"Tidak Put ibu yang minta maaf, ibu menangis karena tidak membahagiakan Putri, hidup susah. Dan sekarang kita tinggal di hutan lagi. Andai saja ayahmu masih hidup mungkin kehidupan kita tidak seperti ini sebab ayahmu itu orangnya pekerja keras."
"Sudahlah bu jangan menangis lagi!" Sambil mengusap pelan-pelan belakang (pundak) ibunya, Putri berusaha menenangkan hati ibunya.
Kata ibu hidup itu disyukuri apapun yang kita alami. Kita ambil hikmahnya saja.
"Iya Put!" sambil mengangkat kedua telapak tangan mengusap pipinya itu seakan tak rela suaminya begitu cepat dipanggil oleh Sang Kuasa.
"Put istirahat ya ini sudah malam."
"Baik, bu." Putri pun tidur.
***
Sinar dari ufuk timur mulai terlihat menandakan malam sudah berlalu, hari yang baru telah tiba.
Bu Meylanpun bergegas bangun mempersiapkan sarapan pagi mereka.
Karena terkena asap dan panasnya api. Kedua telapak tangan tak tahan perih di mata serta dipenuhi keringat di wajahnya itu dengan pelan mengangkat tangan kanannya mengusap wajah, tak lama kemudian tangan kiri pun bergantian sehingga sebagian wajah bu Meylan berlumuran arang di dahi dan pipinya. Sebab kedua telapak tangannya dipenuhi arang, ubi yang ada dipegangnya itu.
Putri yang terbangun dari tidur tepat dekat kakinya, ibunya itu sedang membakar ubi kayu untuk sarapan pagi mereka.