[caption caption="Dok. Pribadi"]
[/caption]Operasi tangkap tangan yg dilakukan KPK terhadap terhadap karyawan APL dan seorang anggota DPRD DKI bernama Sanusi. Diharapkan menjadi pintu masuk kalangan penegak hukum terutama KPK. Agar lebih cermat dalam membongkar kasus ini.
Mengingat yang dihadapi adalah politisi yang cukup vokal. Terutama dalam hal menyuarakan kasus-kasus sumber waras, maka beliaulah yang sering berteriak dan sekaligus mendesak KPK untuk segera menetapkan Ahok sebagai tersangka. Bahkan sesama koleganya di DPRD sempat menyatakan didepan media punya rencana dalam sebulan mendatangi KPK sebanyak 2 kali.
Tetapi apa lacur rencana itu akhirnya berantakan setelah KPK menyatakan, jika seseorang akan ditetapkan menjadi tersangka minimal harus mempunyai 2 alat bukti dan untuk Ahok belum ditemukannya alat bukti tersebut.
 Pernyataan singkat dan jelas, seolah membuat mereka yg tadinya ngotot, sekarang menjadi seolah patah arang.
Maka sejak saat itu berbagai isu soal RS SW ini bermunculan dengan bermacam logika pembenaran guna mempercepat mendukung bahwa Ahok seolah dia telah melakukan kesalahan di RS SW.
Opini agar Ahok harus dijadikan tersangka seperti tak ada habisnya. Walau banyak juga pihak yang menyangsikan akan argumen-argumen mereka. Tapi arah utk mendeskreditkan Ahok seolah tanpa henti.
 Terkesan sepertinya bagai gempuran yg terencana, mulai dari beberapa selebritis sampai para penulis lepas, seolah tanpa malu-malu lagi utk mengatakan bahwa Ahok adalah tersangka utama.
Targetnya jika Ahok tersangka maka pencalonannya menjadi gubernur akan otomatis gugur. Jika Ahok gagal coba tebak arahnya kemana? Untuk itu maka marilah kita coba analisa satu persatu dalam hal ini khususnya yang berkaitan dengan raperda zonasi.
Lihat saja keadaan menjadi terbalik 180.derajat setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap seorang anggota dewan.
 Yang tadinya anggota tersebut paling getol mengkritik Ahok, ternyata diam-diam dia telah bermain mata dengan raperda zonasi khususnya pada pasal yg berkaitan dengan peruntukan kawasan publik. Yang sebelumnya melalui raperda telah diusulkan oleh pemda (Ahok) sebesar 15%. Bahkan kabarnya Ahok tetap ngotot diangka inilah agar tetap diberlakukan. Sehingga pembahasan cenderung tertunda dengan berbagai alasan.
Cerita soal pembahasan hampir tak terdengar dari perhatian publik. Barulah setelah tertangkap tangan, kita semua menjadi terkaget-kaget.
Perkiraan proyek reklamasi diatur dalam raperda zonasi. Â Bahkan menurut rencana zonasi lahan yang akan di reklamasi yakni seluas 5.100 hektar atau sama dengan 51.000.000 meter dalam bentuk 17 pulau dan akan dilaksanakan oleh beberapa pengembang termasuk PT.APL.
Rencana reklamasi seluas 51.000.000 meter ini. Dalam raperda diusulkan oleh pemda adanya aturan bahwa 15% dari lahan tersebut akan diserahkan oleh pengembang kepada pemda DKI.
Lahan yg akan di terima pemda kira-kira seluas 7.500.000 meter. Lahan ini menurut rencana utk kepentingan publik, mulai dari taman dan berbagai sarana lainya.
Dugaan atau tawaran negosiasi agar angka semula dari 15% akan di turunkan menjadi 5% inilah yang sekarang mulai terungkap ke publik. Tapi terlanjur terjaring operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK.
Adapun dugaan modus operandi mereka yakni merenegosiasikan angka-angka diatas agar bisa diperjuangkan dalam rapat pleno oleh DPRD untuk diturun sesuai dengan target yakni hanya 5% saja.
Sepintas kelihatan sederhana, seolah hanya sedikit turun dari 15%.menjadi 5%. Padahal dibalik ini semua jika dihitung secara matematika dengan cara simpel saja yakni agar mudah dicerna logika, Â Â Â Â maka akan terlihat sebagai berikut:
Semula pemda DKI akan memperoleh lahan seluas 15% atau 7.500.000 meter. Jika dirubah menjadi 5% atau 2.500.000 meter. Maka pemda DKI akan mengalami kerugian atau kehilangan lahan seluas 7.500.000 - 2.500.000 = 5.000.000 meter
Nyata adanya bahwa pemda akan berpotensi kehilangan 5.000.000 meter persegi. Jika kita kalikan dengan harga saat yang akan datang tahun 2020 yakni dengan asumsi perkiraan harga saat itu Rp 50 juta permeter.
Maka hasil kerugian yang akan diperoleh adalah :
5.000.000 X 4Rp.50 juta = Rp. 250 Triliyun,-
Potensial kerugian sebesar 250.T jika benar-benar direalisasikan dalam artian bahwa benar DPRD akan menyetujui usulan menjadi 5% persen saja lahan peruntukkan public utilities yang diserahkan ke pemda DKI. Artinya yang tadi baru potensi maka akan menjadi nyata yaknu bersiaplah negara akan kehilangan 250 T.
Kita masih ingat diawal reformasi adanya skandal BLBI menurut perkiraan saat itu negara kehilangan 600 T. Lalu sekarang cobalah bandingkan dengan skandal raperda ini. Jika tak ketahuan oleh KPK kemungkinan negara akan kehilangan 250 T. Artinya potensi skandal ini sejak reformasi adalah nomor dua terbesar jika hal yang sama dibandingkan dengan skandal Bank Century 5 T dan Hambalang 1,6 T.
Untunglah KPK segera menangkap tangan para kaki tangannya. Pencegahan secara dini artinya telah dilakukan. Potensi kerugian negara 250 T tak jadi terwujud. Kita berterimakasih pada KPK. Karena dalam sejarah baru kali ini pencegahan dpt dilakukan dng nilai yg cukup fantasis.
Jadi wajarlah jika kita berkesimpulan bahwa skandal ini secara tak langsung telah membongkar jaringan mafia yg ikut bermain agar Ahok terjungkal dari pilgub DKI. Karena jika jaringan mereka berhasil menjungkalkan Ahok, bukan tak mungkin mereka akan mendapat keuntungan sebesar Rp. 250.T.
Jadi janganlah heran jika operasi sistimatis utk menjatuhkan Ahok terus dilakukan secara rutin bahkan pola berganti. Buktinya lihat saja tulisan beberapa kompasianers tetap saja berusaha mengkait-kaitkan skandal ini agar Ahok terlibat. Dengan berbagai nalar yg setengah dipaksakan dibuat seolah ini semua karena ulah Ahok. Bila perlu cara apapun seolah harus tetap dilakukan. Karena didepan mata sudah barang tentu jika Ahok gagal raperda 5% akan segera terealisasi.
Menggagalkan Ahok demi bisnis sekelompok orang patut dicermati. Sepertinya tidak hanya sekadar tangkap tangan kepada satu dua orang. Â Tapi kalau di cermati seolah ada agenda raksasa dibalik itu semua agar Ahok gagal. Jika dia gagal maka arti merupakan peluang keuntungan yang besar bagi sekelompok orang. Tapi tidak untuk rakyat.
Maka mulai sekarang cobalah amati orang yang tak jelas juntrungnya. Tiba-tiba ikut cuap-cuap pokoknya asal bukan Ahok. Tentulah patut kita tanyakan, apakah tindakan itu artinya merupakan tanda-tanda ikutan untuk mengejar kecipratan secara tak langsung rezeki yang bernama 250 T tersebut.
Â
Semoga saja tidak...
Salam nusantara...
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H