Mohon tunggu...
Arnita Sari
Arnita Sari Mohon Tunggu... -

Mahasiswi yang sedang belajar untuk menjalani hidup yang seperti pacuan kuda dengan sebaik-baiknya...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Engkau Berat...

14 Februari 2010   11:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:56 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah pertemuanku dengan sesosok kursi yang mengajarkanku betapa beratnya beban yang harus ia tanggung. Kursi hijau tersebut telah dicap "rusak" oleh pemiliknya. Keempat kakinya sudah tidak kuat lagi untuk menampung berat badan orang dewasa.

Jika aku mencoba duduk di atasnya dalam rentang waktu yang agak lama, kursi itu akan mulai menolak berat badanku dengan melemaskan kaki-kakinya. Ia seakan berusaha untuk membuat aku terjatuh dan mulai menyerah untuk mendudukinya.

"Sungguh kursi yang congkak," pikirku dalam hati. Dia tidak mau berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk apa ia dibuat jika bukan untuk diduduki? Sekarang ia malah mengambil keputusan untuk tidak melakukan hal yang sebenarnya bisa ia lakukan. Dan bahkan meninggalkan tujuan asal yang telah ditetapkan sang pencipta ketika ia dijadikan.

Sempat aku berpikir andai ia dapat berkata-kata.

"Engkau berat..." mungkin itu yang akan ia katakan kepadaku. Padahal aku tidak berat-berat amat. Beratku normal untuk seseorang yang berusia 20 tahun. "Heyy...jangan jadikan itu sebagai alasan," ujarku.

"Engkau berat, makanya aku tidak mau membiarkanmu duduk diatasku. Kakiku sudah tak kuat lagi untuk menahan semua beban yang dibawa orang lain kehadapanku, kenapa aku harus susah-susah merasakan beban kalian?" ujar sang kursi.

Aku merenung sejenak.

"Engkau berat..." itu juga yang kukatakan ketika aku harus mengerjakan tugas-tugas kuliahku yang menumpuk.

"Engkau berat..." itu juga yang kukatakan ketika aku harus bangun pagi untuk berdoa dan berangkat kuliah.

"Engkau berat..." itu juga yang kukatakan ketika aku harus datang lebih awal karena aku harus melayani.

"Engkau berat..." itu juga yang kukatakan ketika pertemuan-pertemuan mulai menyerang dan menghantui hari-hariku.

"Engkau berat..." itu juga yang kukatakan ketika aku diserahi tanggung jawab yang menurutku, aku tak sanggup melakukannya.

"Engkau berat..." itu juga yang kukatakan ketika aku harus sibuk kuliah, dan disatu sisi harus dituntut untuk aktif digereja. Beranggapan bahwa kuliah dan pelayanan tidak akan bisa balance.

"Engkau berat..." merupakan keluhan yang amat sangat sering kuucapkan ketika aku tidak menikmati segala sesuatu yang sebenarnya sanggup untuk kulakukan.

"Engkau berat..." menjadi teman seperjuanganku. Namun tidak akan menjadi "berat" jika aku bisa melakukan dua kunci ini, yaitu seimbang dan menikmatinya.

Keseimbangan bukan bergantung pada banyak atau sedikitnya hal yang aku batasi untuk dilakukan. Namun keseimbangan bergantung pada sikap diriku sendiri dalam menghadapinya. Tahu urutan prioritas yang seharusnya kulakukan.

Bukan membatasi, namun menyeimbangkan. Melakukan apa yang memang telah ditetapkan Tuhan dengan prioritas yang benar, namun tetap melakukannya sesuai dengan urutan prioritas yang ada. Bukan hanya memilih satu, dan kemudian meninggalkan yang lainnya.

Menikmati, tidak menganggapnya sebagai beban, namun mencintai dan hidup dengannya. Menganggap ia sebagai bagian dari hidupku, bagian dari rencana Tuhan untuk kehidupanku.

"Engkau...tidak berat lagi bagiku..."

"Engkau...merupakan bagian dari prioritasku, entah di urutan berapa engkau berada, namun engkau tetaplah bagian dari prioritas yang akan kulakukan dan pasti akan kulaksanakan."

"Engkau...ku nikmati, ku cintai, dan ku sayangi. Karena engkau bagian dari ketetapan dan rencana Tuhan dalam hidupku. You are part of my life. Times and this chances will not come twice if I leave you now..."

(sumber foto: google searching)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun