Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money

Kebijakan Sporadis dan Dampak Perekonomian

12 Juli 2015   02:05 Diperbarui: 12 Juli 2015   02:05 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

4. Ongkos mudik bus per orang dari Jakarta ke Jawa Tengah Rp. 200.000,-, biaya pergi dan pulang Rp. 400.000,- sehingga untuk 6 (enam) orang biaya total Rp. 2.400.000,-

Dari perhitungan di atas, penggunaan kendaraan pribadi dengan fleksibilitasnya menjadi lebih menarik daripada bus.

Disinilah ditantang kejelian pemerintah untuk mendorong dengan pola insentif sehingga transportasi publik menjadi pilihan pemudik. Perlu dipertimbangkan bahwa dengan penggunaan uang untuk pembelian BBM serta pembayaran tol, perputaran uang menjadi lebih lambat daripada uang tersebut mengalir ke pengusaha dan tenagakerjanya.

Contoh sederhana yang dapat dilakukan berupa pemberian insentif langsung bagi tiap bus yang mengangkut pemudik dalam dalam bentuk kupon BBM dan kupon bebas biaya tol masing-masing untuk mudik dan milir (balik) serta insentif lainnya. Dengan demikian, tarif mudik akan lebih menarik dan sektor usaha meningkat pendapatannya.

Kasus ini sebenarnya berlaku tidak hanya pada transportasi masa mudik tetapi arahnya pada pemberdayaan usaha sektor transportasi termasuk transportasi dalam kota. Penggunaan transportasi publik akan mengurangi konsumsi BBM dan tentunya kemacetan di jalan raya serta menurunkan risiko kecelakaan.

Fenomena dan Paradoks Pengembangan Jalan Raya

Jalan raya sebagai bagian dari infrastruktur dan nadi perekonomian perlu tersedia dengan kondisi baik dan layak digunakan. Dukungan jalan raya sebagai sarana transportasi manusia dan barang sangat kritikal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan memperhatikan kebutuhan dan keterbatasan dana, pemerintah mengundang partisipasi swasta untuk pembangunan jalan tol sebagai alternatif yang penggunaannya dikenakan biaya. Ketentuan kerjasama antara dan pihak swasta tersebut disebut sebagai KPS (Kerjasama Pemerintah Swasta atau PPP : Public Private Partnership) dalam kurun waktu tertentu. Dalam pelaksanaan KPS pada jalan tol, tarif naik setiap 2 (dua) tahun yang merupakan amanat Pasal 48 UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang jalan tol, Pasal 68 Peraturan Pemerintah (PP) No 15 Tahun 2005 tentang jalan tol, serta Perjanjian Pengusaha Jalan Tol (PPJT) yang dilakukan dengan masing-masing operator. Akibatnya, walaupun volume kendaraan meningkat dan bahkan timbul kemacetan dalam jalan tol yang seharusnya bebas hambatan, masyarakat tidak dapat menolak jika diberlakukan kenaikan tarif. Kenaikan ini selalu menjadi keluhan masyarakat pengguna karena pada sisi lain jalan utama malah tidak berkembang dan mengutamakan pembangunan jalan tol yang selayaknya merupakan jalan alternatif. Dalam pengembangan jaringan jalan utama dan jalan tol, terutama dalam kota serta dengan pinggirannya, selayaknya mmemperhatikan bahwa peningkatan jalan sebagai solusi kepadatan akibat pertambahan kendaraan malahan akan meningkatkan minat pemakaian kendaraan pribadi dan kelak kembali menimbulkan kepadatan atau memindahkan kemacetan ke tempat yang lain (Braess Paradox).

Pemberdayaan Usaha dan Konsumsi BBM

Tulisan ini bukan bermaksud untuk memasalahkan keputusan pemberian diskon saat mudik lebaran 2015 yang sudah diberlakukan. Tetapi sebuah gugahan, agar terlebih dahulu memahami permasalahan secara komprehensif untuk mendapatkan solusi penyusunan kebijakan yang tujuannya untuk memberdayakan sektor usaha berdasarkan prinsip ekonomi.

Dari data Bank Indonesia, pada Maret 2015 porsi kredit perbankan untuk sektor transportasi dan komunikasi hanya 6,2% dari total kredit investasi dan pertumbuhan tahunan hanya 5,43%. Dengan demikian, sudut pandang perbankan, sektor transportasi dianggap tidak menarik dan kurang berkembang. Berdasarkan observasi, memang sarana angkutan publik secara rerata tidak dapat dikatakan baik sehingga, tidak mengundang minat pengguna dan menjadikannya sebagai pilihan utama. Implikasinya, usaha sektor transportasi menjadi tidak berdaya dan tidak berkembang dan selanjutnya tidak menciptakan tambahan lapangan pekerjaan bahkan mungkin pengurangan.

Juga, upaya menggeser atau merubah perilaku masyarakat untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi akan semakin sulit tercapai. Ditambah lagi dengan kebijakan baru Bank Indonesia yang mendorong pertumbuhan kredit kendaraan bermotor. Dengan demikian upaya penurunan tingkat konsumsi BBM akan sia-sia bahkan konsumsi terus bertambah. Sehingga akan meningkatkan impor BBM yang membutuhkan USD dan secara agregasi berkelanjutan berdampak pada tekanan depresiasi nilai tukar Rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun