Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money

Ketat Bikin Sekarat

2 Juli 2015   22:25 Diperbarui: 2 Juli 2015   22:25 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kondisi Faktual dan Trend Positif

Semester-II 2015 dibuka dengan kabar baik tentang inflasi Juni 2015 pada angka 0,54 % dan inflasi tahunan (Year on Year) sebesar 7,26%, sedangkan secara kumulatif semester-I berada pada angka 0,96%. Dengan menggunakan rerata (moving average) sejak 2009 untuk bulan yang sama, akan didapatkan proyeksi inflasi bulanan seperti pada grafik berikut ini.

Dari grafik beserta tabel di atas, yang perlu dicermati inflasi pada :
  1. Juli dengan prakiraan pada 1,27% (masa Hari Raya)
  2. Desember dengan prakiraan 0,90% (masa Hari Raya dan Tahun Baru)

Jika pada Juli dan Desember dicapai besaran inflasi pada kisaran 0,75%, maka inflasi tahunan 2015 akan berada pada angka di bawah 5%.

Indikator lain yang bergerak dinamis setiap hari adalah kurs tukar dan Indeks Harga Saham Gabungan dan diberikan pada grafik berikut.

Dari grafik kurs tukar USD, Euro, dan Dolar Singapore menunjukkan trend penguatan Rupiah (IDR); sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan mengindikasikan trend naik.

Dari dua grafik di atas, secara positif dapat disimpulkan bahwa kondisi perekonomian Indonesia pada jalur menuju pemulihan (Recovery) dan tidak terpengaruh (steril) terhadap kondisi eksternal seperti misalnya gejolak di zona Euro akibat penyelesaian utang Yunani.

Faktor Eksternal dan Austerity

Kamis 2 Juli 2015, harian Kompas menerbitkan artikel : “Pembelajaran dari Yunani” yang mengingatkan agar berhati-hati dalam mengambil keputusan berutang. Pada sisi lain, melalui media sosial beredar artikel “Currency War Makan Korban, Indonesia Termasuk Daftar Merah Negara Bangkrut” dengan berbagai tanggapan pro kontra. Sepintas langsung dapat dipahami dari judul dan isi artikel tentang pemahaman penulis akan makna Currency War. Istilah tersebut mirip dengan Devaluasi Mata Uang yang dilakukan dengan “sengaja” sebagai strategi menghadapi persaingan harga produk di pasar internasional. Dengan cara yang hampir mirip Tiongkok mempertahankan kurs tukar (pegging currency) walaupun Neraca Berjalan (Current Account) surplus.

Sengketa utang Yunani dengan tidak dibayarnya kewajiban kepada IMF (jatuh tempo pada 30 Juni 2015), sebenarnya menunjukkan keengganan pemerintah Yunani untuk mengikuti resep pemulihan perekonomian yang ketat (austerity) yang disodorkan Kelompok Troika. Kelompok ini mewakili pihak-pihak berkepentingan dalam penyelesaian utang Yunani yang mencakup European Commision, European Central Bank, International Monetary Policy. Pemerintah Yunani merasa sangat terganggu kedaulatannya apabila harus mengikuti resep Troika; dan akan dilakukan jajak pendapat (referendum) untuk mengetahui sikap rakyat Yunani.

Tidak jauh berbeda dengan prasyarat IMF yang diberikan bagi perekonomian Indonesia saat terjadi Krismon 1998, agar mendapatkan dana talangan. Pengetatan anggaran dan suku bunga tinggi, “Blanket Guarntee” penyelesaian utang (restrukturisasi) dan penjualan (“fire-sales”) asset (korporasi) merupakan resep yang wajib ditelan. Pada akhirnya, meninggalkan luka termasuk kasus BLBI yang ibarat ‘X-Files” tersimpan dalam lemari. Belajar dari Krismon 1998 dan sikap Yunani terhadap Troika, austerity bukan resep yang tepat.

Kondisi Perekonomian Terkini dan Anti-Austerity

Jelang tengah hari, Kamis 2 Juli 2015, melalui media sosial juga beredar “catatan pertemuan” yang dilakukan pekan terakhir Juni 2015, antara Menteri Keuangan, Deputy Senior Gubernur Bank Indonesia, dan pimpinan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan beberapa jurnalis senior (disebutkan seorang wartawan senior Kompas ikut hadir). Dalam catatan tersebut, diberikan  beberapa kondisi dan indikator yang menunjukkan trend positif. (Hal ini sesuai dengan hasil analisis penulis yang telah disampaikan dalam beberapa artikel, lihat artikel yang berkaitan pada bagian bawah).

Dalam artikel : “Penerimaan Tak Optimal, Menkeu Siap Tarik Utang Multilateral” Menteri Keuangan mengindikasikan bahwa penerimaan negara akan tidak optimal dan akan memenuhi kebutuhan dengan utang bilateral atau multilateral. Namun pada sisi lain, ada tantangan pada penyerapan anggaran belanja pemerintah. Sikap Menteri Keuangan dan kebijakan yang diambil perlu mendapatkan apresiasi dan dukungan. Dalam kondisi resesi peran pemerintah sebagai penggerak perekonomian sangat diperlukan sebagai stimulus dan pendorong sektor riel dan swasta sehingga ancaman pelambatan dan penyusutan ekonomi berkelanjutan dapat dieliminasikan.

Memperhatikan trend positif terkini yang menuju pemulihan dan keputusan menghindari pengetatan anggaran (anti-austerity), maka sangat tidak beralasan untuk tidak optimis menapaki tengah tahun kedua (Semester-II) 2015.

 

Catatan.

Austerity adalah sikap atau keputusan (khususnya pemerintah) untuk mengurangi belanja dan meningkatkan penghematan dalam hal keuangan agar defisit tidak menjadi besar.

Beberapa artikel yang terkait :

1. Asa Dalam Siklus Perekonomian

2. Sirkuit Kemelut Perekonomian

3. Solusi Krisis Dalam Fenomena Overdosis Utang

4. Terobosan Suku Bunga Sebagai Antisipasi Krisis

5. Gejala Krisis Akibat Depresiasi Rupiah Dan Tekanan Utang

 

Pekan Pertama Juli 2015

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun