Sebetulnya istilah deparpolisasi rasanya kurang tepat. Mana mungkin rakyat bisa membubarkan partai politik karena yang membubarkan suatu partai adalah forum tertinggi partai tersebut.
Mungkin konotasi deparpolisasi ini telanjur beredar meluas gara-gara pernyataan beberapa petinggi sebuah partai politik. Seolah menuduh ada gerakan yang mengarah ke deparpolisasi, ditambah lagi tuduhan-tuduhan tersebut disematkan juga isu liberal terhadap mereka-mereka yang menyukai independen?
Tidak elok kiranya jika tuduhan pembubaran parpol disematkan saat munculnya gerakan mendukung calon independen. Apalagi seolah kata deparpolisasi sebagai senjata pamungkas untuk menghantam pihak lain yang disinyalir berseberangan dengan keingin sekumpulan elit politik salah satu partai tertentu.
Berbagai nara sumber yang berbicara untuk mendukung argumen itu. Justru membuat masyarakat semakin asyik menonton gaya mereka, seolah tanpa celah bahwa partainyalah yang paling benar. Bahwa partainyalah yang memperjuangkan hak-hak rakyat selama ini, bahwa partainyalah yang selalu siap mempunyai stok pemimpin dimasa yang akan datang.
Terkesan seolah menggadang-gadang calon-calon dari tempat lain yang tak kalah hebatnya. Lalu seolah ingin mau mengatakan, ini lho kami juga punya calon hebat. Padahal tindakan ini justru kontraproduktif alias tak ada manfaatnya sama sekali. Membuat rakyat semakin tidak suka, seolah seorang pemimpin yang baik didaerah lain tanpa daya, kapan saja bisa di copot atau ditarik oleh parpolnya dan ditempatkan dimana saja.
Jika ini benar dilakukan, maka merupakan bentuk pertaruhan demokrasi dengan peran utamanya adalah oligarkhi elit internal parpol. Yakni satu sisi seolah melaksanakan demokrasi tapi disisi lain yang telah menjadi pilihan rakyat seolah dengan seenaknya saja diintervensi oleh elit parpol.
Model-model atau gaya seperti ini kalau tidak bisa dicegah atau di stop maka akan mendatangkan bencana demokrasi dalam bentuk baru yang akan menjadi gejala di setiap partai.
Marilah kita lihat satu persatu beberapa perilaku partai politik dimana tanpa sadar para elitnya telah melawan kehendak rakyat dan memberlakukan institusi parpol seolah milik pribadi dan keluarganya sambil menyiapkan regenerasi untuk anak cucunya.
Pertama :
Suara angka kemenangan parpol setelah pemilu dijadikan pintu masuk untuk mendapatkan kursi dalam dewan perwakilan rakyat. Jika kursi yang diperoleh cukup banyak, maka bukan tidak mungkin jadi pintu masuk untuk menguasai pimpinan dewan.
Serta dari suara yang cukup inilah menjadi modal dasar untuk mencalonkan seorang menjadi Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota.—Begitulah mekanisme yang harus dilalui sesuai undang-undang pemilu.
Tapi dalam prakteknya yang terjadi jika KPU selesai mengumumkan hasil pemilihan umum. Maka sejak itu rakyat ditinggalkan oleh partai politik, mereka mengatur semaunya, apa saja yang menjadi keinginan elitnya. Mulai dari menempatkan siapa-siapa calon-calon pimpinan politik sampai penentukan kedudukan fraksi akan mereka lakukan.
Seolah terkesan bagai baru selesai menerima rejeki nomplok akan hak kekuasaan baru yang bisa dipergunakan untuk apa saja sesuai kepentingan partai mereka.
Dalam posisi seperti ini jika tepat sasaran artinya menemukan elit parpol yang bijak, yakni tidak memikirkan kepentingan pribadi dan keluarganya serta tidak gampang emosi lalu dendam dengan lawan politik lainnya. Yakni jauh berpikir kedepan untuk mengutamakan kesejahteraan rakyat. Mungkin tidaklah menjadi masalah, karena dengan begitu kekuasaan yang dititipkan rakyat dapat di pergunakan dengan baik sesuai cita-cita yakni kesejahteraan bersama.
Tapi justru yang menjadi masalah adalah sebaliknya.Yakni selesai pemilu sepertinya memperlakukan partai bagai seorang diktator tersembunyi pura-pura malu padahal sebetulnya yang dipikirkan adalah manuver kacang goreng yang hanya mementingkan orang dekatnya saja. Jika berseberangan dengannya, maka bersiaplah kader tersebut untuk segera di potong karir politiknya.
Bentuk penyimpangan seperti inilah seharusnya di kontrol oleh rakyat agar para elit ini tidak semena-mena dan semaunya saja berkuasa dalam internal parpolnya. Mekanisme seperti apa untuk mengontrol mereka, tentunya para ahli tatanegara lah yang lebih ahli untuk membahas khusus soal ini.
Dengan senjata ancaman pecat memecat kepada kader yang tidak sejalan dengan pikirannya atau menugaskan seseorang tapi sebetulnya justru seseorang menjadi budaknya parpol atau elitnya. Maka telah membuat kita rakyat menjadi penonton yang tidak bisa berbuat apa-apa melihat kelakuan para elit seperti ini.
Kedua :
Jika ada kader parpol yang jelas-jelas didepan mata rakyat membuat kesalahan baik melakukan korupsi, tindak pidana KDRT, tindak pidana terlibat narkoba dan berbagai tindakan pidana lainnya. Kadang dalam menanganinya para elit parpol yang bersangkutan terkesan pilih kasih dan lambat untuk menyelesaikannya, perlakukan parpol kepada politisi yang melanggar hukum tersebut seolah dibiarkan begitu saja tanpa ada tindaknya nyata. Bahkan kadang dengan berkelakar ada yang nyeletuk ah mungkin saja si A setorannya kencang jadi dia tidak diapa-apakan? Tenang saja aman, selagi entertaiment jalan maka semua bisa diatur? Miris memang kalau kondisi ini benar-benar terjadi.?
Siapa yang akan mengatur atau mengontrol kelakuan elit-elit parpol yang seperti ini?. Membiarkan pelanggaran yang terjadi tanpa sedikit pun tergerak untuk menjatuhkan sangsi kepada kadernya yang melanggar hukum? Artinya ada politik kongkalikong yaitu kerja sama yang saling menguntungkan untuk menutupi kelakuan mereka?
Ketiga :
Jika musim pilkada, maka yang namanya biaya operasional partai, mahar untuk partai, administrasi partai, uang lelah dan berbagai jenis biaya-biaya. Mulai bermunculan secara mendadak saat calon-calon yang ingin melamar suatu partai tertentu.
Calo-calo politik dari para kader bergentayangan seolah mereka bisa menghubungkan dengan para elit parpolnya. Para calon Gubernur, Bupati, Walikota bagai masuk dalam rumah mafia. Jika ingin mendapatkan surat dukungan dari partai politik tersebut.
Lingkaran setan calo maupun mafia politik jelas dan nyata akan terlihat jika menjelang pilkada. Lalu siapakah yang bisa melawan mafia pilkada ini? Rakyatkah?. Internal parpolkah?
Celah ini adalah celah kemunafikan yang luar biasa? Biasanya para elit seolah tutup mata dengan permainan kader-kader ditingkat bawa, membiarkan seolah para calon pelamar kebingungan, dengan kebingungan artinya biaya yang akan di keluarkan oleh si calon akan semakin banyak?
Saya bisa memberi contoh konkrit misalkan si M mau maju menjadi calon, persyaratan pertama yang di ajukan parpol yang bersangkutan adalah melihat visi misi para si calon.
Jadi si M disuruhlah melamar dan untuk segera memasukan lamaran agar sampai ke para elitnya tentu melalu para staffnya. Setelah menunggu beberapa waktu barulah ada panggilan untuk dilaksanakan interview di dengar visi dan misinya.
Habis interview tentu ada entertaiment untuk makan-makan, pulsa, dan berbagai keperluan lainnya sesuai apa yang menjadi permintaan kader-kader partai tersebut. Ingat ini barulah interview satu calon biasanya yang diinterview beberapa calon. Serta biasanya kata perpisahan sehabis interview adalah “pak M tunggu saja nanti kami rapat dan tim lah yang akan memutuskan”.
Maka biasanya menjelang rapat banyak tuh mata-mata yang memonitor rapat tersebut dan melaporkan kepada para calon-calonnya. Si calon biasanya ketar-ketir juga maka paling tidak dia harus menyiapkan dana cash disaaat genting penentuan dirinya untuk diterima atau tidak sebagai calon.
Selanjutnya dalam rapat internal biasanya didahulu oleh laporan dari tim penjaringan yang telah bekerja menginterview para calon. Maka jika calon itu ditingkat kabupaten maka yang memimpim rapat adalaah ketua DPC, jika gubernur maka DPW. Tapi nanti putusan terakhir adalah di DPP yaitu ketua umum partainya.
Bisa kita bayangkan betapa panjang rantai birokrasi yang di buat parpol dalam menentukan atau memilih calonnya untuk menjadi gubernur atau bupati/walikota. Setiap tingkatan birokrasi artinya harus menyiapkan uang. Jika tidak menyiapkan uang paling tidak harus berperilaku yang bisa meyakin mereka para kader partai. Satu saja yang anti atau pura-pura cerewet maka itu artinya biaya yang harus dikeluarkan?
Birokrasi internal parpol yang berbelit-belit dan tak ada satupun yang bisa mengontrol mereka. Siapapun di republik ini tak mampu untuk masuk kedalam urusan internal parpol yang penuh dengan rekayasa untuk mengambil kesempatan disaat penyaringan calon?
Dari ketiga kondisi diatas, saya mencoba mengatakan ke publik baguslah kalau memang ada anggapan terjadi gerakan deparpolisasi. Karena dengan adanya tuduhan ini akan membuka semua aib yang terdapat dalam partai politik.
Mengapa ada deparpol artinya ada yang tidak berkenan oleh rakyat terhadap parpol tersebut. Apa sebetulnya yang telah terjadi pada partai politik tersebut? Mengapa harus ditutup-tutupi, kalau memang berani mari buka-bukaan lakukanlah transparan. Terutama disinyalir adanya mafia dalam penyaringan calon-calon kepala daerah?
Ternyata deparpolasasi adalah sangat layak dan jika mungkin menjadikan gerakan bersama untuk melawan ke-zaliman partai-partai yang disinyalir penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme? Tentunya untuk partai yang bagus dan baik dalam mekanisme di internal partainya dan sering berkomunikasi dengan rakyat akan program mereka, tentulah tidak menjadi masalah dan justru partai seperti ini harus dipertahankan.
Dengan ramainya istilah deparpolisasi, maka saat sekaranglah rakyat harus melawan dari jajahan partai-partai KKN, dan sering menjadikan suara rakyat hanya di tentukan oleh suara elit parpolnya saja?
Salam nusantara...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H