Saat itu aku memutuskan pindah jurusan. "Lebih baik kamu ambil jurusan Antropologi kebetulan di situ ada temanmu Hengki" paman Eman memberikan saran padaku. Â "Oh, baik paman" jawabku.
"Kayaknya jurusan ini menarik, mungkin di sana aku bisa belajar tentang bintang atau planet-planet luar angkasa" dalam hati kecilku berkata.
"Kalau kamu sudah lulus tes masuk jurusan Antropologi nanti semester dua baru pindah ke teknik" kata paman. "Oh iya, betul paman" sahutku. Aku pun mendaftar dan mengikuti tes tertulis.
Hasilnya, dari tiga pilihan jurusan yang aku pilih yaitu Antropologi, Sosiologi, dan Politik. Akhirnya aku lulus di Antropologi.
Enam bulan kemudian, masuk semester dua. "Bagaimana kamu mau pindah jurusan?" paman bertanya padaku. "Tidak. Aku di antropologi saja paman" sahutku. "Oke!" lanjut paman.
"Paman, aku pikir antropologi itu seperti astronomi belajar tentang matahari, bulan, bintang, dan planet-planet" kataku pada paman saat kami nongkrong di sebuah kantin minum kopi. "Hahaha" kami pun tertawa lepas bersama.
"Jadi kamu pikir belajar itu makanya tertarik" lanjut paman. "Iya paman" sahutku.
"Tapi menarik belajar antropologi, makanya aku tidak jadi pindah ke teknik" lanjut percakapanku dengan paman di kantin. "Iya tapi minim diminati orang (mahasiswa) karena menurut mereka antropologi hanya belajar tulang-tulang" dengan serius paman menanggapinya.
"Betul paman, tapi antropologi tidak hanya belajar tulang-tulang. Belajar tulang-tulang itu hanya salah satu cabang dalam antropologi. Namun belajar antropologi itu luas" aku sedikit bertutur kepada paman.
"Dan belajar kerangka manusia atau yang mereka katakan belajar tulang-tulang itu menurut saya menarik juga karena mengidentifikasi manusia yang tinggal tulang" lanjutku.
"Bagaimana itu, bisa kamu gambarkan sedikit?" tanya paman karena penasarannya itu.
"Misalkan dalam suatu peristiwa, manusia tinggal tulang. Kita bisa mengetahui siapa orang dari kerangka (tulang-tulang yang ada) itu baik rasnya, suku, bahkan wajahnya bisa dikonstruksi kembali menggunakan antropologi forensik" jelasku pada paman. "Wow manarik" paman terkejut.
Satu tahun kemudian, adikku kuliah juga satu kampus denganku begitu pun dengan adik paman Eman.
Seiring berjalannya waktu, aku tak pernah pulang kampung selama dua tahun. "Nak desember ini pulang dulu" kata ayah dalam telpon. "Aku belum pulang" sahutku.
Karena aku masih ingat dengan ucapan ayah sebelum berangkat ke Manado bahwa "tidak boleh pulang sebelum selesai (wisuda)". Sehingga aku bertekad bahwa aku pulang harus sudah wisuda.
Tetapi ayah terus memaksaku pulang. Akhirnya desember 2017 aku pulang, natal dan tahun baru di kampung halaman. Namun di rumah tidak seperti yang kubayangkan. "Kalau aku tahu, lebih baik tidak pulang" aku kecewa setelah sampai di rumah.
Bersambung...
Bailengit, 11 Februari 2023
Arnol Goleo [13:05 WIT]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H