Artinya di tangan kiri Ahok adalah cadangan parpol yang akan mendukungnya dan di tangan kanannya adalah teman Ahok dengan berbagai kalangan yang mendukungnya tanpa lewat jalur partai politik.
Terlihat dari sisi lain pertemanan alias hubungan baik dengan partai politik, oleh Ahok tetap dilakukan. Karena dia menyadari bahwa keputusan parpol untuk mendukung atau tidak. Sebenarnya berada di tangan para ketua umumnya. Tapi dia sadar juga bahwa tukang mengganggu dari kalangan internal parpol ditingkat lapangan juga sangat banyak. Apa lagi gangguan cara beroperasi mereka-kereka hampir mirip, yakni pura-pura tak butuh calon, agak jual mahal sedikit, tujuannya tak lain agar berharap si calon yang akan di dekati mengerti apa yang menjadi kebutuhan-kebutuhan kurawa-kurawa parpol ditingkat lapangan.
Metode jadul ini seperti sudah menjadi tradisi yang tidak tertulis. Jika seorang yang mau mencalonkan diri dari parpol maka si calon harus sowan, berbaik hati untuk mengambil perhatian dari para politisi dari parpol yang bersangkutan.
Tetapi kebaikan seorang calon, jika berhadapan dengan politisi yang baik dan objektif dalam melihat kerangka perjuangan untuk mensejahterakan rakyat. Tentunya tidak menjadi masalah karena visi misi yang sebenarnya adalah sama antara sang calon dan politisi-politisi yang diharapkan akan mendukungnya.
Namun jika terjadi sebaliknya, perjuangan untuk kesejahteraan rakyat hanya lip service saja. Padahal ada misi pribadi atau ada misi kepentingan di balik segalanya maka dengan sangat mudah para politisi akan memelintir sang calon. Sehingga di last minutes pendaftaran calon kepala daerah, sang calon akan dibuat kembang kempis seolah dipermainkan kesana kemari tanpa kepastian. Maka sampai satu titik apa saja yang menjadi persyaratan para politisi oportunis akan diiyakan saja. Bahkan tidak menutup kemungkinan apa yang dijanjikan si calon minta dibuat tertulis atau bahkan direkam. Padahal politisi tersebut untuk membuat janji-janji ini dibuat karena kondisinya terpaksa saja yakni biasanya menjelang penutupan masa akhir pendaftaran.
Adapun tujuan dari tuntutan membuat janji terlulis atau direkam tak lain adalah agar suatu hari jika si calon tidak memenuhi keinginan politisi tersebut. Maka disebarkanlah apa yang menjadi janji-janjinya kepada parpol atau politisi yang telah mendukung mereka. Dibuat lah kampanye hitam seolah tokoh tersebut tidak bersih dan segalah finah disebarkan.
Yang begini-begini tentunya Ahok sudah paham dan berpengalaman seperti saat dia menjadi calon Bupati di Belitung. Atas pengalaman ini, tentu dalam hatinya dia tersenyum bila melihat pola tingkah para kurawa parpol dalam bereaksi mengulas suatu pemberitaan yang menyangkut statemen para calon-calon gubernur. Ada yang kelihatan emosi, ada yang adem ayem tapi mengigit. Ada yang bernada sakit hati tapi tak bisa berbuat-apa apa karena DPP parpolnya masih terus tarik ulur antara iya dan tiada dalam proses pencalonannya.
Contoh nyata saja Ahok dengan PDI-Perjuangan. Beberapa minggu lalu, Ahok mengatakan sepintas bahwa dia sudah didukung oleh PDI-P. Pernyataan ini menjadi rame dan berbagai tokoh dan politisi mengomentari atas ucapan ini. Padahal setelah berujar seperti itu Ahok diam beberapa hari dan Megawati sendiri juga tidak bersuara untuk mengomentari atas penyataan Ahok tersebut. Tapi dengan pernyataan ini terlihat sekali beberapa orang politisi terpancing emosinya dan seolah masuk perangkap off side atas komentar-komentarnya yang aneh-aneh. Sementara Ahoknya hanya tenang-tenang saja sambil sibuk fokus pada temuan sampah kabel diseputaran ring satu istana.
Sulit untuk mengesampingkan bagaimana Ahok pada bulan-bulan belakangan ini selalu akrab dan berhubungan baik dengan PDI-Perjuangan. Seperti apa yang ditunjukkan dia secara pribadi begitu dekatnya dengan Megawati. Hampir tak pernah terlihat kalau Ahok berselisih dengan Megawati. Justru sebaliknya yang ada, adalah kompor-kompor ditingkat bawa yang seolah tak suka kalau Ahok dekat dengan ibu Mega. Nah kompor-kompor inilah yang harus dipancing keluar siapa sebenarnya mereka, benarkah mereka kader partai yang serius memperjuangkan nasib rakyat? Atau hanya mendopleng nama besar parpolnya lalu semuanya adalah untuk kepentingan pribadinya sendiri?
Satu persatu mereka yang tak suka ini mulai membisu tapi terkadang juga bicara diluar konteks. Atau bicara seolah semuanya harus ditempuh dengan mekanisme partai dan berbagai aturannya. Birokrasi partai menjadi andalan agar mendukung argumen yang dibuat seolah lebih rasional. Untuk tahap ini kalau penulis boleh sumbang saran, lain kali jangan lah gegabah dalam melihat suatu manuver terutama yang berkaitan dengan pencalonan Ahok menjadi gubernur.
Belajarlah dari peristiwa Ahok akan dipansuskan hanya karena peristiwa kota tua lalu bergeser menjadi pemalsuan RAPBD. Setelah ketua umum Megawati bersuara, semua akhirnya diam mengikuti satu komando.