Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money

Kompetisi hasil Marginal atau Koopetisi tapi Optimal

4 Juni 2015   21:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:21 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Sekilas Potret Maskapai Penerbangan
Dalam komentarnya yang dikutip media, Menteri Perhubungan I. Jonan mengaku tidak terkesan dengan penguasaan pangsa pasar penumpang domestik oleh grup Lion dan Garuda Indonesia sepanjang kuartal I 2015. Pernyataan ini mengindikasikan grup Lion dan Garuda memang mendominasi pasar penerbangan pesawat penumpang berjadual.
Sejak awal maskapai penerbangan Garuda Indonesia merupakan “flag-carrier” dengan rute domestik dan internasional. Sejalan dengan kompetisi pada penerbangan bertarif murah (low cost carrier), pada 2011 lahir Citilink bagian dari grup Garuda..
Maskapai Lion Air beroperasi tahun 2000 dikenal dengan tawaran tarif murah. Sejalan dengan strategi untuk unggul dalam pangsa pasar, Lion Air membentuk anak usaha antara lain Wings Air (domestik), Malindo Air (Malaysia), Thai Lion (Thailand), Bizjet (charter), dan Batik Air (premium) dan secara keseluruhan dapat disebut Grup Lion.
Selain grup Garuda dan grup Lion, rute domestik dilayani maskapai Sriwijaya (dan NAM anak perusahaan), Air Asia Indonesia, Kalstar, Express Air.
Jika grup Garuda dan grup Lion saling berkompetisi pada rute dalam negeri, menjadi dominan namun kemudian ditegur, bukan berarti yang lain perlu teguran juga.

Layanan, Pasar Domestik dan Finansial
Ternyata, masalah keterlambatan (delay) dan keselamatan (safety) yang menjadi sorotan Menteri Perhubungan. Sehingga kedua maskapai penerbangan tersebut diminta untuk meningkatkan kinerjanya. Sentilan dan teguran yang tepat. Tidak perlu dibantah, penyedia jasa penerbangan harus memperhatikan kualitas layanan bagi pengguna termasuk kepastian dan ketepatan waktu, jaminan keselamatan, serta layanan yang saling berkaitan sebelum hingga usainya perjalanan.
Rute yang dilayani, grup Garuda dan grup Lion, 80% lebih domestik dan lainnya internasional. Dengan hukum Pareto (Rule 80/20), dapat diperkirakan 80% pendapatan grup Garuda dan Lion berasal dari 20% dari jumlah rute layanan yang mengisi pundi-pundi pendapatan dalam mata uang Rupiah.
Jika ditinjau pesawat yang digunakan, pengadaannya melalui skema leasing atau sejenisnya dalam valuta asing. Dalam kondisi nilai tukar Rupiah (IDR) depresiasi (nilai tukar turun) terhadap Dolar Amerika (USD) (sejak 2012; rerata depresiasi hampir 12 % per tahun), dapat dibayangkan beban yang harus ditanggung grup Garuda dan  Lion (mungkin saja telah dilakukan lindung nilai atau hedging atas pinjaman dalam USD)

Kompetisi Ketat atau Ko-opetisi Luwes
Memperhatikan beban utang dalam valuta asing dan pendapatan dalam Rupiah, sudah selayaknya didorong agar grup Garuda dan grup Lion menambah pendapatan dalam valuta asing. Hal ini akan dapat dicapai dengan memperluas rute penerbangan internasional. Namun, masuk kancah persaingan internasional, tidak cukup dengan menawarkan tarif murah tetapi menyangkut jaminan layanan dan upaya pemasaran serta kesiapan sumber daya.
Dalam kompetisi (persaingan) dan perebutan pangsa pasar domestik, grup Garuda dan Lion banyak menggunakan sumber daya. Walaupun mengedepankan layanan, bersaing dalam tarif tetap faktor penting. Sehingga, upaya yang dilakukan dengan penambahan biaya dalam upaya memenangkan kompetisi dan tekanan pendapatan akibat tarif yang bersaing ketat, berdampak menipiskan marjin usaha yang kemudian menurunkan kemampuan membayar kewajiban utang dalam valuta asing.
Kompetisi atau persaingan memang bermanfaat bagi pengguna jasa; tetapi dalam kondisi maskapai penerbangan yang tersandera kewajiban utang, akan berdampak pada kelanggengan atau kelangsungan hidup grup maskapai. Selanjutnya, menghadirkan kembali “monopoli baru” atau layanan tanpa pilihan atau persaingan dengan segala implikasinya.
Jika kemudian langkah yang akan dilakukan berbentuk “Ko-operasi” dalam pemahaman bekerjasama melaksanakan kegiatan operasional, hal tersebut tidak yang mudah karena latar belakang persaingan.
Pilihan yang lebih sesuai adalah ko-opetisi (Co-opetitive) dan pemahaman sederhananya “operasionalisasi yang saling melengkapi”, bertujuan mengurangi duplikasi serta optimalisasi sumber daya. Contoh sederhana pada rute utama (baca : rute ramai), jadual yang hampir bersamaan, diatur misalnya berselang waktu 2 (satu) jam. Dengan demikian memberikan opsi atau pilihan bagi pengguna dan dapat diharapkan “okupansi” tinggi. Demikian juga untuk penyelenggaraan layanan pada “front-end” dan pengaturan rute secara terintegrasi; tentunya perlu dipetakan fungsi yang bisa diintegrasikan..
Selanjutnya, untuk rute internasional, saling berbagi fokus sehingga tidak terjadi duplikasi dan memberikan hasil yang optimal serta menghasilkan valuta asing.
Pada akhirnya butuh kedewasaan dan kematangan dari masing-masing grup untuk segera berinisiatif dan dalam upaya membina ko-opetisi ini, selayaknya Kementerian Perhubungan berperan aktif.
Kenapa tidak dicoba.

Catatan. Model koopetisi ini dapat juga diaplikasikan ke industri lainnya.

Awal Juni 2015 - Arnold

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun