*)foto ilustrasi : antaranews.com
Saya mencoba mengingat kembali cerita tentang PDI-Perjuangan. Tentunya yang masih segar dalam ingatan kita adalah saat Jokowi dicalon menjadi gubernur DKI.
Peristiwa pencalonan ini terasa unik, bagaimana tidak rada unik karena pada saat posisi yang sama beliau menjadi walikota Solo yang terpilih untuk periode kedua. Saat itu terjadi pro dan kontra baik dari masyarakat kota Solo maupun dari kepengurusan PDI-Perjuangan di wilayah DKI.
Magnet atau daya tarik atas kesuksesan Jokowi yang begitu kuat membuat DPP PDI-Perjuangan tertarik untuk mencalonkannya menjadi calon Gubernur DKI.
Walaupun disisi lain terlihat (perkiraan) beberapa pengurus ditingkat wilayah DKI ada rasa kurang nyaman. Tapi untuk menunjukkan rasa kurang nyaman itu, bila diperlihatkan secara terang-terangan akan dirasa kurang elok. Tetapi sebetulnya rasa kecewa yang mendalam menjadi memori tersendiri bagi beberapa orang pengurus diwilayah ini.
Belum lagi ada kesan seolah-olah pengurus di DKI kekurangan kadernya untuk maju jadi calon Gubernur, sehingga mesti didatangkan dari wilayah lainnya.
Memori kekecewaan akan pencalonan Jokowi menjadi cagub DKI, sempat berkurang disaat Jokowi sukses memenangi pilkada.
Selama Jokowi menjadi gubernur terkesan hubungan antara gubernur dan DPRD terasa aman nyaman sebagaimana adanya. Bahkan program Jokowi terhadap pembangunan Jakarta lancar bisa fokus blusukan kemana-mana. Sampai ke penggusuran waktu Pluit juga seperti tak ada hambatan. Lain dengan kali jodoh?
Problem kembali muncul disaat Jokowi terpilih sebagai Presiden, dimana saat itu otomatis kursi Gubernur yang ditinggalkan oleh Jokowi dalam posisi kosong. Serta Ahok sebagai wakil otomatis untuk sementara menjalankan roda pemerintahan.
Disaat kursi Gubernur dalam posisi kosong, berbagai manuver dan perang opini di media oleh para politisi di DKI menjadi berita sehari-hari. Masing-masing membuat analisa seolah diri mereka atau partai merekalah yang layak untuk menjadi Gubernur menggantikan Jokowi.
Jadi selama Gubernur DKI yang baru, belum di lantik, semakin seru manuver-manuver politis yang dilakukan oleh perseorang maupun kelompok untuk memperebutkan posisi ini. Bahkan Ahok sempat menjadi bulan-bulan dihantam oleh berbagai isu sara.
Pertarungan perebutan kursi Gubernur setelah ditinggal oleh Jokowi akhir diakhiri dengan keluarnya SK Kemendagri mengangkat Ahok sebagai Gubernur definitif dan Jarot menjadi wakil gubernur.
Tapi ketegangan masih tetap berlanjut saat rapat pleno paripurna DPRD DKI apakah menolak ataukah menerima pengangkatan Ahok sebagai Gubernur. Ketar ketir semua pihak masih tetap berlanjut, ketidak pastian masih terlihat hanya karena DPRD diduga akan mempermainkan polemik ini yakni dengan cara menolak Ahok menjadi Gubernur.Siapakah yang bermain dalam kekisruhan ini, ya mereka-merekalah yang ada didalam gedung DPRD.