Mohon tunggu...
Arnol Goleo
Arnol Goleo Mohon Tunggu... Lainnya - Anakmomen

"Cukup pagi hari 'kau minum air susu ibumu', jangan sampai malam 'kau genggam buah dadanya.'"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Agar Manusia Tak Sombong

20 September 2022   21:41 Diperbarui: 20 September 2022   21:45 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapakah Tuhan itu? Di manakah keberadaan-Nya? Kemanakah kita harus mencari-Nya?

"Konon, Tuhan itu tidak ada. Tuhan itu telah mati. Jika Anda mengatakan Tuhan itu ada, bisakah Anda tunjukan keberadaan-Nya?"

Bila Tuhan itu tidak ada atau mati, beranikah Anda menghadap ke langit dan mengatakan jika Tuhan itu ada saya minta dilumpuhkan kedua kakiku ini ucapkanlah berkali-kali setiap hari, beranikah Anda? Atau "Anda menghadap langit dan berkata bila Engkau benar-benar ada cabutlah nafasku ini, ucapkan setiap Anda bangun pagi, beranikah Anda?"

Kalau Anda tidak berani mengatakan hal itu atau ragu dalam hati dan pikiran Anda berarti Anda percaya bahwa Tuhan itu ada.

Ada lagi yang mengatakan bahwa ateis tidak percaya Tuhan. Apakah Anda membenarkan pernyataan tersebut?

Manusia memiliki keterbatasan akal begitu juga orang ateis karena semua manusia pada dasarnya sama. Sama-sama memiliki batas akal.

Ini sejalan dengan apa yang telah ditulis oleh Antropolog Inggris James G. Fazer dalam bukunya The Golden Bough tentang Teori Batas Akal. Ia mengatakan bahwa dalam kebudayaan masyarakat dahulu meyakini ada kekuatan di luar dirinya yang tak bisa dilakukan oleh mereka sehingga mereka menyakini itu. Inilah yang disebut dengan "kepercayaan atau agama." Inilah yang disebut dengan batas Akal.

Melihat teori Frazer jelas bahwa dari dulu masyarakat sudah mengenal tentang kepercayaan "(agama)" tidak seperti yang dituduhkan manusia modern saat ini, dengan kalimat "moyang kita belum beradab." Hanya saja konteks penyebutan Tuhan berbeda karena beda bahasa dan kebudayaan kita.

Mungkinkah "Anda salah satu bagian dari mereka yang mengaggap bahwa masyarakat terdahulu belum beradab atau beragama?" Bagi saya, mereka tidak primitif seperti yang dituduhkan ke mereka sebab merekalah pertama kali meletakkan dasar tentang keyakinan atau agama.

Mengapa? "Bagi saya moyang kita lebih manusiawi daripada manusia beragama saat ini" kerena mereka bukan saja menghargai sesama manusia tetapi mereka juga menghargai alam dan seisinya. Sebab mereka percaya semua itu adalah ciptaan-Nya yang patut dihargai dan dipelihara.

"Tatapi dulu moyang kita belum mengenal agama kan? Masih menyembah pohon batu dan lain-lain."

Batu, pohon, dan semacamnya adalah media untuk melakukan suatu pertemuan atau pun dalam hal ritual-ritual lain yang dipakai oleh manusia dahulu. Misalnya kita saat ini karena sudah memiliki gedung tinggi dan lain sebagainya tidak mungkin lagi kita melakukan "sembahyang di bawah pohon.

Untuk itu kita harus memahami kebudayaan mereka dalam perspektif mereka itu sendiri. Sama juga, ketika mereka memandang kebudayaan kita dengan kebudayaannya mereka tentu akan sama penilaiannya.

Bailengit, 20 September 2022

Arnol Goleo   [11:31]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun