Tak asing lagi mata kita sering menjumpai sebuah tanda larangan di jalan seperti; dilarang parkir, dilarang belok kiri atau kanan dan tanda larang lainnya di jalan maupun di sebuah ruangan dan lain sebagainya. Â
Namun di sini saya lebih fokus soal tanda larangan parkir. Ada saja, dan dianggap biasa saja oleh pengendara roda dua maupun roda empat terhadap sebuah tanda larangan tersebut.
Beberapa hari yang lalu saya dan saudaraku pergi ke kantor HRD tempat rekrutmen karyawan baru di salah satu perusahaan PT IWIP, Halmahera Tengah. Sesampainya di depan kantor pelayanan (HRD) banyak kendaraan roda dua terparkir tidak karuan di sepanjang jalan.
Sayapun berhenti dan ingin parkir juga di tempat itu. Pikir saya masih bisa karena ada celah sedikit. Namun di situ ada salah seorang sekuriti yang setia menjaga area parkiran.
Karena ada sekuriti, saya dengan bahasa tubuh dan mata saya menoleh pada si sekuriti tersebut bermaksud semoga ia mengizinkanku parkir di tempat itu. Namun, dengan gerakan tangan si sekuriti menyuruhku parkir di tempat lain. Sayapun mengikuti sesuai dengan arahannya.
Karena banyaknya kendaraan roda dua parkir di sepanjang jalan. Akhirnya, saya parkir cukup jauh dari kantor pelayanan (HRD). Sehingga, saya harus jalan kaki dari tempat parkiran menuju (balik) kantor HRD sekitar 1 km.
Bagi saya jalan kaki sudah biasa karena selama di kampung sudah terbiasa jalan kaki ketika pergi ke kebun sejauh kurang lebih 6 sampai 7 km.
Anehnya, di tempat parkir tersebut, ada sekitar tiga tanda larangan parkir juga "dijaga ketat sekuriti," tapi kenapa orang-orang tetap parkir di area tersebut? Bagaimana bisa, kan ada sekuriti?
Kalaupun mereka bisa parkir di tempat itu walaupun ada tanda larangan plus sekuriti mengapa saya tidak diperbolehkan? Dan kenapa juga saya harus jauh-jauh parkir, padahal saya bisa melawan dengan sekuriti bukan?
Setelah saya amati ternyata ada tiga faktor mengapa banyak kendaraan roda dua parkir di sepanjang jalan tersebut walau sudah ada tanda larangan yaitu;