1. Terlepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau. Pada Rabu, 29 Juli 2015, berdasarkan laman Bank Indonesia, kurs tukar 1 USD (Dolar Amerika) adalah IDR (Rupiah) 13.511 (Jual / Sell) dan IDR 13.377 (Beli/Buy); sedangkan pada tanggal yang sama dua tahun lalu, 29 Juli 2013, kurs tukar untuk USD adalah IDR 10.321 (Jual / Sell) dan IDR 10.219 (Beli/Buy). Dengan sederhana, jika membandingkan angka kurs jual, telah terjadi kenaikan sebesar IDR 3.190; sekitar 30% dalam masa 2 (dua) tahun atau kenaikan majemuk tahunan (Compund Annual Growth) sebesar 14%. Seorang yang memiliki atau menyimpan sejumlah besar dana dalam mata uang Rupiah akan cemas melihat keadaan bahwa nilainya berkurang dalam USD. Dengan cara pikir sederhana, dana yang dimiliki akan ditukarkan menjadi USD supaya nilainya tidak tergerus dan dampaknya kebutuhan (demand) USD meningkat. Peningkatan permintaan tanpa diimbangi supply membuat kurs tukar semakin tertekan dan naik.
2. Utang Sebelit Pinggang. Kondisi pengutang yang menghadi keadaan utang yang membesar akan berusaha mengumpulkan dana Rupiah untuk mengurangi utang dalam USD agar beban berkurang. Maksudnya mengurangi beban justru meningkatkan permintaan USD dan kembali membuat tekanan yang menimbulkan depresiasi nilai tukar. Bukan utang yang berkurang; tetapi dana yang seharusnya dapat digunakan untuk peningkatan usaha atau investasi malah “hilang” tanpa mengurangi beban utang. Dengan kata lain, utang yang besar malahan semakin jadi lebih besar.
3. Pangkal Kaya bukan Berhemat. Ungkapan ini tentu mengingkari ajaran orang tua atau guru pada masa kecil.Tetapi memang demikian General Principle yang berlaku dalam Ekonomi khususnya dalam kondisi Resesi (Thrift Paradox). Korporasi dan masyarakat yang secara bersamaan melakukan tindakan penghematan termasuk mengurangi hingga meniadakan kegiatan investasi serta lebih memikirkan untuk menabung akan berdampak turunnya permintaan secara agregasi. Turunnya permintaan akan menekan pendapatan usaha sehingga kembali dunia usaha melakukan tindakan lebih berhemat. Akibatnya pendapatan masyarakat menjadi semakin berkurang (misalnya pengurangan upah atau bahkan pemutusan hubungan kerja) dan semakin menekan permintaan. Demikianlah kejadian terus berlangsung menimbukan efek penurunan bak spiral (downward spiral effect). Untuk dunia usaha, tanpa investasi tidak akan dapat meningkatkan pertumbuhan atau perluasan usaha yang berarti tingkat pendapatan pada masa mendatang tidak bertambah.
Dengan pola pikir yang ada dalam benak masyarakat tentunya 3(tiga) contoh di atas merupakan kontradiksi atau pertentangan. Apakah dapat disalahkan jika seseorang cemas akan kekayaannya yang menyusut atau berusaha mengurangi utang atau juga berhemat untuk antisipasi menghadapi keadaan yang memburuk.
Sebelumnya kondisi yang sering dihadapi adalah kenaikan harga (inflasi), tetapi dalam pasar internasional, bahaya besar yang mengancam perekonomian dunia adalah Deflasi yaitu penurunan harga secara berkelanjutan dalam waktu lama seperti pada minerba, minyak mentah dan gas, harga emas, dan komiditi pertanian juga.
Jika tidak sabar akan langsung muncul pertanyaan : Apa Solusinya ? Apakah kurs tukar yang mengalami depresiasi berkepanjangan dan turunnya harga minerba merupakan Kambing Hitam. Ataukah kenaikan utang luar negeri yang menjadi Biang Kerok atau permasalahanya pada pemahaman dan pengenalan masalah secara cermat dan cerdik sehingga tidak menjadi Lingkaran Permasalahan Tanpa Juntrungan dan Ujung atau sering disebut Lingkaran Setan.
Langkah Utuh Perekonomian Indonesia
Dari bahasan di atas langkah yang layak ditempuh adalah :
1. Bagi Pemerintah. Kebijakan tidak mengetatkan anggaran (non austerity) dan melaksanakannya secara disiplin, walaupun harus melakukan tambahan utang, merupakan cara yang (telah terbukti) tepat. Pada sisi lain, pemerintah tidak sendiri dan memerlukan partisipasi masyarakat serta dunia usaha. Mengupayakan terwujudnya rasa aman dan nyaman dalam hal kepastian aturan, merupakan dorongan dan pemanis bagi dunia usaha untuk bergiat dan berinvestasi agar mendapatkan imbalan (return). Pada akhirnya yang akan menikmati adalah masyarakat juga dalam bentuk peningkatan pendapatan. Namun kemudian kelebihan pendapatan setelah pemenuhan kebutuham tercapai, selayaknya digunakan sebagai tabungan.
Sering muncul ungkapan atau jargon : Thinking Out of The Box, dari kalangan pemerintah pada tingkat pembantu presiden. Namun disayangkan tanpa pemberian makna yang tepat dalam menghadapi tantangan atau kendala. Apakah yang salah dalam “Box” sehingga harus berada di luar ? Jika kemudian “pemikiran” tersebut diaplikasikan ke dalam “box”, apakah pasti berjalan mulus dan membawakan hasil yang optimal ? Dalam lingkungan pemerintahan tentunya ada tatanan organisasi serta para pengabdi (public servant) yang juga ingin berpartisipasi. Akan lebih baik dalam lingkungan tersebut dikembangkan Pola Pikir Kritis untuk memecahkan masalah dan Pola Pikir Kreatif untuk membuka dan menangkap peluang yang semuanya dilakukan dengan semangat Kerjasama Kolaboratif. Dengan demikian bukan merupakan hal baru tetapi justru Back To Basic atau Kembali pada Tatanan.
Fokus pada penyelesaian permasalah ekonomi yang mendesak membutuhkan energi dan perhatian dari pemerintah sehingga penyelesaian masalah masa-lalu untuk sementara waktu sebaiknya dikesampingkan. Terlalu sering melihat kebelakang, akan berbuah kutuk menjadi Tiang Garam (Pillar of Salt).