplikasikan ke dalam “box”, apakah pasti berjalan mulus dan membawakan hasil yang optimal ? Dalam lingkungan pemerintahan tentunya ada tatanan organisasi serta para pengabdi (public servant) yang juga ingin berpartisipasi. Akan lebih baik dalam lingkungan tersebut dikembangkan Pola Pikir Kritis untuk memecahkan masalah dan Pola Pikir Kreatif untuk membuka dan menangkap peluang yang semuanya dilakukan dengan semangat Kerjasama Kolaboratif. Dengan demikian bukan merupakan hal baru tetapi justru Back To Basic atau Kembali pada Tatanan.

Fokus pada penyelesaian permasalah ekonomi yang mendesak membutuhkan energi dan perhatian dari pemerintah sehingga penyelesaian masalah masa-lalu untuk sementara waktu sebaiknya dikesampingkan. Terlalu sering melihat kebelakang, akan berbuah kutuk menjadi Tiang Garam (Pillar of Salt).

2. Bagi Bank Sentral. Sebagai pengawal bidang moneter tentu akan menjalankan fungsi dan perannya dalam menjaga inflasi dan kurs tukar mata uang dengan berbagai strategi termasuk operasi pasar terbuka. Hanya yang perlu diingatkan bahwa terlalu fokus pada target inflasi akan berdampak pada suku bunga yang sulit turun dan selanjutnya mengurangi minat akan kredit pada dunia usaha. Berkurangnya kredit pada dunia usaha akan berdampak pada penurunan kegiatan terlebih pada penurunan investasi. Yang pasti No Return in the absence of Investment (Tiada Tuaian Tanpa Penanaman). Ikut dalam “Currency Wars” (devaluasi mata uang) sebagai strategi peningkatan ekspor terbukti tidak berhasil. Bahkan berdampak pada tekanan harga barang ekspor yang menggunakan bahan impor. Melalui cara persuasi dan regulasi, perlu mengingatkan perbankan akan resiko dan dampak balikan jika terlalu jauh bermain dalam perdagangan valas.

3. Bagi Dunia Usaha dan Masyarakat. Perlu koreksi perilaku dalam dunia usaha yang sarat dengan KKN, perilaku spekulasi, melupakan investasi dan fundamental usaha. Juga, terlalu termakan dengan isu serta sentimen negatif akan berdampak balikan yang bahkan lebih merugikan (lihat : Antisipasi Sentimen dan Spekulasi). Berhati-hati dalam berusaha atau sikap prudent memang perlu tetapi selalu perlu diingat bahwa No Pain No Gain. Membayar kewajiban utang merupakan niat baik tetapi memaksakan diri untuk membayar utang dengan pola pengetatan, untuk masa depan bukanlah kebijakan yang tepat. (lihat artikel : Bayar Utang Bikin Sesat).

Penyelesaian masalah resesi ekonomi bukan sekedar menggunakan logika berpikir biasa dalam upaya mendapatkan hasil dalam tempo sekejap. Berpijaklah pada "General Principles" yang telah terbukti dan langgeng dalam suatu horison waktu. Dalam pola itulah tiga butir di atas disusun menjadi Langkah Elegan Perekonomian Indonesia.

 

Catatan.

1. Sumber data : SEKI Bank Indonesia

2. Makna kata diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia :

- Becus : cakap, mampu

- Keruan : pasti, tentu

- Senonoh : patut, pantas

 

Pekan terakhir Juli 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun