Politik Petak Umpet Ala Perpanjangan SK Munas Riau, Legalitas Ketua DPR RI dipertanyakan?
Foto : Agung Pambudhy - Detik.com
Â
Jalan terakhir yang di tempuh oleh Kemenkumham terhadap penyelesaian konflik Golkar adalah mengeluarkan SK sekaligus memperpanjang kepengurusan munas Riau, bisa dikatakan politik cerdas juga bisa dikatakan politik alibaba, tapi saya lebih suka mengatakan politik petak umpet.
Bila kita cermati baik-baik artinya konflik ini mulai mengarah dan melangkah ke arah penyelesaian yang bersifat merangkul semua pihak dalam kepengurusan di kedua kubu, baik itu di kubu AL maupun di kubu ARB.
Setelah sebelumnya euforia kehadiran beberapa menteri bahkan dalam acara penutupan wakil presiden sendirilah yang langsung menutup rapimnas tersebut dimana rapim itu sebagai penyelenggara dilaksanakan oleh kubu ARB atau lebih sering identik disebut dengan kubu Munas Bali.
Kehadiran mereka-mereka disambut baik oleh ARB, hal ini tercermin dengan pidato-pidato ARB dalam acara munas tersebut. Dengan penuh harap ARB terkesan sepertinya bahwa SK Menkumham sudah didepan mata dan segera akan dikeluarkan. Apalagi sehabis pentupan ada janji informal bahwa langkah hukum segera akan diberikan untuk memperlancar munas.
Tetapi apalacur, janji yang di harapkan sebenarnya oleh penyelenggara rapimnas adalah SK Menkumham untuk mengesahkan kepengurusan munas Bali. Tetapi ternyata ada permainan petak umpet yakni yang dikeluarkan justru adalah SK perpanjangan kepengurusan Riau.
Itulah namanya politik? Satu sisi seolah menyanjung tapi sisi lain sebetulnya mencari dan mendapatkan kelemahan lawan. Jadilah cerdik seperti ular dan jinak seperti merpati. Penyesalan tak berguna, karena semua sudah terlanjur dibaca dan telikung oleh lawa-lawan politik yang mempunya jam terbang dan pengalaman cukup lama.
Yang ada sekarang adalah melaksanakan politik kompromi, merangkul semua pihak, mengajak mereka-mereka yang kecewa. Lupakan masa lalu dan mulai lah dengan saling bekerja sama kembali.
Sampai disini mungkin SK perpanjang munas Riau positip adanya akan mengarah ke langkah rekonsiliasi Golkar kedepan. Tapi sebetulnya disisi lain efek atau dampak politis dan hukum dari keluarnya SK ini tentu berpengaruh langsung terhadap keputusan-keputusan yang telah di keluarkan oleh masing-masing kedua kubu tersebut.
Cobalah kita melihat kembali kebelakang, dengan tidak pernah dikeluarkannya SK untuk kepengurusan munas Bali artinya semua keputusan dan surat-surat yang dikeluarkan oleh mereka adalah tidak sah. Maka secara hukum patutlah kita pertanyakan?
Kita lihat saja untuk di kalangan internal golkar SK pemecatan ke-18 kader Golkar yang dilakukan oleh ARB, otomatis menjadi tidak sah karena telah di keluarkan oleh pengurus yang keabsahannya tidak sah alias belum pernah di sah kan oleh Menkumham seperti apa yang diamanatkan undang-undang. Yakni bila partai berkonflik, maka pengurus yang sah adalah kepengrusan yang memegang SK terakhir kemenkumham.
Jika SK Kemenkumham tak pernah diberikan, bagaimana mungkin kalau kepengurusan itu dianggap sah. Artinya semua surat menyurat yang dikeluarkan oleh pengurus tersebut adalah tidak sah.
Jalan keluar yang terbaik terhadap kasus internal pemecatan ke-18 orang tersebut adalah membiarkan atau menganggap SK tersebut adalah tidak sah dan dianggap tidak ada, lalu ke-18 orang tersebut kembali aktif sedia kala. Karena toh kepengurusannya sementgara sekarang yang diakui adalah kepengurusan munas Riau.
Tapi lain lagi jika kasusnya menyangkut pemilihan Ketua DPR RI. Seperti kita ketahui menurut pleno lalu DPR RI bahwa Ketua DPR RI yang baru terpilih adalah sah. Karena itu adalah jatah partai dalam hal ini yang dimaksudkan adalah partai Golkar, maka sudah selayaknya diberikan kembali kepada mereka.
Tetapi yang menjadi masalah kepengurusan siapakah yang layak untuk menentukan orang atau calon ketuanya untuk duduk sebagai calon Ketua DPR saat itu. Kubu ARB mengirim nama Ade Komarudin, kubu AL juga mengirim nama lain. Tapi yang diterima dan disetujui oleh DPR adalah Ade Komarudin sebagai ketua DPR RI. Padahal yang memegang SK sah kemenkumham adalah kubu AL. Walaupun pihak AL sudah memprotes keputusan itu namun pihak DPR tidak bergeming, walaupun sadar bahwa pemilihan ini masih ada celah hukum untuk dipermasalahkan.
Dengan adanya SK Menkumham soal perpanjangan kepengurusan Riau, maka semakin nyata dan terang benderang. Bahwa Pleno DPR RI yang menetapkan Ketua DPR adalah salah dan keliru, karena telah menerima utusan partai, melalui surat yang ternyata telah di tanda tangani oleh ketua umum yang tidak sah secara hukum, serta kepengurusannya tidak pernah disahkan oleh kemenkumham. Tapi ternyata secara kompak telah dipilih oleh mereka-mereka yang duduk digedung parlemen dengan segala logika pembenaran diri atas keputusannya dan selalu berkedok sesuai dengan undang-undang.
Sekarang fakta berbicara, kesalahan kolektif anggota DPR yang ikut pleno pengesahan ketua DPR harus segera ditinjau kembali. Dilakukan Pleno ulang secepatnya minimal setelah munaslub golkar terlaksana dan terpilih ketua yang baru dan juga sudah disahkan oleh kemenkumham.
Termasuk juga semua perubahan dalam Fraksi-fraksi adalah tidak sah dan jika tetap dipaksakan dan ngotot menganggap semua tidak ada apa-apanya. Artinya inilah sebuah periode anggota dewan yang tak tahu aturan dan undang-undang. Selalu tetap memaksakan kehendaknya dengan berbagai logika liar yang ada dalam benak kepala mereka masing-masing. Masihkah kita mempercayai mereka?, korelasinya bisa terlihat berapa prestasi mereka dalam melahirkan UU di tahun 2015, tak lain hanya 3 atau 4 UU saja??
Kepemimpinan ketua DPR RI yang menurut logika atas keluarnya SK perpanjangan kepengurusan Riau membutikan bahwa Kepemimpinan tersebut adalah tidak sah atau tidak memenuhi aturan main yang semestinya dalam berpartai. Karena sudah terlanjur sebaiknya ketua DPR dan beberapa anggota Fraksi Golkar yang dirubah sebaiknya tidak mengeluarkan keputusan-keputusan strategis sambil menunggu adanya pengurus yang sah. Itulah langkah terbaik dan kompromi dalam menyelesaikan legitimasi masalah ini.
Pleno DPRI ulang atas pemilihan ketua DPR dan perubahan beberapa Fraksi adalah wajib setelah kepengurusan Golkar mendatang menjadi sah. Kewajiban ini mutlak dan tidak dapat lagi ditawar-tawar lagi dengan logika pembenaran diri lalu berargumentasi asal bunyi yakni asal ngotot menjual kata undang-undang itu sendiri, dan kelihatan sepertinya masuk akal dsbnya... Maka hendaknya janganlah membiarkan pelanggaran seperti ini terus terjadi dan akan berimbas ke hal-hal yang tidak baik dalam dunia perpolitikan kita selama ini.
Kalau DPR bisa ngeles kenapa rakyat tidak bisa....??
Salam nusantara..
*) sumber foto : Agung Pambudhy-Detik.com
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H