"Benar Bu, nilai IQ nya paling tinggi diantara teman-temannya. Ibu patut bersyukur karena Tuhan memberikan anak yang cerdas seperti Go", demikian balasan gurunya ketika saya menanyakan apakah benar nilai tes IQ anak saya 135 (dalam skala hasil tes di sekolahnya).
Sebelumnya saya tidak tertarik dengan nilai IQ walaupun banyak orang yang mengukur kecerdasan dari tinggi rendahnya nilai tes IQ seseorang.
Kebetulan di sekolah TK anak saya selalu diadakan tes IQ menjelang kelulusan. Tak ada persiapan khusus untuk itu, gurunya hanya mengingatkan supaya anak sarapan yang cukup sebelum mengikuti tes IQ.
"Ma, ini dari Bu Guru katanya hasil tes IQ", kata anak kedua saya sambil menyodorkan selembar kertas.
Setelah melihat hasilnya lalu saya berkata dalam hati, "masa sih anak tengil seperti ini nilai tes IQ nya tinggi". Saya jadi penasaran nilai tes IQ abangnya ketika seumuran dia dan membandingkannya. Abangnya ada di kategori "rata-rata cerdas" sementara dia masuk kategori "cerdas".
Merasa belum yakin dengan hasilnya karena berbeda cukup jauh, saya mengkonfirmasi ulang kepada guru TK anak kedua. Saya tidak yakin dengan hasil tes IQ nya yang tinggi mengingat begitu susahnya saya mengajari dia.
Saya mulai penasaran seperti apa sih sebenarnya konsep kecerdasan itu. Dari yang saya baca, ternyata sampai saat inipun masih pro dan kontra terkait masalah IQ. Tapi saya tidak mau memihak kepada pendapat siapapun, saya hanya ingin berbagi apa yang saya rasakan ketika mendidik anak dengan kategori nilai tes IQ "rata-rata cerdas" dan kategori "cerdas".
Setelah saya mengingat bagaimana perilaku anak pertama dan anak kedua dalam usia yang sama, saya bisa merasakan keduanya sangat berbeda. Anak pertama cenderung pasif, pendiam dan pemalu. Sementara anak kedua sangat aktif, punya rasa ingin tahu yang besar, punya percaya diri yang tinggi dan menyukai tantangan.
Tidak terlalu susah bagi saya untuk mendampingi si Sulung dalam pelajaran sekolahnya. Sifatnya yang penurut, kalem dan teratur menjadikannya mendapat predikat "anak baik" dari keluarga.
Berbeda dengan anak pertama, anak kedua jauh lebih aktif. Yang aktif bukan hanya badannya tapi juga mulutnya. Ngomong mulu dan bertanya mulu.
Ketika gurunya mengatakan Tuhan mempercayakan anak yang cerdas kepada saya, saya jadi berpikir apakah kecerdasan (dalam hal ini parameternya adalah nilai tes IQ) merupakan "gift" from God?
Jika dihubungkan masalah gizi dengan kecerdasan, saya bisa memastikan gizi si sulung lebih terjamin sejak kehamilan. Makanan si sulung lebih terjaga, bervariasi, mewah, dan lebih higienis. Rasanya asupan gizi anak pertama lebih baik dari anak kedua karena memang kondisi keuangan keluarga kami saat itu.
Sejak melihat nilai tes IQ mereka berdua, saya jadi belajar bahwasanya cara mendidik mereka berdua harus beda. Ketika saya harus mendidik si Sulung agar tampil percaya diri, disisi lain saya harus mendidik adiknya agar tidak terlalu pede. Kontras bukan?
Sejujurnya tidak mudah bagi saya untuk mendidik anak kedua. Saya harus ekstra sabar karena banyak sekali perbantahan dengannya. Tapi saya tidak bisa memungkiri kalau saya juga banyak belajar dari dia, dari pemikirannya yang sederhana, polos dan kritis.
Nilai tes IQ tinggi tidak serta merta menjadikan dia pintar, justru saya lebih sulit mengajarkan pelajaran sekolah kepadanya.
Teringat ketika anak kedua saya masih TK. Dia bisa membaca tapi tidak bisa menulis. Ketika dikte selalu mendapat nilai jelek, bahkan nol.
Disuruh menulis kata "makan" tetapi yang tertera adalah "kanma".
Demikian juga ketika menulis dan membaca angka, terbalik, Â angka "17" dibaca "71". Dengan latihan keras akhirnya dia bisa membaca dan menulis dengan benar.
Sekarang saya sering kesulitan mendampingi dia pelajaran berhitung. Tapi bersyukur nilai sekolahnya bagus bahkan tertinggi di kelasnya.
Ketika usianya 3 atau 4 tahun pun sebenarnya dia masih sering bicara terbalik. Contohnya: ketika dia ingin menyebut "sekolah" yang terucap adalah "kecolah". Padahal umumnya anak menyebut "cekolah".
Hampir semua gurunya mengatakan kalau anak kedua adalah anak yang pintar, baik dan bertanggung jawab tetapi di rumah saya sering dibuat pusing dengan ulah dan pertanyaannya.
Dia yang dulu pernah bertanya kenapa bulan selalu mengikuti kita berjalan, bagaimana ada bayi dalam perut, bayi dalam perut keluarnya darimana, mengapa ayam matanya disamping tapi jalannya ke depan dan tidak menabrak, mengapa perempuan payudaranya besar, mengapa manusia dilahirkan kalau untuk mati, bagaimana dunia terbentuk dan pertanyaan lain.
Saya pernah membaca satu buku, buku terjemahan, saya lupa judulnya dan kebetulan bukunya sudah rusak terkena banjir, dikatakan disana bahwasanya anak yang cerdas punya kecendrungan untuk susah dipahami. Dalam bahasa sederhana dikatakan anak cerdas kadang terlihat "aneh" hingga oleh lingkungannya dicap tidak nyambung bahkan tidak jarang jadi bahan ejekan atau dibully.
Akhirnya saya merasa diuntungkan dengan adanya tes IQ anak di sekolah, saya jadi lebih memahami kelebihan dan kekurangan mereka. Masih banyak parameter lain yang harus kita pelajari untuk membesarkan dan mendidik anak.
Buat para orang tua tetap semangat dan mari kita cintai anak kita sebagai pribadi yang utuh dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H