Aku dan suami memutuskan pindah ke kampung halaman di sebuah desa di Sumatera Utara, tepatnya desa Sondi Raya, Simalungun. Ini menjadi salah satu keputusan besar yang kami buat selama 14 tahun berumahtangga dengan 3 orang anak. Ibu, dialah alasan utama kami meninggalkan kabupaten Bogor.
Tepatnya 30 Agustus 2020 aku dan anak-anak tiba di kampung halaman. Suami menyusul di bulan Desember 2020. Banyak perubahan dari rencana kepulangan kami disebabkan pandemi covid yang sudah merebak dari awal tahun, bahkan proses jual beli rumahpun belum selesai.
Kepulangan kami membawa sedikit kelegaan dalam hal perawatan ibu. Ibu tidak mau jika perawatannya diserahkan kepada orang lain.
Aku, Â suami dan ketiga anakku tinggal di rumah ibu. Tidak perlu repot-repot memikirkan biaya hidup sehari-hari, Â tugas utama kami hanya merawat dan menjaga ibu.
Rumah Sakit Harapan Pematang Siantar adalah rumah sakit tempat ibu melakukan cuci darah setiap hari Rabu dan Sabtu. Â Jarak dari kampung ke rumah sakit bukan jarak yang dekat, sekitar 30 km dengan kondisi jalan yang rusak. Tak terbayang bagaimana rasa tidak nyamannya ibu setiap melintasi jalan itu. Â Aku yang hampir setiap kali menemani ibu harus rela meletakkan telapak tanganku di bawah pantatnya untuk mengurangi rasa sakit di pantatnya. Sepanjang jalan mengeluh sakit, gatal dan capek.
Menghadapi orang yang sudah tua dengan kondisi sakit tidaklah mudah. Ibu jadi lebih gampang tersinggung, Â merasa tidak berguna dan mungkin juga merasa kesepian.
"Kalian buang saja aku ke jurang biar kalian puas", kata ibu marah jika dia merasa kesakitan ketika aku membersihkan tubuhnya. Kakinya kaku dan tidak bisa diluruskan.
"Kalau kami ada niat, sudah dari dulu kami lakukan Mak", jawabku santai.
"Tolonglah pelan-pelan ngelapnya", balasnya dengan nada yang menurun.
"Siap Bos, ini sudah pelan banget", jawabku.
Ketika opnamepun ibu tidak pernah mau tubuhnya di bersihkan perawat. Katanya: "perawat tidak bisa pelan-pelan, Â digeser kesana, Â digeser kesini, sakit sekali rasanya".