Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money

Solusi Krisis Akibat Overdosis Utang

3 Juni 2015   13:15 Diperbarui: 20 Oktober 2015   17:10 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komentar dan Kenyataan

Memperhatikan komentar lembaga multilateral, Bank Dunia, Asian Development (ADB), IMF, terhadap perekonomian Indonesia semua positif. Presiden ADB medio Januari 2015 saat bertemu dengan presiden Jokowi melontarkan pujian dan komitmen dukungan atas rencana pembangunan Indonesia. Presiden Bank Dunia yang bertemu presiden pada 20 Mei 2015 langsung menjanjikan pinjaman sebesar USD 12 Miliar pada tahun mendatang. Dalam dokumen IMF, Regional Outlook – Asia & Pacific, diprakirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai setidaknya 5%, walaupun triwulan pertama 2015 hanya 4.7%.

Sementara Menteri Keuangan pesimisme dan mengkoreksi target pertumbuhan menjadi 5.4% tanpa mengurangi belanja dan akan berdampak kenaikan defisit anggaran. Gubernur Bank Indonesia memberikan prakiraan pertumbuhan 5,1% dan mengantisipasi inflasi dan kurs tukar. Tepat 1 Juni 2015, BPS mengumumkan inflasi Mei 2015 pada 0,50% dan secara tahunan besarannya 7,15%.

Memang, pertumbuhan perekonomian tidak dapat diukur secara “snapshoot” tetapi pada rentang-waktu dengan memperhatikan faktor dalam pertumbuhan tersebut.

Sekilas Perekonomian 2011 - 2014

Berbasis pada informasi dari Badan Pusat Statistik (Statis Ekonomi dan Perdagangan) dan Bank Indonesia (Statitik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI); Special Data Dissemination Standar (SDDS)), dilakukan pengamatan dan pengukuran pada Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB atau GDP), Utang Luar Negeri (External Debt), Neraca Perdagangan (Trade Balance), dan Kurs Tukar USD (Exchange Rate) untuk 2011 – 2014. Hasil pengolahan menggunakan spreadsheet, dirangkum dalam tabel berikut ini.

 Tabel-1 : Indikator Ekonomi 2011 - 2014

Keterangan :

1. Nilai Tukar Rupiah (Exchange Rate) berdasarkan kurs tengah harian dan rerata tahunan.

2. Defisit Fiskal berdasarkan selisih penerimaan dan pengeluaran negara

3. CAGR : Compound Annual Growth Rate 2011 – 2014

Dari tabel dapat diatas dapat diambil konklusi sebagai berikut.

1. Utang sebagai “Input” bertumbuh signifikan (9,16% pada Total dan 15,26% pada Private) tidak berkontribusi pada “Output” (GDP dan Export), sehingga diprakirakan penggunaan utang bukan pada sektor produktif yang berorientasi ekspor.

2. Nilai ekspor turun pesat juga impor, tetapi penurunan drastis pada surplus perdagangan. Penurunan surplus perdagangan dan peningkatan utang berdampak pada depresiasi kurs tukar Rupiah terhadap USD.

3. Peningkatan defisit anggaran tidak sejalan pertumbuhan; mengindikasikan bertambahnya beban pengeluaran hal yang tidak produktif juga dalam hal efisiensi anggaran.(Tentang efisiensi dan ICOR (input Capital Output Ratio, lihat artikel : Terobosan Suku Bunga Sebagai Antisipasi Krisis)

Telisik Utang

Perlu diperhatikan komposisi utang swasta, penggunaan dan maturitas utang  seperti pada 3 (tiga) tabel berikut ini.

 Tabel-2 : Komposisi Utang berdasarkan Industri

Tabel-3 : Pertumbuhan Utang berdasarkan Penggunaan

Tabel-4 : Komposisi Utang Private berdasarkan Maturitas (Jatuh Tempo)

Dari 3 (tiga) tabel di atas ada beberapa catatan.                                            

1. Peringkat pertama pengutang industri keuangan (bank & leasing) dengan pertumbuhan 13,72%. Sebagai sumber pendanaan, hal ini dapat dimaklumi. Tetapi dibandingkan pertumbuhan PDB dan ekspor, pendanaan yang dilakukan tidak produktif, bahkan menjurus konsumtif atau bahkan spekulatif.

2. Peringkat kedua manufacturing menghadapi persaingan dan tekanan harga di pasar manca negara sehingga pendapatan turun. Juga pada Mining & Drilling sehingga diprakirakan akan kesulitan memenuhi kewajiban utang. Pada peringkat selanjutnya, hampir semua pendapatannya dalam Rupiah sehingga depresiasi nilai tukar berdampak tambahan beban perusahaan (kecuali diberlakukan lindung nilai atas utangnya)

3. Dalam penggunaan utang, Refinancing bertambah 36,19% mengindikasikan adanya permasalahan dalam tata kelola utang. Sementara utang untuk Investasi hanya bertambah 6,48% menunjukkan kurangnya minat dan daya tarik berinvestasi atau kecilnya proyeksi imbalan (return). Hal ini pertanda awal pada proyeksi pertumbuhan masa mendatang akan tertekan akibat rendahnya pertumbuhan investasi.

4. Dari jumlah utang dengan maturitas kurang dari satu tahun USD 46.765,67 berarti sejumlah USD 11.691 Juta diperlukan (secara rerata) per triwulan untuk pemenuhan kewajiban. Surplus perdagangan hanya sebesar USD 6.980 Juta (Triwulan IV 2015) sehingga ada kekurangan (defisit) dan berlanjutnya tekanan depresiasi nilai tukar. (Lihat kajian dalam artikel : Gejala Krisis Akibat Depresiasi Rupiah dan Tekanan Utang)

5. Dampak utang dan depresiasi nilai tukar bagai spiral down ward yang menambah beban pihak swasta sehingga (sangat) berpotensi “default” (wanprestasi utang) berlanjut dengan kebangkrutan atau pengambilalihan perusahaan.

So What Next

1. “BOLEH ATAU TIDAK BOLEH UTANG” bukanlah kesimpulan. Utang diperlukan negara dalam pembangunan demi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan serta memenuhi kekurangan anggaran. Bagi perusahaan, utang untuk ekspansi dan operasional sehingga meningkatkan marjin atau keutungan. Permasalahannya pada tata kelola utang dalam pemerintahan atau perusahaan termasuk sektor keuangan (perbankan), yang beraroma “moral hazard” dari pelakunya.Utang ibarat obat penguat adalah “input” yang dengan perencanaan, disiplin tata kelola dan pengendalian akan memberikan “output” (jangka pendek) dan “outcome” (jangka panjang) berupa peningkatan pertumbuhan ekonomi bagi negara; atau peningkatan imbalan dan “value” perusahaan. Peningkatan utang tanpa pertumbuhan ibarat “overdosis obat berdampak komplikasi”.

2. Kondisi anggaran defisit yang dibiayai dengan utang bukan hal membahayakan sejauh defisit itu timbul untuk kebutuhan pembangunan. Tetapi defisit anggaran berkepanjangan dan terus meningkat tanpa diimbangi pertumbuhan ekonomi akan membentuk lilitan utang yang tidak berkesudahan (Debt Downward Spiral).

3. Fluktuasi Kurs tukar merupakan indikator keadaan perekonomian negara dalam perdagangan mancanegara. Depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD mengindikasikan turunnya kemampuan produksi dalam kompetisi perdagangan mancanegara.

4. Peningkatan utang dengan variasi defisit anggaran, depresiasi nilai tukar, dan turunnya nilai ekspor (disertai turunnya surplus perdagangan) ibarat TRILEMA permasalahan dalam “TURBULENSI” krisis perekonomian yang membelenggu tanpa kesudahan.

5.  Dalam perekonomian “UNDER PRESSURE”, Menteri Keuangan sangat elegan dengan berkomitmen dan akan berupaya “all-out”, tidak pelit dengan mengurangi anggaran dan terus “BELANJA”. Selayaknya komitmen yang sama dilakukan perusahaan dan rumah tangga untuk tetap belanja dan berkonsumsi bahkan “BOROS’ jika dimungkinkan. (Ingat : “Paradox of Thrift”). Putusan “cerdas” saat pemerintah berinisiatif dan berupaya penuh menjadi penggerak utama perekonomian melalui proyek infrastruktur negeri.

Lantas, adakah solusinya agar krisis tidak menjadi lebih dalam ? Ya … “See Number-1 above” 

 

Awal Juni 2015 - Arnold

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun