Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Gejala Krisis Akibat Depresiasi Rupiah dan Tekanan Utang

18 Maret 2015   18:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:28 1428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Potret Kondisi Ekonomi Aktual

Dalam dua bulan pertama 2015, indikator ekonomi memberikan harapan tetapi juga ancaman bagi perjalanan pembangunan selanjutnya.

Dua bulan pertama yaitu Januari dan Februari 2015, angka inflasi menunjukkan penurunan masing-masing -0.24% dan -0.36% berturutan. Sementara pada neraca perdagangan luar negeri, BPS menerbitkan untuk masa Januari 2015 angka ekspor sebesar USD 13.300 juta dan angka impor sebesar USD 12.590 juta sehingga terjadi surplus sebesar USD 710 juta. Sedangkan untuk masa Februari 2015, angka ekspor sebesar USD 12.290 juta dan angka impor sebesar USD 11.550 juta dengan surplus sebesar USD 740 juta

Namun pada sisi lain, nilai tukar Rupiah (IDR) terhadap Dolar Amerika (USD) mengalami penurunan (depresiasi) dan hingga pekan ketiga Maret telah akrab dengan kisaran 13.000-an (Data BI 18 Maret 2015 : Kurs jual : Rp. 13.230; Kurs beli : Rp. 13.098 untuk USD 1).

Untuk mengembalikan keperkasaan Rupiah yang kecenderungannya kian melemah, pemerintah menerbitkan paket kebijakan ekonomi yang terdiri dari 6 (enam) butir antara lain berkaitan dengan (1) insentif pajak, (2). bea masuk anti dumping, (3).pembebasan visa bagi wisatawan dari 30 (tiga puluh) negara, (4).peningkatan penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) hingga 15% untuk solar, (5). kewajiban penggunaan Letter of Credit (L/C) untuk produk sumber daya alam, (6) pembentukan perusahaan reasuransi domestik. Terhadap paket kebijakan yang diterbitkan ini, tentunya sudah dilakukan pengkajian dan dampaknya mungkin akan terasa setelah 3(tiga) bulan berjalan.

Banyak komentar dan analisis yang telah diberikan terhadap keadaan yang menyangkut penurunan angka inflasi, surplus perdagangan dan depresiasi nilai tukar mata uang Rupiah.

Pada Harian Kompas terbitan 18 Maret 2015, dalam rubrik Opini, ahli ekonomi A. Prasetyantoko, melalui artikel berjudul Mengurai Benang Kusut Rupih, memberikan ulasan kerumitan dalam mencari solusi untuk penguatan Rupiah. Demikian halnya Presiden Jokowi pada akhir pekan lalu menugaskan para menteri pembantunya, khususnya bidang ekonomi, untuk membuat Rupiah kuat dan perkasa.

Dimanakah akar masalah yang membuat Rupiah luntur dan apa implikasinya ?

Posisi Utang Luar Negeri

Bank Indonesia secara berkala menerbitkan data statistik utang luar negeri yang dilakukan pemerintah dan pihak swasta. Posisi pada akhir Desember 2014, utang luar negeri dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Posisi Utang Luar Negeri per 31 Desember 2014

Berdasarkan Kategori Pengutang

1426674804485470765
1426674804485470765

Tabel 2. Posisi Utang Luar Negeri per 31 Desember 2014

Berdasarkan Kategori Jangka Waktu Utang

14266748872111761398
14266748872111761398

Tabel 3. Posisi Utang Luar Negeri Swasta per 31 Desember 2014

Yang Jauh Tempo dalam Masa 2015

14266749711448434871
14266749711448434871

Dari tiga tabel di atas, dapat dilihat bahwa dari utang luar negeri sebesar USD 292,578 Juta, sejumlah USD 162.842,81 Juta atau sebesar 56% merupakan porsi swasta.

Mencermati Tabel-3, utang dengan masa jatuh tempo yang kurang atau sama dengan 1 (satu) tahun berjumlah USD 48.693,45 juta. Secara rerata dapat dihitung bahwa kebutuhan Dolar Amerika (USD), per triwulan sebesar 12.173 Juta atau per bulan sebesar USD 4.058 Juta atau per hari sebesar USD 185 Juta (. Jika diasumsikan hari-usaha per bulan adalah 22 (dua puluh dua)).

Bandingkan dengan surplus perdagangan masa Januari & Februari 2015 masing-masing sebesar USD USD 710 juta dan USD 740 juta atau secara keseluruhan USD 1.450 juta, ketersediaan USD masih sangat kurang dari kebutuhan yang ada untuk pemenuhan kewajiban utang.

Anomali Pemanfaatan Utang Swasta

Dari data yang diterbitkan Bank Indonesia, ada hal yang perlu dicermati berkaitan dengan pertumbuhan utang swasta dan tujuan pemanfaatannya.

Tabel 4. Pertumbuhan Utang Luar Negeri Swasta dan Pemanfaatannya

Masa 2012 – 2014 (Per 31 Desember 2014)

14266752802066917945
14266752802066917945

Dari tabel di atas, jumlah pertumbuhan utang per tahun sejak 2012 hingga 2014 masing-masing 19%, 13%, 13%. Perlu dicermati, pada 2013 dan 2014 terjadi peningkatan utang untuk Refinancing masing-masing sebesar 51% dan 60%. Indikasi ini mengarah pada kinerja pengutang yang tidak berhasil memenuhi kewajibannya secara penuh sehingga dilakukan Refinancing. Kondisi demikian mengarah pada praduga kegagalan dalam pemanfaatan utang atau pemanfaatannya untuk kegiatan non-produktif atau bahkan menjurus pada spekulatif (Asset Bubbling) dan hal ini sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan Debt-Default dengan berbagai implikasinya.

Depresiasi Rupiah dan Ekspor

Dalam beberapa pernyataan yang dikeluarkan, depresiasi Rupiah konon memberikan manfaat pada peningkatan nilai ekspor. Dari sisi neraca perdagangan, memang terjadi surplus tetapi yang tidak dapat disangkal, nilai total ekspor juga turun yang diikuti dengan penurunan nilai impor. Turunnya impor salah satu pemicunya adalah penurunan harga minyak dunia. Tetapi perlu dilihat kecenderungan penurunan nilai ekspor dan kaitannya dengan depresiasi Rupiah.

Dari pengolahan data ekspor masa Januari 2012 hingga Februari 2015 dan kurs tengah USD terhadap Rupiah didapatkan grafik seperti di bawah ini.

Grafik 1. Ekspor dan Nilai Tukar USD - Rupiah

Masa Januari 2012 - Februari 2015

1426676644305638142
1426676644305638142
Catatan. Bar biru merupakan representasi nilai tukar USD-Rupiah sedangkan garis coklat mewakili nilai ekspor dalam besaran USD Juta.

Dari kurva di atas dan dengan pengujian korelasi sederhana, alasan depresiasi Rupiah akan berdampak pada peningkatan nilai ekspor tidak dapat diterima atau dipertanggungjawabkan.

Tekanan Utang dan Depresiasi Rupiah

Seringkali depresiasi Rupiah dihubungkan dengan peningkatan ekonomi Amerika (USA) dan akan pemberlakuan kebijakan The Fed USA untuk menaikkan suku bunga acuan sehingga berdampak pada berbaliknya aliran dana Dolar US dan keluar dari Indonesia. Pada sisi lain, dalam menghadapi kuatnya mata uang USD, beberapa negera cenderung melakukan depresiasi mata uangnya terhadap USD agar ekspor barang produksinya bersaing. Perang nilai tukar mata uang (Currency War) ditambah dengan kecenderungan Deflasi (Penurunan Harga untuk masa panjang, termasuk penurunan harga minyak di pasar internasional), juga melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia termasuk pertumbuhan ekonomi RRT yang mengarah pada pertumbuhan normal 7% menjadi gejala-gejala awal krisis ekonomi dunia.

Terlepas kondisi global, jika dikaji lebih dalam, ada fenomena yang menarik terjadi pada masa 2012 hingga sekarang atas depresiasi Rupiah dan peningkatan jumlah utang luar negeri swasta.

Tabel 5. Peningkatan Utang Yang Jatuh Tempo Kurang dari Satu Tahun dan

Kurs Tengah USD – Rupiah masa 2012 - 2014

1426677072364517362
1426677072364517362

Representasi grafis dari tabel adalah sebagai berikut.

14266777571751760834
14266777571751760834

Penjelasan Grafik.

Bar berwarna biru merupakan representasi jumlah utang swasta yang jatuh tempo kurang dari 1(satu) tahun dengan skala pada bagian kiri (Rentang : USD 30.000 juta - USD 55.000 juta), sedangkan garis coklat merupakan representasi nilai tukar USD - Rupiah (Rentang : 8.000 - 14.000), masing-masing dengan "trend forecast".

Dari pengujian ternyata peningkatan jumlah utang yang jatuh tempo sangat erat hubungannya dengan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD. Hal ini merupakan jawaban atas kondisi depresiasi mata uang Rupiah terhadap Dolar US.

Antisipasi Krisis

Dari kajian terhadap depresiasi mata uang, beban dan tekanan utang luar negeri, dan penurunan ekspor serta kondisi global, pemerintah harus bersiap mengantisipasi kondisi depresiasi nilai tukar Rupiah akan berlangsung lama dan berkelanjutan dengan indikasi dan gejala sebagaimana diuraikan di atas.

Kebutuhan untuk pemenuhan kewajiban utang luar negeri rerata per bulan lebih dari USD 4 milyar dan surplus perdagangan kurang dari USD 1 Milyar, akan terus memberikan tekanan depresiasi pada Rupiah. Kekurangan akan kebutuhan mata uang USD terpaksa harus ditutupi dengan tambahan utang atau Refinancing. Kondisi ini bak spiral yang membawa tekanan finansial (Financial Depression) yang semakin besar dan mengarah pada “Debt-Default”.

Penggunaan utang untuk hal yang tidak produktif dan menuju pada tindakan spekulatif akan berdampak pada kondisi penggelembungan aset secara tidak wajar (Asset Bubble) dan pada saatnya terjadi ledakan (Asset Bursting) diikuti dengan KRISIS KEUANGAN lantas yang akan timbul hanyalah penyesalan.

Pesan sederhananya : Jangan abaikan gejala yang sudah nyata terjadi dan perlu bersikap "cerdas, cekatan, dan cermat".

Demikianlah dan setidaknya sudah disampaikan !

Pekan ketiga Maret 2015

S. Arnold Mamesah – Laskar Initiative

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun